Lidahku kelu, kerongkonganku tercekat tak sepatah katapun bisa keluar dari mulutku.
Aku tidak tega melihat bapak terbaring lemah di atas tempat tidur. Matanya berkaca-mata melihatku, tak satu kata pun dapat meluncur dari mulutnya. Aku mrnjadi iba melihat keadaan kesehatan bapak. Tubuh bapak begitu ringkih.
Sebenernya aku sengaja pulang ke kampung ingin menyampaikan keputusanku untuk menggugat cerai suamiku. Aku sudah pertimbangan dengan matang lebih baik menjadi janda untuk yang kedua kalinya daripada aku harus menanggung beban bathin. Lagi pula perceraian adalah perbuatan halal sekali pun dibenci oleh tuhan.Â
Memang sekali pun halal tetapi menjadi janda bisa jadi aib keluarga di mata masyarakat. Orang-orang memandang negatif perempuan yang berstatus janda, apalagi menjanda untuk yang kedua kalinya. Itulah kenapa dulu aku tidak pernah pulang kampung selama menjadi janda supaya orang-orang kampung tidak mengetahui statusku sebagai seorang janda.Â
Kepulanganku kali ini sebenernya ingin menjelaskan kepada orang tuaku tentang keadaan rumah tangga kami dan keputusanku untuk bercerai. Aku memang ragu apakah kedua orang tuaku dapat memahami keputusan sulit ini.Â
Tetapi aku juga sudah tidak sanggup lagi hidup berumah tangga dengan laki-laki yang tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Semuanya tergantung kepada mertuaku, terutama ibunya.
Aku yang terbiasa hidup mandiri dan cekatan dalam melakukan sesuatu menjadi geregetan melihat suamiku yang hanya menjadi boneka kemauan ibunya. Aku menjadi tidak sabar melihat suamiku selalu ragu-ragu kalau ingin mengambil tindakan.
Semuanya argumentasi yang sudah aku persiapkan menjadi buyar manakala melihat bapak tergolek lemah di tempat tidur. Sekali pun aku belum mengatakan sesuatu tapi aku yakin bapak sudah dapat menduga apa yang akan aku sampaikan. Dari tatapan matanya yang redup dan air mata yang menetes di sudut matanya aku tahu bapak sedih melihat keadaan rumah tangga kami.
Aku duduk di samping bapak di sisi tempat tidurnya. Aku usap rambutnya yang sudah memutih semua. Aku menatap wajahnya yang begitu lelah. Aku bisa meraskan kesedihan bapak melihat kehidupan rumah tanggaku yang gagal untuk yang kedua kalinya. Â Aku tak kuasa menahan pedih dan aku peluk erat bapak. Aku mencium lembut wajah bapak tanpa berkata-kata.
**
Aku duduk termenung di dalam kamar. Terbayang kasih sayang bapak yang begitu besar kepada kami anak-anaknya, terutama kasih sayangnya kepadaku. Sejak kecil bapak menunjukkan kasih sayang yang lebih kepadaku.Â
Aku sering diajak bapak ke pasar dan disuruh memilih makanan atau mainan yang aku mau. Waktu masih sekolah dasar setiap hari bapak mengantar jemput dengan mengayuh sepeda berkilo-kilo meter dengan memboncengkan aku.
Setelah masuk SMP dan SMA bapak sering diam-diam menambah uang jajanku tanpa sepengetahuan ibuku. Bapak juga mempercayakan aku memegang uang tabungan keluarga karena bapak sedikit kurang percaya kepada ibu yang diam-diam tanpa sepengetahuan bapak sering membantu saudara-saudaranya.
Itulah kenapa aku begitu patuh menuruti keinginan bapak agar aku bersedia menikah dengan laki-laki pilihannya. Semuanya aku lakukan karena aku ingin membalas budi dan kasih sayang orang tuaku terutama bapak. Aku rela menderita demi menyenangkan hati bapak.
Perasaanku menjadi campur aduk antara rasa iba melihat kondisi bapak dan pedihnya hatiku. Tak terasa butiran-butiran bening air mataku pun jatuh. Aku merasakan ruangan kamar tidurku berputar-putar semakinlama semakin kencang. Kesadaranku akhirnya hilang. Tubuhku limbung jatuh ke bawah ranjang.
Pingsan !!
Jkt, 220820
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI