Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd
Pendahuluan
Babi adalah binatang yang paling diminati oleh suku Batak saat ini bahkan dianggap sebagai binatang pujaan, bila ditinjau dari aspek historisnya tradisi mengkonsumsi babi ternyata baru mulai membudaya pasca masuknya kolonial Belanda. Babi awalnya adalah makanan favorit pihak kolonial Belanda, kegemaran mereka dalam mengkonsumi babi kemudian mereka bawa ke tanah Batak. Pada zaman dahulu dalam budaya Batak, babi tidak pernah menjadi binatang piaraan, karena binatang ini hidup secara liar di hutan. Binatang yang sering dipelihara oleh masyarakat Batak pada zaman dahulu adalah kerbau, lembu, kuda, kambing, dan ayam. Pada saat menjajah Tapanuli Utara, Belanda menjadikan babi sebagai santapan mereka, karena mereka hidup di tengah masyarakat Batak lantas mereka ikut terbiasa mengkonsumsi binatang ini sehingga belakangan menjadi kebutuhan. Posisi daging kerbau, ayam, dan kambing serta ikan dari Danau Toba perlahan kurang diminati. Dalam upacara adat dan kegiatan ritual Batak, terbukti babi tidak pernah dihidangkan sebagai sajian dan itu diterapkan dalam kehidupan komunitas Parbaringin, Parmalim, dan juga Parhabonaron di Simalungun. Di komplek ritual seperti Parsaktian Pusuk Buhit dan cagar alam Dolog Tinggi Raja sangat dipantangkan untuk membawa babi sebagai bekal makanan bagi para pengunjung.
Selama ini penulis sering bertanya dalam hati mengapa babi tidak pernah populer dalam cerita rakyat Batak, binatang yang umum dikisahkan dalam cerita rakyat Batak adalah kerbau, kambing, kuda, harimau, burung, ayam, kucing, lembu, rusa, ular, gajah, anjing, dan ikan emas. Makanan tradisional suku Simalungun, Pakpak, dan Karo adalah ayam, sedang pada suku Toba yaitu ikan emas. Dalam cerita rakyat Simalungun dikisahkan bahwa leluhur Purba Pakpak dari Tuntung Batu, Dairi sampai ke tanah ulayat Purba Dasuha karena berburu seekor burung, demikian juga leluhur Purba Girsang yang datang dari Lehu Dairi, demi mengejar seekor rusa juga membawanya sampai ke tanah ulayat marga Sinaga di Naga Mariah Silimakuta. Fenomena yang sama juga dialami Tuan Sindar Lela, leluhur Purba Tambak, karena mengejar seekor burung menjadi jalan baginya bertemu dengan saudarinya Puteri Hijau di tepi sungai Petani dekat Deli Tua.
Demikian juga, Tuan Pining Sori yang menjadi leluhur Saragih Garingging memiliki seekor kerbau bernama Si Nangga Lutu, bersama kerbaunya ia pergi melanglangbuana dari Ajinembah menuju tanah Simalungun hingga sampai ke Raya Simbolon. Di antara keturunan marga Saragih yang disebut dengan Simaronggang, ada yang menjadikan burung enggang sebagai binatang peliharaannya. Leluhur Saragih Sumbayak pada zaman dahulu konon memiliki seekor anjing kesayangan bernama Huring Parburu. Di antara keturunan marga Damanik pada zaman dahulu ada yang bersahabat dengan seekor harimau. Nyaris seluruh nenek moyang suku Batak khususnya Simalungun, mereka hidup bergaul secara akrab dengan sejumlah binatang, bahkan tidak jarang di antara binatang tersebut menjadi juru penyelamat di kala tuannya mengalami ancaman dan kesulitan. Di kalangan etnis Toba khususnya marga Simanjuntak melegenda kisah seekor kerbau yang mengakibatkan perpecahan di kalangan mereka, sejak itulah awal munculnya Simanjuntak Horbou Jolo dan Simanjuntak Horbou Pudi.
Dari uraian singkat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak zaman dulu babi tidak pernah dijadikan sebagai binatang peliharaan apalagi binatang kesayangan. Meski babi sudah sejak lama hidup dan berkembang di tanah Batak, namun dia tidak pernah menjadi konsumsi pokok nenek moyang suku Batak seperti yang terjadi saat ini. Dia hanya dikonsumsi pada kondisi mendesak di tengah minimnya bahan makanan. Hal inilah yang mendasari sehingga babi tidak pernah melegenda dalam kearifan lokal suku Batak.
Kita tidak pernah berpikir, menyadari, dan juga merenung bahwa banyak hal dalam kehidupan budaya kita adalah hasil rancangan atau design dari pihak kolonial untuk memecah persatuan dan kesatuan di antara suku Batak di Sumatera Utara ini, merekalah yang membuat garis-garis batas wilayah suku Batak dan juga melegitimasi penamaan etnis Batak berdasarkan budaya dan bahasanya. Untuk memuluskan politik adu domba mereka, antara etnis Minang, Melayu, dan Aceh didesign agar terpisah dengan Batak dan dibangun sebuah opini agar mereka saling membenci. Karena urusan lambung hubungan antara sesama etnis Batak yang berbeda keyakinan menjadi renggang dan saling menjauh dan fakta ini sudah berlangsung selama ratusan tahun.
KERBAU DAN BABI DALAM PERSPEKTIF ILMIAH
Sejarah Kerbau
Kerbau (bubalus bubalis) merupakan jenis hewan yang termasuk famili bovidae dan sudah dikenal sejak masa prasejarah, terbukti dari beberapa fragmen tulang dan giginya yang ditemukan pada ekskavasi beberapa situs di Indonesia. Di Sumatera situs-situs yang mengandung temuan tersebut antara lain situs Gua Togindrawa, Nias dan Situs Bukit Kerang Pangkalan, Aceh Tamiang. Di kedua situs yang merupakan situs mesolitik itu menunjukkan adanya pengkonsumsian jenis hewan famili bovidae. Kemudian di daerah lain yaitu pada situs megalitik juga ditemukan bagian gigi kerbau (bovidae) pada kubur batu (phandusa) di Bondowoso, pada dolmen di situs Telagamukmin, Lampung Utara, serta tulang-tulang hewan ini di bawah menhir di Wonogiri (Sukendar, 1990 : 215). Kerbau dewasa dapat memiliki berat sekitar 300 kg hingga 600 kg. Kerbau liar dapat memiliki berat yang lebih, kerbau liar betina dapat mencapai berat hingga 800 kg dan kerbau liar jantan dapat mencapai berat hingga 1200 kg. Berat rata-rata kerbau jantan adalah 900 kg dan tinggi rata-rata di bagian pundak kerbau adalah 1,7 m. Salah satu ciri yang membedakan kerbau liar dari kerbau peliharaan untuk ternak adalah bahwa kerbau peliharaan memiliki perut yang bulat. Dengan adanya percampuran keturunan antara kerbau-kerbau antara populasi yang berbeda, berat badan kerbau dapat bervariasi. Klasifikasi kerbau masih belum pasti, beberapa autoritas mengelompokkan kerbau sebagai suatu spesies Bubalus bubalis dengan tiga subspesies yaitu :
1. Kerbau liar (bubalus bubalis arnee) moyang bagi kerbau sungai.
2. Kerbau sungai (bubalus bubalis bubalis) yang berasal dari Asia Selatan.
3. Kerbau rawa (bubalus bubalis carabanesis) dari Asia Tenggara.
Dapat dikatakan bahwa kerbau merupakan binatang yang mempunyai nilai penting dalam kehidupan masyarakat dari dulu hingga kini. Melalui data ekofaktual yang ditemukan di situs-situs mesolitik kemungkinan jenis hewan tersebut hidup liar di hutan Indonesia. Hewan tersebut diburu dan dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan makanan manusia pada masa itu. Kemudian pada masa yang lebih muda bersamaan dengan terjadinya migrasi manusia pada masa neolitik dan perundagian, ketika manusia sudah hidup menetap domestikasi hewan dan tumbuhan juga dikembangkan. Migrasi tersebut juga membawa religi yang dikenal dengan pendirian bangunan-bangunan megalitnya sekitar 2500 SM -- 1500 SM -- awal Masehi. Pendirian bangunan megalit tersebut juga disertai upacara-upacara berkaitan dengan pemujaan roh-roh leluhur, atau berkaitan dengan kematian dengan melaksanakan pemotongan hewan-hewan kurban diantaranya kerbau. Berbagai tinggalan arkeologis di situs-situs megalit Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Lampung menggambarkan pemanfaatan maupun pembudidayaan kerbau. Masa yang sama jika dibandingkan dengan pembudidayaan kerbau di luar Indonesia seperti di daratan Lembah Indus, India (4500 tahun yang lalu), Cina (3500 tahun yang lalu), dan Mesir (800 tahun yang lalu) (Aziz,1999:3).
Kerbau Sumatera tidak banyak berbeda dengan kerbau Benggala. Sekalipun termasuk famili bovidae anatomi hewan ini berbeda dengan sapi, kukunya lebih lebar, dan tanduknya berbentuk bujursangkar atau gepeng melengkung ke belakang. Umumnya tanduk sedatar dengan kening dan tidak membentuk sudut seperti terdapat pada sapi. Ekor kecil menggantung sampai ke bawah lutut, kecil, dan berjumbai di ujungnya. Lehernya besar dan berotot sehingga penampakan gelambir hanya sedikit terlihat atau tidak sama sekali (Marsden,1999:81). Kerbau merupakan hewan domestikasi yang sering dikaitkan dengan kehidupan masyarakat bermatapencaharian di bidang pertanian. Kerbau digunakan sebagai sarana transportasi (kendaraan), untuk membantu mengolah lahan pertanian, dan kotorannya dapat dijadikan pupuk (Gunadi,2000:60). Domestikasi kerbau dikaitkan dengan kebutuhan hewan itu dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya seperti tersebut di atas, juga dikonsumsi atau digunakan sebagai hewan kurban pada upacara adat.
Secara khusus domestikasi kerbau di Sumatera Utara belum diketahui, namun melalui tinggalan arkeologis dan menjadi karya seni jenis hewan ini sering dijumpai pada tinggalan-tinggalan budaya megalitik/tradisinya dalam bentuk patung, relief, maupun lukisan. Pada punden berundak di Situs Batu Gaja, Simalungun menunjukkan adanya domestikasi binatang tersebut. Menilik kondisi situs ini, maka diperkirakan bahwa pemanfaatan kerbau di Sumatera Utara sudah dikenal sejak budaya megalitik berkembang di wilayah ini. Letak bangunannya pada tempuran dua buah sungai mengingatkan pada konsep yang sering diterapkan dalam pembangunan bangunan suci Hindu - Buddha. Situs tersebut merupakan situs megalitik yang kemungkinan berkembang pada masa yang hampir sama ketika pengaruh Hindu - Buddha berkembang di Padang Lawas sekitar abad ke 11-14 Masehi.
Bagi masyarakat yang hidup dengan tradisi megalitik seperti Batak, kerbau menjadi salah satu binatang yang memiliki derajat tinggi dalam kehidupan sosial budaya Batak. Tidak hanya untuk dikonsumsi, organ tubuh binatang ini dijadikan ornamen seni pada rumah tradisional Batak. Ornamen kerbau pada masyarakat Batak merupakan lambang yang memiliki sifat sakral dan profan. Sifat sakralnya diketahui melalui ornamen kerbau pada tinggalan megalitik yang berkaitan dengan kubur batu, merupakan lambang kendaraan (wahana) bagi arwah menuju ke dunia arwah. Ornamen kerbau juga melambangkan kesuburan dikaitkan dengan kehidupan masyarakat pendukung megalitik bermatapencaharian di bidang pertanian. Selain itu ornamen kerbau sering digambarkan pada rumah-rumah adat masyarakat Batak di Sumatera Utara. Seperti pada rumah adat masyarakat Batak Simalungun terdapat ornamen yang disebut Pinar Uluni Horbou yaitu berupa kepala kerbau yang dibentuk dari ijuk dan tanduknya dari tanduk kerbau asli. Pada masyarakat Simalungun kerbau merupakan lambang kesabaran, keberanian, kebenaran, dan sebagai penangkal roh jahat (Sipayung,dkk.,1994:18). Demikian halnya dengan masyarakat Batak Karo juga mengenal ornamen sejenis berupa kepala kerbau berwarna putih yang terbuat dari ijuk dan tanduk kerbau asli. Ornamen tersebut diletakkan pada bagian ujung atapnya yang mengarah ke dua penjuru mata angin (timur--barat) jika memiliki 2 ayo-ayo (hiasan atap), atau empat penjuru mata angin (utara--timur—selatan--barat) jika memiliki 4 ayo-ayo. Ornamen itu melambangkan keperkasaan dan penjaga keselamatan dari serangan roh-roh jahat (Ginting & Sitepu,1994:18). Demikian halnya dengan masyarakat Batak Toba pada ujung puncak atap bagian depan rumah adat (sopo) dihiasi dengan motif Ulu palung (hiasan raksasa) yang menggunakan tanduk kerbau. Hiasan tersebut merupakan lambang penjaga keselamatan dari gangguan hantu. Khusus pada rumah raja, susunan tanduk kerbau ditempelkan pada dinding bagian dalam sopo yang menandai kekuasaan raja, sekaligus menggambarkan telah dilaksanakannya pesta besar (mangalahat horbo = memotong kerbau). Selain itu juga dikenal ornamen lain yang mirip kerbau yang disebut dengan Sijonggi (lembu jantan) yang merupakan lambang keperkasaan (Hasanuddin, dkk., 1997:5-12).
Konsep ornamen yang digunakan pada rumah adat terutama rumah adat Batak terdapat kesamaan pandangan, yaitu secara mistis dikaitkan dengan lambang penjaga keselamatan dari roh jahat dan lambang kepemimpinan seperti keperkasaan/keberanian. Sedangkan makna kerbau bersifat profan tergambar dari pandangan masyarakat bahwa kerbau merupakan hewan kurban yang memiliki nilai paling tinggi dibandingkan hewan lain seperti babi. Hal ini relevan dengan standar yang berlaku pada beberapa suku, di mana kuantitas tanduk kerbau yang disematkan pada rumah adat melambangkan tingginya kedudukan sosial (prestise) dan kekuasaan/kepemimpinan pemiliknya. Banyaknya kerbau yang disembelih pada suatu upacara adat, menggambarkan kemampuan keluarga atau tingginya status sosial seseorang di masyarakat. Hal itu tergambar secara simbolis pada banyaknya tanduk kerbau yang dipajang pada rumah adat. Kepemilikan kerbau menandakan prestise seseorang, semakin kaya dan tinggi status seseorang ditandai seberapa banyak jumlah kerbau yang dimilikinya. Dalam acara peminangan, kerbau biasa dijadikan sebagai mas kawin (sinamot). Pada masyarakat Batak dikenal upacara kematian seperti sayur matua dan mangongkal holi (menggali tulang)–memindahkan tulang dari kubur primer ke kubur sekunder. Bagian dari rangkaian upacara tersebut biasanya dilaksanakan pesta syukuran adat yang disertai dengan pemotongan kerbau. Sebelum disembelih, kerbau diikat pada tiang yang disebut borotan, serta diiringi dengan tarian tortor. Kemudian setelah kerbau disembelih dagingnya dibagikan pada kerabat yang mengikuti upacara, berupa jambar juhut (Simatupang, 2005:63–65).
Demikian halnya pada upacara perkawinan, horja bius (acara penghormatan terhadap leluhur), dan pendirian rumah adat. Kerbau juga disembelih; selain sebagai hewan korban, juga sebagai pelengkap adat dalam pembagian jambar (Wiradnyana & Somba, 2005:20). Pada pembagian pembagian jambar juhut (hewan kurban) terdapat aturan tertentu yang disebut ruhut papangan (Sihombing,1986 dalam Simatupang, 2005:88), yaitu:
a. Kepala (ulu) dan osang 3 untuk raja adat.
b. Leher (rungkung atau tanggalan ) untuk pihak boru.
c. Paha dan kaki (soit ) untuk pihak dongan sabutuha.
d. Punggung dan rusuk (panamboli ) & somba-somba untuk pihak hula-hula.
e. Bagian belakang (ihur-ihur) untuk pihak suhut.
Selain itu, kerbau memiliki banyak fungsi di antaranya sebagai binatang yang membantu untuk mengolah sawah, penghasil susu, penghasil daging, penghasil pupuk, sebagai tabungan jangka panjang, sebagai bahan tekstil (industri), dan terakhir kerbau berfungsi sebagai alat transportasi.
Peranan kerbau dalam kegiatan pertanian dapat dikaitkan dengan perkembangan sistem pertaniannya. Sistem pertanian yang dikenal semula pada masa prasejarah adalah pertanian lahan kering (perladangan), kemudian dkembangkan sistem pertanian lahan basah (persawahan). Menurut Brandes bahwa penanaman padi di sawah telah dikenal di Indonesia sejak sebelum pengaruh kebudayaan India menyebar di Indonesia (Brandes,1889 dalam Ferdinandus,1990:426). Penanaman padi dengan sistem perladangan diperkirakan dikenal di Indonesia jauh sebelumnya sekitar 2500 -- 1500 SM, yaitu bersamaan masuknya kebudayaan megalitik tua di Indonesia (Geldern,1945:138--141). Pendapat lain menyebutkan bahwa penanaman padi dengan sistem pengairan dikenal di Indonesia diduga pada jaman logam (Marschall,1969 dalam Suryanto,1990:413). Bukti pendapat ini di beberapa situs tingkat perundagian ditemukan beberapa alat-alat besi yang diperkirakan digunakan pada kegiatan itu. Misalnya, dalam kubur peti batu di situs Kawengan, Kidangan, dan Gunungmas di Bojonegoro dan situs Gunungsigro di Tuban, Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan adalah kapak, beliung, ujung tombak, mata sabit dan mata pisau (Suryanto,1990:412). Ditambahkan bahwa sistem persawahan di Bali misalnya, pada tingkat perundagian telah dilaksanakan di kaki-kaki pegunungan yaitu pada tempat yang mudah diatur pengairannya (Soejono,1977:322). Dengan demikian pada jaman logam atau perundagian diperkirakan kerbau telah dimanfaatkan untuk membantu kegiatan pertaniannya.
Mengenai perkembangan pertanian, sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha abad ke XI–XIV Masehi, kegiatan pertanian sudah dilaksanakan oleh masyarakatnya, kemudian bersamaan dengan teknologi yang masuk kegiatan itu semakin berkembang, terutama pada peralatan yang dimanfaatkannya. Kemungkinan adanya perkembangan teknologi pertaniannya dapat dikaitkan dengan adanya tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak pada sebagian masyarakat Sumatera utara, serta pemanfaatan peralatan lebih sederhana yang digerakkan oleh manusia seperti tenggala roda dan sisir kayu (Susilowati,2003:49). Tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak diketahui masih dilakukan hingga kini oleh sebagian masyarakat di Barus dan Tapanuli Selatan, yaitu dengan menggiring kerbau (sekitar 8 -- 12 ekor) berkeliling pada lahan sawah secara berulang-ulang. Banyaknya kerbau yang digunakan menggambarkan banyaknya populasi kerbau yang diternakkan oleh satu keluarga inti di tempat tersebut. Sekalipun tidak banyak lahan sawah yang diusahakan di Samosir tempat komunitas subetnis Batak Toba misalnya, populasi kerbau sebagai hewan ternak juga cukup banyak. Hal ini disebabkan banyaknya kebutuhan kerbau sebagai hewan kurban yang menyertai upacara adat yang diselenggarakan masyarakatnya.
Sejarah Babi
Pendapat umum menyatakan bahwa bangsa babi merupakan hewan yang paling awal dijinakkan, bukan kucing ataupun anjing. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penemuan lukisan dan ukiran babi yang berumur lebih dari 25.000 tahun yang lalu. Asal-usul ternak babi yang dikenal sekarang adalah keturunan dari dua jenis babi liar; Sus Vittatus dari India timur, Asia Tenggara, China dan Sus Scrofa dari Eropa yang didomestikasi pada 4900 tahum SM. Hingga kini masih ditemukan 2 (dua ) spesies  babi liar ini hidup bergerombol dan membentuk kelompok besar di hutan Eropa dan India Timur. Data terakhir menunjukkan bahwa sudah ada 25 sub spesies Sus Scrofa yang diketahui, dan perkembangannya telah beradaptasi dengan lingkungan lokal. Babi lokal (indigenous) diberbagai daerah tropis sekarang ini sulit dijumpai karena pada umumnya telah mengalami grading up dengan babi ras atau breed eksotik yang berasal dari Ingris, Amerika dan Skandinavia; karena babi ras ini ternyata lebih cocok untuk daerah tropis.
Adapun jenis babi yang ada di Indonesia sangat beragam, mulai dari babi lokal maupun babi yang didatangkan dari mancanegara (import). Babi asli Indonesia adalah babi hutan yang masih banyak berkeliaran di hutan-hutan. Babi yang sekarang ada di Indonesia adalah keturunan babi hutan dengan ciri khas umumnya; liar, warna hitam dan dipelihara secara ekstensif, bebas berkeliaran di sekitar perkampungan. Bangsa babi asli Indonesia adalah babi Bali, babi Karawang, babi Sumba dan babi Nias.
1. Babi Bali
- Warna hitam dan bulu agak kasar
- Bentuk tubuh dan kepala kecil
- Punggung lentik
- Perut hampir menyusur tanah
- Kaki pendek
- Cungurnya relative pendek
- Telinga kecil dan berdiri tegak
2. Babi Karawang
- Kepala kecil
- Telinga kecil dan berdiri tegak
- Tulang belakang lemah dan agak panjang
- Perut hampir menyusur ke tanah
- Kaki pendek
- Warna belang, atas hitam dan bagian bawah putih
3. Babi Sumba
- Warna hitam ( kadang berwarna merah kehitaman )
- Mempunyai bentuk fisik menyerupai babi hutan
- Badan sedang pendek namun dalam
- Bentuk kepala lonjong
- Moncong lancip
- Telinga kecil berdiri
4. Babi Nias
- Badan sedang
- Kepala lebih pendek dari babi sumba
- Telinga kecil dan berdiri tegak
- Mulut runcing
- Bulu agak tebal terutama pada leher dan bahu
- Warna putih atau belang hitam
Babi Impor
Pada saat ini ada beberapa babi impor yang didatangkan dari Luar negeri dan telah berkembang di Indonesia yaitu Babi VDL (Veredeld Duits Landvarken), Babi Yorkshire dikenal dengan nama Large White, Babi Tamworth, Babi Saddle Back , Babi Landrace dan Babi Duroc.
1. VDL (Veredeld Duits Landvarken)
- Kepala besar agak panjang
- Telinga besar panjang, setengah bergantung ke muka sejajar dengan kepala
- Badan besar
- Daging banyak
2. Babi Yorkshire (Large White)
- Warna putih, kadang-kadang terdapat bercak-bercak dengan pigmen warna hitam
- Telinga tegak
- Kepala/muka berbentuk seperti mangkuk
- Badan besar panjang dalam dan halus
- Efisiensi penggunaan pakan tinggi
- Pertumbuhan cepat
- Mampu menghasilkan karkas yang panjang (31,5 inchi)
3. Babi Tamworth
Ciri – ciri:
- Warna merah tua atau kecoklatan
- Kepala lebar yaitu jarak antara telinga lebar sedangkan bagian bawah runcing
- Moncong agak panjang lurus
- Telinga tegak dan sedang,
- Tulang belakang kuat
- Tubuh besar
- Kaki sedikit panjang
4. Babi Saddleback
- Warna hitam tetapi bagian bahunya berwarna putih sampai pada kaki
- Kepala sedang dan halus
- Telinga tegak
- Rahang rata
- Punggung berbentuk busur
5. Babi Landrace
- Warna putih dan bulu halus
- Tubuh panjang
- Telinganya terkulai rebah ke depan
- Induk mempunyai sifat keibuan yang tinggi dan dikenal memberikan anak yang banyak
6. Babi Duroc
- Berwarna merah sampai kecoklatan dengan berbagai variasinya
- Daun telinga berukuran sedang, agak rebah ke depan dengan dua pertiganya tegak dan sepertiga telinga tegak
Tinjauan Medis
Penelitian medis banyak menggunakan babi, karena secara anatomi dan fisiologi (fungsi) mirip hingga 90 persen dengan manusia, walaupun sistemnya berbeda. Babi adalah pemakan segala (omnivora) seperti manusia di mana ukuran dan fungsi jantung, ginjal dan pankreas babi mirip manusia. Di alam liar, babi termasuk hewan pemakan bangkai. Mereka akan memakan apa saja termasuk juga kotoran, makanan busuk, bangkai, dan bahkan mereka memakan tumor atau daging lebih yang berasal dari babi lainnya. Sistem pencernaan babi memang agak mengesankan, tetapi tidak selalu dapat menyaring zat-zat beracun dari semua yang mereka makan. Sistem pencernaan babi mampu menyelesaikan proses mencerna makanan hanya dalam waktu 4 jam, sehingga racun yang mereka makan akan disimpan di dalam lemak. Racun tersebut mungkin tidak berbahaya bagi babi, tetapi bagi kami, itu hal yang berbeda. Berdasarkan penyelidikan sebuah Consumer Reports, dari 200 sampel daging babi mentah, 69 persen telah terkontaminasi, mengandung bakteri berbahaya seperti Yersinia Enteroclitica yang dapat menyebabkan penyakit serius. Ground pork bahkan lebih buruk, mengandung kontaminan lain seperti Ractopamine [1] yang merupakan obat terlarang yang dicekal di China dan Eropa. Menurut laporan tersebut, "Kami menemukan Salmonella, Staphylococcus Aureus, atau Listeria Amonocytogenes, yang merupakan penyebab utama dari penyakit bawaan makanan [2], dalam 3 sampai 7 persen sampel. Dan 11 persen mengandung Enterococcus, yang menunjukkan adanya kontaminasi tinja dan dapat menyebabkan masalah seperti infeksi saluran kemih."
Babi juga merupakan sarangnya berbagai parasit yang dapat menular langsung ke tubuh manusia seperti Taenia Solium, yaitu parasit usus yang dapat menimbulkan infeksi dan menyebabkan hilangnya nafsu makan, serta terdapat juga virus seperti Hepatitis E dan Trichinella. Jika perutnya telah penuh atau makanannya telah habis, ia akan memuntahkan isi perutnya dan memakannya lagi, untuk memuaskan kerakusannya. Ia tidak akan berhenti makan. Memakan kotoran apa pun di depannya, entah kotoran manusia, hewan atau tumbuhan, bahkan memakan kotorannya sendiri, hingga tidak ada lagi yang bisa dimakan di hadapannya. Kadang ia mengencingi kotorannya dan memakannya kembali jika berada di hadapannya,. Ia memakan sampah busuk dan kotoran hewan. Babi adalah hewan mamalia satu-satunya yang memakan tanah, memakannya dalam jumlah besar dan dalam waktu lama jika dibiarkan.
Lemak punggung babi tebal, babi memiliki back fat (lemak punggung) yang lumayan tebal. Konsumen babi sering memilih daging babi yang lemak punggungnya tipis, karena semakin tipis lemak punggungnya, dianggap semakin baik kualitasnya. Sifat lemak punggung babi adalah mudah mengalami oxidative rancidity, sehingga secara struktur kimia sudah tidak layak dikonsumsi. Daging babi karena banyak mengandung lemak, meskipun empuk dan terlihat begitu lezat, namun sangat sulit dicerna. Selain itu, daging babi menyebabkan banyak penyakit : pengerasan pada urat nadi, naiknya tekanan darah, nyeri dada yang mencekam (angina pectoris), dan radang pada sendi-sendi. Penelitian ilmiah modern di dua negara Timur & Barat, yaitu Cina dan Swedia. Cina, dan Swedia (mayoritas penduduknya sekuler) menyatakan: "Daging babi merupakan penyebab utama kanker anus dan kolon. Persentase penderita penyakit ini di negara yang penduduknya memakan babi, meningkat secara drastis, terutama di negara-negara Eropa, dan Amerika, serta di negara-negara Asia (seperti Cina dan India). Sementara di negara-negara Islam, persentasenya amat rendah, sekitar 1/1000. Hasil penelitian ini dipublikasikan pada 1986, dalam Konferensi Tahunan Sedunia tentang Penyakit Alat Pencernaan, yang diadakan di Sao Paulo.
