Mohon tunggu...
Masrul Purba Dasuha
Masrul Purba Dasuha Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Saya Masrul Purba Dasuha, SPd seorang pemerhati budaya Simalungun berasal dari Pamatang Bandar Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Simalungun adalah jati diriku, Purba adalah marga kebanggaanku. Saya hidup berbudaya dan akan mati secara berbudaya. Jangan pernah sesekali melupakan sejarah, leluhurmu menjadi sejarah bagimu dan dirimu juga kelak akan menjadi sejarah bagi penerusmu. Abdikanlah dirimu untuk senantiasa bermanfaat bagi sesama karena kita tercipta sejatinya memang sebagai pengabdi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kerbau dan Babi dalam Perspektif Budaya Batak

22 Februari 2016   07:33 Diperbarui: 17 Maret 2018   14:30 5814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dapat dikatakan bahwa kerbau merupakan binatang yang mempunyai nilai penting dalam kehidupan masyarakat dari dulu hingga kini. Melalui data ekofaktual yang ditemukan di situs-situs mesolitik kemungkinan jenis hewan tersebut hidup liar di hutan Indonesia. Hewan tersebut diburu dan dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan makanan manusia pada masa itu. Kemudian pada masa yang lebih muda bersamaan dengan terjadinya migrasi manusia pada masa neolitik dan perundagian, ketika manusia sudah hidup menetap domestikasi hewan dan tumbuhan juga dikembangkan. Migrasi tersebut juga membawa religi yang dikenal dengan pendirian bangunan-bangunan megalitnya sekitar 2500 SM -- 1500 SM -- awal Masehi. Pendirian bangunan megalit tersebut juga disertai upacara-upacara berkaitan dengan pemujaan roh-roh leluhur, atau berkaitan dengan kematian dengan melaksanakan pemotongan hewan-hewan kurban diantaranya kerbau. Berbagai tinggalan arkeologis di situs-situs megalit Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Lampung menggambarkan pemanfaatan maupun pembudidayaan kerbau. Masa yang sama jika dibandingkan dengan pembudidayaan kerbau di luar Indonesia seperti di daratan Lembah Indus, India (4500 tahun yang lalu), Cina (3500 tahun yang lalu), dan Mesir (800 tahun yang lalu) (Aziz,1999:3).

Kerbau Sumatera tidak banyak berbeda dengan kerbau Benggala. Sekalipun termasuk famili bovidae anatomi hewan ini berbeda dengan sapi, kukunya lebih lebar, dan tanduknya berbentuk bujursangkar atau gepeng melengkung ke belakang. Umumnya tanduk sedatar dengan kening dan tidak membentuk sudut seperti terdapat pada sapi. Ekor kecil menggantung sampai ke bawah lutut, kecil, dan berjumbai di ujungnya. Lehernya besar dan berotot sehingga penampakan gelambir hanya sedikit terlihat atau tidak sama sekali (Marsden,1999:81). Kerbau merupakan hewan domestikasi yang sering dikaitkan dengan kehidupan masyarakat bermatapencaharian di bidang pertanian. Kerbau digunakan sebagai sarana transportasi (kendaraan), untuk membantu mengolah lahan pertanian, dan kotorannya dapat dijadikan pupuk (Gunadi,2000:60). Domestikasi kerbau dikaitkan dengan kebutuhan hewan itu dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya seperti tersebut di atas, juga dikonsumsi atau digunakan sebagai hewan kurban pada upacara adat.

Secara khusus domestikasi kerbau di Sumatera Utara belum diketahui, namun melalui tinggalan arkeologis dan menjadi karya seni jenis hewan ini sering dijumpai pada tinggalan-tinggalan budaya megalitik/tradisinya dalam bentuk patung, relief, maupun lukisan. Pada punden berundak di Situs Batu Gaja, Simalungun menunjukkan adanya domestikasi binatang tersebut. Menilik kondisi situs ini, maka diperkirakan bahwa pemanfaatan kerbau di Sumatera Utara sudah dikenal sejak budaya megalitik berkembang di wilayah ini. Letak bangunannya pada tempuran dua buah sungai mengingatkan pada konsep yang sering diterapkan dalam pembangunan bangunan suci Hindu - Buddha. Situs tersebut merupakan situs megalitik yang kemungkinan berkembang pada masa yang hampir sama ketika pengaruh Hindu - Buddha berkembang di Padang Lawas sekitar abad ke 11-14 Masehi.

