Mohon tunggu...
Masrul Purba Dasuha
Masrul Purba Dasuha Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Saya Masrul Purba Dasuha, SPd seorang pemerhati budaya Simalungun berasal dari Pamatang Bandar Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Simalungun adalah jati diriku, Purba adalah marga kebanggaanku. Saya hidup berbudaya dan akan mati secara berbudaya. Jangan pernah sesekali melupakan sejarah, leluhurmu menjadi sejarah bagimu dan dirimu juga kelak akan menjadi sejarah bagi penerusmu. Abdikanlah dirimu untuk senantiasa bermanfaat bagi sesama karena kita tercipta sejatinya memang sebagai pengabdi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Lahirnya Marga Tarigan

17 Desember 2016   04:53 Diperbarui: 31 Desember 2016   07:13 4687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari puncak gunung dia melihat sebuah kampung yang luas, tempat pemukiman marga Sinaga yang bernama Naga Mariah. Dia memasuki perkampungan itu dan salah seorang penduduk bersedia menerima si Girsang untuk menetap di rumahnya. Pada saat itu kampung Naga Mariah sedang terancam oleh serbuan musuh yang datang dari Kerajaan Siantar, mereka bermalam di dekat Dolog Singgalang. Mereka mengambil air dari lereng Dolog Singgalang, kini disebut Paya Siantar. Melihat kondisi ini, Tuan Naga Mariah lantas merasa sangat terancam, setelah mendengar berita ini, si Girsang lalu datang menemuinya. Dia mengajukan diri kepada Tuan Naga Mariah mampu menghancurkan semua musuhnya. Tuan Naga Mariah berkata, “Jika engkau berhasil menghancurkan mereka, maka saya akan menyerahkan puteri saya untuk engkau jadikan sebagai isteri”. Kemudian si Girsang memohon kepada Tuan Naga Mariah agar memerintahkan penduduknya mengumpulkan sebanyak mungkin duri, baik duri bambu, jeruk, rotan, pandan maupun tanaman lainnya. Si Girsang lalu memetik cendawan merah, merendamnya dalam air dan menaburkan duri ke dalamnya. Duri beracun tersebut lalu ditaburkannya di sepanjang jalan yang akan dilewati oleh pihak musuh, demikian juga air beracun dimasukkannya ke dalam Paya Siantar. Setelah para musuh bergerak menuju Naga Mariah, mereka terjebak dalam duri dan keracunan karena meminum air dari Paya Siantar, akibatnya mereka semua mati terbunuh. Si Girsang kemudian pergi menemui Tuan Naga Mariah dan berkata: ”Ada seribu lawan mati bergelimpangan di gunung itu”, sehingga gunung tersebut dinamakan Dolog Singgalang dan tempat itu disebut Saribu Dolog. Atas jasanya, Tuan Naga Mariah kemudian mengangkatnya sebagai menantu, upacara pernikahan mereka dirayakan layaknya pernikahan seorang raja. Karena si Girsang belum memiliki rumah, untuk sementara dia tinggal di Rumah Bolon (rumah besar) di sebelah kiri rumah Tuan Naga Mariah.

Gambar 9: Tuan Dumaraja alias Pa Moraidup Purba Girsang, Raja Silima Huta pertama. Sebelumnya ia adalah Tuan Naga Saribu, sedangkan saudaranya Pa Ngasami menjadi Tuan Siturituri. Raja Silima Huta merupakan raja untuk golongan Tarigan Girsang/Gersang, Tarigan Sahing, dan Tarigan Ijuk. 

Akibat peristiwa ini, dia menjadi sosok yang sangat ditakuti dan terkenal sebagai dukun sakti dan ahli nujum yang memahami seni mencampur racun sehingga orang menyebutnya Datu Parulas. Setelah wafatnya Tuan Naga Mariah, tampuk kekuasaan beralih kepadanya, tidak lama kemudian dia mendirikan kampung Naga Saribu di sekitar lokasi di mana para musuh dari Siantar itu mati dan menjadikannya sebagai ibukota Silima Huta dengan menggabungkan lima kampung yaitu Rahut Bosi, Dolog Panribuan, Saribu Jandi, Mardingding, dan Naga Mariah. Sejak terjadinya suksesi kepemimpinan ini, masyarakat setempat bermarga Sinaga, akhirnya banyak yang mengungsi ke Batu Karang dan berafiliasi dengan marga Peranginangin Bangun. Dari isteri pertamanya Datu Parulas memperoleh empat orang putra, namun mereka belum bisa disebut sebagai putra raja, karena ayahnya belum menjadi raja. Mereka menjadi leluhur Tuan Rahut Bosi, Dolog Panribuan, Saribu Jandi, dan Mardingding. Setelah itu dia masih dikarunia dua orang putra, yang sulung membuka kampung Jandi Malasang, kemudian pindah ke Bage, di tempat ini dia membangun pasar dan balai yang mandiri. Si Bungsu mengikuti Datu Parulas dan menjadi penggantinya. Pada masa penjajahan Belanda, Bage berada di bawah Silima Huta. Keturunannya kemudian membelah diri menjadi beberapa cabang yaitu Girsang Rumah Bolon, Nagodang, Parhara, dan Rumah Parik. Keturunannya yang pindah ke tanah Karo membentuk dua kelompok yaitu Tarigan Girsang dan Tarigan Gersang, di antara keturunannya membentuk marga baru yang dinamakan Tarigan Sahing pekerjaannya berburu seperti leluhurnya dan Tarigan Ijuk bertugas menyadap aren dan memukul pohon sagu (Neumann, 1972: 43). Sebagian keturunan Purba Silangit ada juga yang menggabungkan diri dengan marga ini dan menamakan Girsang Silangit. 

Selain itu masih ada cabang Tarigan lainnya seperti Tarigan Tegur menempati daerah Suka, Tarigan Pekan pecahan Tarigan Tambak di Suka Nalu, Tarigan Ganagana mendiami daerah sekitar Batu Karang. Kemudian Tarigan Bondong marga ini banyak ditemukan di daerah Lingga, disusul Tarigan Jampang yang mendiami daerah Pergendangen, dan terakhir adalah Tarigan Kerendam kemungkinan pecahan dari Tarigan Tua. Dari keturunan Tarigan Kerendam ini lahir seorang tokoh terkenal yang dianggap pahlawan bergelar si Nuan Kata, ada yang menyebutnya si Onan Katana, si Nongon Kata atau si Ngenan Kata. Ibunya dari kalangan marga Karokaro Ketaren, si Nuan Kata berasal dari Kuala. Karena diancam oleh pamannya dari Balesisi atau Banua Sini, ia melarikan diri menuju ke tempat pamannya di Padang Sambo. Di tempat ini, ia kawin dengan keponakannya, setahun kemudian ia pergi ke Sugo dan kawin lagi. Akibat ketidaksetiaannya, isteri tuanya lalu datang memeranginya. Dari sini, dia menyingkir ke Deli dan mendirikan sebuah dusun. Setelah dua tahun berada di Deli, si Nuan Kata berkelana lagi menuju Sait dan berhasil mendudukinya, nama daerah itu diganti jadi Siak. Dia lalu mengirim sebuah surat dan sebilah pisau kepada Sibayak Siput (Lau Cih), nenek moyang dari Sibayak Pa Pelita Purba dari Kaban Jahe. Kepada J.H. Neumann, Pa Pelita pernah mengatakan bahwa dia masih bersaudara dengan Sultan Siak (Neumann, 1972: 42). 

Salah seorang keturunan Tarigan Gersang bernama Prof. Dr. Hendry Guntur Tarigan, seorang pakar linguistik Indonesia. Semasa hidupnya ia memberikan perhatian lebih terhadap budaya Simalungun, ia lahir di Lingga Julu Kecamatan Simpang Empat, Karo 23 September 1933. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Pajajaran Bandung (1962), kemudian melanjutkan Pasca Sarjana Linguistik di Rijks Universiteit Leiden Nederland (1971-1973) dan meraih gelar doktor di bidang linguistik pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1975) dengan disertasi berjudul "Morfologi Bahasa Simalungun". Jabatan terakhirnya adalah Pembina Utama Muda/Lektor Kepala Golongan IV/C. Ia sering mengikuti berbagai seminar dan lokakarya baik dalam maupun luar negeri dalam bidang kebahasaan, antara lain di Hasseit-Belgia (1972), di Paris-Perancis (1973), di Hamburg-Jerman (1981), dan di Tokyo-Jepang (1983). Jabatan lainnya adalah anggota Tim Evaluator Program Akta Mengajar V (sejak tahun 1981) dan anggota Tim Penilai Karya-Karya Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah yang disponsori oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sejak tahun 1976). Hasil karyanya untuk Simalungun antara lain: 

1. Struktur Sosial & Organisasi Sosial Masyarakat Simalungun. 

2. Morfologi Bahasa Simalungun. 

3. Umpamani Simalungun (Peribahasa Simalungun). 

4. Umpasani Simalungun (Pantun Simalungun).

5. Hutintani Simalungun (Teka-Teki Simalungun). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun