"Sengaja tidak terlalu manis karena sus sudah manis", godaku.
"Ah ...mas bisa saja", katanya sambil melempar senyum manisnya.
Aku menatap mata indahnya. Dia tersip, wajahnya sedikit memerah. Aku bergumam dalam hati, semoga hujan turun lagi.
"Naik apa tadi ?", tanyaku.
"Biasa mas, pake motor", jawabnya.
"Mas sendirian di rumah ? Kemana istrinya ?", tanyanya.
Aku tidak langsung menjawab, aku menghela nafas. Aku sebenernya ingin menjelaskan kalo aku ini laki-laki bujang tapi aku malu karena sampai umur sudah kepala empat belum menikah. Rumah dan perabotan rumah tangga sudah lengkap aku persiapkan untuk wanita yang mau menjadi pendamping hidupku.
Ibuku pun sampai bingung kenapa aku belum juga mencari pendamping hidup. Kapan ibu bisa menimang cucu, begitu selalu ibu menagih kepadaku. Entahlah, sebenernya wajahku tidak jelek-jelek amat. Pekerjaan boleh dibilang sudah mapan bahkan di kantor aku mempunyai kedudukan yang boleh dibilang lumayan tinggi.
Aku orangnya innocent, cenderung rendah diri. Barangkali latar belakang sosial ekonomi kami yang di bawah hidup layak membentuk kepribadianku menjadi takut kalau ingin membangun relasi dengan wanita. Cerita teman-teman laki-lakiku yang mengatakan perempuan jaman sekarang matre membuatku tidak berani mendekati wanita.
Sejujurnya baru kali kemarin dan hari ini aku berani berbincang dengan wanita. Baru pertama kali ini aku merasakan bahagia ngobrol intim dengan seorang wanita yang menyenangkan. Aku jadi merindukn hujan turun lagi, ingin rasanya bercakap-cakap hangat dengannya.
Gerimis tiba-tiba datang dengan cepatnya, airnya menetes di cangkir teh nasgithelku, membuyarkan lamunanku.