Bagi masyarakat yang hidup dengan tradisi megalitik seperti Batak, kerbau menjadi salah satu binatang yang memiliki derajat tinggi dalam kehidupan sosial budaya Batak. Tidak hanya untuk dikonsumsi, organ tubuh binatang ini dijadikan ornamen seni pada rumah tradisional Batak. Ornamen kerbau pada masyarakat Batak merupakan lambang yang memiliki sifat sakral dan profan. Sifat sakralnya diketahui melalui ornamen kerbau pada tinggalan megalitik yang berkaitan dengan kubur batu, merupakan lambang kendaraan (wahana) bagi arwah menuju ke dunia arwah. Ornamen kerbau juga melambangkan kesuburan dikaitkan dengan kehidupan masyarakat pendukung megalitik bermatapencaharian di bidang pertanian. Selain itu ornamen kerbau sering digambarkan pada rumah-rumah adat masyarakat Batak di Sumatera Utara. Seperti pada rumah adat masyarakat Batak Simalungun terdapat ornamen yang disebut Pinar Uluni Horbou yaitu berupa kepala kerbau yang dibentuk dari ijuk dan tanduknya dari tanduk kerbau asli. Pada masyarakat Simalungun kerbau merupakan lambang kesabaran, keberanian, kebenaran, dan sebagai penangkal roh jahat (Sipayung,dkk.,1994:18). Demikian halnya dengan masyarakat Batak Karo juga mengenal ornamen sejenis berupa kepala kerbau berwarna putih yang terbuat dari ijuk dan tanduk kerbau asli. Ornamen tersebut diletakkan pada bagian ujung atapnya yang mengarah ke dua penjuru mata angin (timur--barat) jika memiliki 2 ayo-ayo (hiasan atap), atau empat penjuru mata angin (utara--timur—selatan--barat) jika memiliki 4 ayo-ayo. Ornamen itu melambangkan keperkasaan dan penjaga keselamatan dari serangan roh-roh jahat (Ginting & Sitepu,1994:18). Demikian halnya dengan masyarakat Batak Toba pada ujung puncak atap bagian depan rumah adat (sopo) dihiasi dengan motif Ulu palung (hiasan raksasa) yang menggunakan tanduk kerbau. Hiasan tersebut merupakan lambang penjaga keselamatan dari gangguan hantu. Khusus pada rumah raja, susunan tanduk kerbau ditempelkan pada dinding bagian dalam sopo yang menandai kekuasaan raja, sekaligus menggambarkan telah dilaksanakannya pesta besar (mangalahat horbo = memotong kerbau). Selain itu juga dikenal ornamen lain yang mirip kerbau yang disebut dengan Sijonggi (lembu jantan) yang merupakan lambang keperkasaan (Hasanuddin, dkk., 1997:5-12).

Konsep ornamen yang digunakan pada rumah adat terutama rumah adat Batak terdapat kesamaan pandangan, yaitu secara mistis dikaitkan dengan lambang penjaga keselamatan dari roh jahat dan lambang kepemimpinan seperti keperkasaan/keberanian. Sedangkan makna kerbau bersifat profan tergambar dari pandangan masyarakat bahwa kerbau merupakan hewan kurban yang memiliki nilai paling tinggi dibandingkan hewan lain seperti babi. Hal ini relevan dengan standar yang berlaku pada beberapa suku, di mana kuantitas tanduk kerbau yang disematkan pada rumah adat melambangkan tingginya kedudukan sosial (prestise) dan kekuasaan/kepemimpinan pemiliknya. Banyaknya kerbau yang disembelih pada suatu upacara adat, menggambarkan kemampuan keluarga atau tingginya status sosial seseorang di masyarakat. Hal itu tergambar secara simbolis pada banyaknya tanduk kerbau yang dipajang pada rumah adat. Kepemilikan kerbau menandakan prestise seseorang, semakin kaya dan tinggi status seseorang ditandai seberapa banyak jumlah kerbau yang dimilikinya. Dalam acara peminangan, kerbau biasa dijadikan sebagai mas kawin (sinamot). Pada masyarakat Batak dikenal upacara kematian seperti sayur matua dan mangongkal holi (menggali tulang)–memindahkan tulang dari kubur primer ke kubur sekunder. Bagian dari rangkaian upacara tersebut biasanya dilaksanakan pesta syukuran adat yang disertai dengan pemotongan kerbau. Sebelum disembelih, kerbau diikat pada tiang yang disebut borotan, serta diiringi dengan tarian tortor. Kemudian setelah kerbau disembelih dagingnya dibagikan pada kerabat yang mengikuti upacara, berupa jambar juhut (Simatupang, 2005:63–65).

Demikian halnya pada upacara perkawinan, horja bius (acara penghormatan terhadap leluhur), dan pendirian rumah adat. Kerbau juga disembelih; selain sebagai hewan korban, juga sebagai pelengkap adat dalam pembagian jambar (Wiradnyana & Somba, 2005:20). Pada pembagian pembagian jambar juhut (hewan kurban) terdapat aturan tertentu yang disebut ruhut papangan (Sihombing,1986 dalam Simatupang, 2005:88), yaitu:

a. Kepala (ulu) dan osang 3 untuk raja adat.

b. Leher (rungkung atau tanggalan ) untuk pihak boru.

c. Paha dan kaki (soit ) untuk pihak dongan sabutuha.

d. Punggung dan rusuk (panamboli ) & somba-somba untuk pihak hula-hula.

e. Bagian belakang (ihur-ihur) untuk pihak suhut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun