"Suasanya adem, sejuk banget bu Lurah", pujiku.
"Ya makanya saya suka duduk-duduk di teras kalo pagi".
Aku kemudian mengambil duduk di kursi dekat bu Lurah. Â Biasa aku memuji-muji kinerja pak Lurah yang cekatan dan perhatian sama masyarakat. Tak ketinggalan aku menyanjung-nyanjung kiprah bu Lurah memberdayakan kaum perempuan di kampung. Â Satu lagi yang tidak boleh ketinggalan mengagumi kecantikan bu Lurah.
"Bu Lurah selalu tampil luwes. Apalagi kalo dandan penampilan jadi anggun", sanjungku.
"Ah kamu bisa aja", katanya dengan nada bangga.
"Bu Lurah perlu apa untuk menambah penampilan biar makin berwibawa ?", bujukku.
"Mungkin perlu tas atau kain batik tulis", tawarku.
Bu Lurah tersenyum penuh arti.
                              **
Aku hanya bisa mengumpat dalam hati. Â Pak Lurah tidak mengganti perangkat kampung tetapi memberikan kesemapatan kedua kepada para pembantunya itu. Â Pak Lurah hanya wanti-wanti, kalo tetap tidak menunjukkan perbaikan kinerja akan diganti. Â Ya bagaiman pak Lurah berani mengganti perangkat kampung karena semuanya adalah kerabat pak Lurah juga.
Si carik adalah adik istrinya. Jogotirto adalah pamannya dari istri. Sedangkan bayan adik lelakinya. Â Sementara mantri picis adalah adik iparnya. Â Dan yang lebih membuat pak Lurah takut jagabaya adalah mertuanya.