Menyesal sih enggak, namanya juga sudah jatuh cinta, aku hanya merasakan mahalnya memelihara janda.
"Lagian belagu amat. Berani-beraninya pelahara janda", kata temanku setelah mendengar keresahan hatiku.
"Kalo udah seneng gimana si?!", jawabku memiintanya dapat memahami keputusanku.
"Ya tapi akhirnya kamu bingung sendiri kan ?", katanya lagi.
Aku tak menjawab. Pikiran kosongku melayang membawaku ke perkenalanku dengannya. Gegara main sepedaan pada hari minggu kemarin aku langsung jatuh cinta begitu melihatnya. Karena bosen nggowes sepeda di jalnan mulus iseng-iseng aku mencari rute baru melewati kampung-kampung. Mencari suasana baru begitu pikirku.
Jadilah aku keluar masuk kampung yang masih asri. Pepohonan besar tumbuh di sepanjang jalan membuat jalanan terasa teduh. daun-daunan yang hijau rimbun membuat jernih pandangan mata. Udaranya pun masih sangat bersih, bebas polusi. Para warganya pun ramah tamah, selalu menyapa setiap bertemu dengan orang.
Seperti biasa setelah lelah mengayuh sepeda aku mencari tempat istirahat. Bukan untuk melepas lelah si, tepatnya mengisi perut. dari kejauhan aku melihat sebuah warung di bawah pohon beringin besar banyak orang menyantap makanan. Kata orang-orang kalau sebuah warung banyak yang makan berarti makanannya enak. Akupun berhenti dan segera ikut mengantri untuk memesan makanan.
Sebenernya menunya sederhana saja, bubur ayam. Yang membedakan ayamnya adalah ayam kampung yang empuk. Empingnya pun tebel-tebel. Â Sate ampela dan atinya enak banget, kata orang-orang yang sudah sering makan di sini yang kutemui selama mengantri. saking enaknya setiap pelanggan bubur ayam ini pasti memesan 2 mangkok sekaligus.
Satu lagi yang jadi daya tarik yang kalian pasti juga sudah bisa menduga, pelayannya. Katanya si orangnya supel dan bisa bikin kesengsem yang diajak ngobrol. Masih menurut cerita orang-orang dia masih kerabat dengan yang empunya tukang bubur. Aku jadi penasaran pengin lihat seperti apa si sang pelayan itu. Tapi aku harus sabar antrian masih panjang banget.
Benar kata orang-orang, hatiku bergetar begitu melihatnya. Senyum di bibirnya manis banget. Bicaranya lembut seakan berbisik di telinga menyusup ke reluung hati. Pantesan orang-orang pada rela mengantri panjang hanya demi semangkok bubur ayam.
"Minumnya apa mas ?", tanyanya sambil menghidangkan bubur ayam yang masih hangat.
"Montok banget", kataku keceplosan.
"Apanya mas ?", tanyanya.
"Potongan daging ayamnya", kataku sambil melempar senyum.
Dia membalas dengan senyum yang manis sekali. Jantungku berdegup kencang.
Aku sengaja mencari tempat duduk di samping agak jauh dari gerobak bubur. Tidak seperti orang-orang yang memesan 2 mangkok sekaligus, aku memesan satu mangkok dulu. Setelah habis setengah mangkok aku pum memesan minuman dulu. Nanti baru nambah bubur ayamnya, biasa strategi. Jadinya dia kan bolak-balik melayani aku.
"Teh manis satu. Jangan terlalu banyak gula", pintaku.
Sejenak kemudian dia datang menyorongkan pesanan teh manis untukku.
"Kok gulanya sedikit mas. Punya diabet ya", tanyanya.
"Nggak. Kan kalo kamu nemenin aku makan di sini jadi manis", godaku.
Dia hanya tersenyum. Maniis sekali.
Setelah semangkok bubur ayam habis, taktik kedua aku jalankan.
"Buburnya satu lagi dong", kataku.
Sejenak kemudian dia datang lagi membawa semangkok bubur ayam pesananku. Karena banyak pelanggan yang sudah pulang dia jadi begitu cepat melayani pesananku. Akupun jadi bisa ngobrol lama dengannya.
Sambil mengobrol mataku melihat tukang tanaman yang asyiik menyirami tanamannya dalam pot. Koleksi tanamannya subur-subur dan indah.
            **
Sebelum tengah hari aku pulang dengan membawa oleh-oleh. Tapi aku bingung bagaimana aku harus menerangkan ini semua kepada istriku. pati istriku akan mencak-mencak , apalagi kalau dia tahu aku harus mengeluarkan uang 10 juta rupiah untuk mendapatkannya.
"Aku harus taruh di mana ya?", tanyaku dalam hati.
"Cepat atau lambat istriku pasti tahu", bisik hatiku.
Karena takut diomelin istri kubawa dia ke rumah temanku. Maksudku kutitipkan dulu saja sebentar di rumahnya. Nanti kalau sudah aman aku ngasih tahu kepada istriku.
"Kamu si ngikutin nafsu saja", kata temanku setelah aku mengutarakan maksudku.
"Tolong akulah", pintaku sambil memohon.
"Ya udah tapi aku tidak ikut-ikutan ya kalo istrimu tahu", tegasnya.
"Sip", kataku.
"Terus mau ditaruh di mana", tanyanya.
"Di pojok teras aja", kataku.
"Awas ya, hati-hati mahal itu", imbuhku.
"Emang berapa kau keluar duit ?", tanyanya lagi.
"Sepuluh juta", jawabku mantab.
"Gila. Janda bolong satu pot saja sepuluh juta?".
Aku tak menjawab dan kangsung pergi sambil berpikir bagaimana caranya aku besok membawa pulang tanaman hias seharga sepuluh juta itu.
Jkt, 240920
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H