Bu Dita, begitu wanita paruh baya itu biasa dipanggil. Umurnya empat puluh dua tahun jalan. Â Setiap habis Ashar dia mengajar ngaji anak-anak di sekitar rumah kontrakannya. Pagi dan malam harinya dia menjahit baju-baju muslim, juga seragam olah raga.
Dia memang keturunan kaum pesantren. Â Bapaknya adalah seorang imam masjid. Â Sejak kecil dia belajar mengaji sama bapaknya. Â Makanya dia diminta oleh para tetangganya untuk mengajari membaca Al Qur'an. Â Ilmu tajwid sangat dikuasainya sejak kecil. Â Suaranya juga sangat merdu kalau membaca Al Qur'an. Â Kegiataan mengaji ini tidak memungut biaya sama sekali.
"Saya hanya bisa sedekah ilmu", begitu alasannya.
Untuk menopang kehidupannya, mengelola konveksi kecil-kecilan menjadi andalannya. Â Dia melayani menjahit pesanan murid-murid ngajinya, sekali waktu mendapatkan orderan seragam olahraga atau baju-baju muslim dari madrasah tempat teman-temannya mengajar. Â Dia tidak mau mengajar di madrasah.
"Saya tidak punya ijazah formal", dalihnya ketika teman-temannya membujuk untuk ikut mengajar di madrasah.
Orangnya supel, gampang akrab dengan orang. Bukan hanya dengan kaum hawa, dengan kaum adam pun demikian pula. Â Dia pandai memulai pembicaraan, pun santai dalam setiap obrolan. Â Temannya tak terhitung jumlahnya, baik perempuan atau laki-laki. Â Ini yang sering membuatnya pusing sendiri.
Mula-mula para tetangga sekedar terheran-heran kenapa dia begitu banyak kenalan kaum laki-laki daripada perempuan. Â Bayangkan orang biasa , tukang ojol, guru, ustad, pegawai kantoran, polisi bahkan tentara silih berganti bertamu ke kontrakannya. Â Hanya sekedar pengin ngobrol dengannya. Ngobrolnya pun di teras yang bisa terlihat oleh tetangga yang lalu lalang.
"Biar tidak menimbulkan fitnah", jelasnya kenapa tetamu diajak ngobrol di teras.
Kasak-kusuk tetangga pun berkembang. Â Awalnya tetangga hanya saling bilang, "dasar janda !".
Ya dia memang janda ditinggal pergi suaminya. Â Kabarnya suaminya tidak tahan melihat rumah kontrakannya yang sempit itu silih berganti tamu laki-laki. Â Anehnya kalau ada tamu datang suaminya seakan-akan dicuekin. Â Dikenalkan kepada tamunya pun tidak.
"Teman bisnis konveksi, pa", terangnya kepada suaminya.
Gosip di antara para tetangga makin membesar.
"Pasti pake susuk pemikat", kata pemilik kontrakan setelah menerima aduan dari sesama pengontrak.
"Lihat saja tatapan matanya", timpal pengontrak yang lain.
Memang tatapannya sendu menghujam. Â Menurut cerita para lelaki yang sering bertamu dan ngobrol berlama-lama, mereka seakan terhipnotis setiap melihat sorot matanya. Â Apalagi kerling matanya, seakan merontokkan hati para kaum adam itu. Â Mereka tidak kuasa memandang tatapan matanya.. Satu hal lagi, masih menurut cerita para lelaki itu, senyumannya membuat mereka betah berbincang-bincang ngalor ngidul sampai lupa waktu.
"Kalo sudah berhadapan dengannya tidak bisa berkutik", imbuh yang lain.
"Kata-kata yang keluar dari mulutnya menyihir", timpal laki-laki satunya.
"Nego bisnis sama dia pasti deal", celetuk yang jadi rekanan bisnis konveksi.
*
"Kita makan sate yuuk", ajakku kepada mbak Dita. Â
Aku memanggilnya mbak Dita. Sudah dua bulanan lebih aku sering jalan dengannya. Biasa saja asal jalan tanpa tujuan. Â Kadang ke mall, kadang nonton ke bioskop, kadang ke toko buku, bahkan kadang mengantar dia ke majlis taklim. Â Yang sering si jalan mencari tempat makan. Â Aku sukanya dia tidak gengsian, bahkan aku ajak makan di warteg pun ngikut saja.
Seperti sore ini kami makan sate di tukang sate langganan kami. Â Kata orang-orang kalau perempuan memakai susuk pemikat tidak mau makan sate langsung dari tusuknya.
"Mau aku lepasin dagingnya dari tusuknya", kataku.
"Nggak usah. Â Enakan gigit dari tusuknya", katanya.
Aku tersenyum. Dia tersenyum manis sekali. Â Kutatap matanya. Â Matanya terpejam indah.
Segera kurengkuh dia dalam pelukanku.
Jkt, 280620
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H