Babi banyak mengandung parasit, bakteri, bahkan virus yang berbahaya, sehingga dikatakan sebagai Reservoir Penyakit. Gara-gara babi, virus Avian Influenza jadi ganas. Virus normal AI (Strain H1N1 dan H2N1) tidak akan menular secara langsung ke manusia. Virus AI mati dengan pemanasan 60oC lebih-lebih bila dimasak hingga mendidih. Bila ada babi, maka dalam tubuh babi, Virus AI dapat melakukan mutasi dan tingkat virulensinya bisa naik hingga menjadi H5N1. Virus AI Strain H5N1 dapat menular ke manusia. Virus H5N1 ini pada Tahun 1968 menyerang Hongkong dan membunuh 700.000 orang (diberi nama Flu Hongkong). Sekitar tahun 2001 pernah terjadi para dokter Amerika berhasil mengeluarkan cacing yang berkembang di otak seorang perempuan, setelah beberapa waktu mengalami gangguan kesehatan yang ia rasakan setelah mengkonsumsi makanan khas meksiko yang terkenal berupa daging babi. Sang perempuan menegaskan bahwa dirinya merasa capek-capek (letih) selama 3 pekan setelah makan daging babi. Telur cacing tersebut menempel di dinding usus pada tubuh sang perempuan tersebut, kemudian bergerak bersamaan dengan peredaran darah sampai ke ujungnya, yaitu otak.
Dan ketika cacing itu sampai di otak, maka ia menyebabkan sakit yang ringan pada awalnya, hingga akhirnya mati dan tidak bisa keluar darinya. Hal ini menyebabkan dis-fungsi yang sangat keras pada susunan organ di daerah yang mengelilingi cacing itu di otak. Penyakit-penyakit "cacing pita" merupakan penyakit yang sangat berbahaya yang terjadi melalui konsumsi daging babi. Ia berkembang di bagian usus 12 jari di tubuh manusia, dan beberapa bulan cacing itu akan menjadi dewasa.
Jumlah cacing pita bisa mencapai sekitar "1000 ekor dengan panjang antara 4 - 10 meter", dan terus hidup di tubuh manusia dan mengeluarkan telurnya melalui BAB (buang air besar). DR Murad Hoffman, Daniel S Shapiro, MD, seorang Pengarah Clinical Microbiology Laboratories, Boston Medical Center, Massachusetts, dan juga merupakan asisten Profesor di Pathology and Laboratory Medicine, Boston University School of Medicine, Massachusetts, Amerika menyatakan terdapat lebih dari 25 penyakit yang bisa dijangkiti dari babi. Di antaranya:
-Anthrax
-Ascaris suum
-Botulism
-Brucella suis
-Cryptosporidiosis
-Entamoeba polecki
-Erysipelothrix shusiopathiae
-Flavobacterium group IIb-like bacteria
-Influenza
-Leptospirosis
-Pasteurella aerogenes
-Pasteurella multocida
-Pigbel
-Rabies
-Salmonella cholerae-suis
-Salmonellosis
-Sarcosporidiosis
-Scabies
-Streptococcus dysgalactiae (group L)
-Streptococcus milleri
-Streptococcus suis type 2 (group R)
-Swine vesicular disease
-Taenia solium
-Trichinella spiralis
-Yersinia enterocolitica
-Yersinia pseudotuberculosis
Daftar Pustaka:
Gunadi. Kerbau di Beberapa Suku Bangsa Indonesia: Suatu Tinjauan Antropologi Ekonomi. Ujung Pandang: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara. 2000
Hasanuddin, Samaria Ginting, dan Lisna Budi Setiati. Ornamen (Ragam Hias) Rumah Adat Batak Toba. Medan: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumatera Utara. 1997
Marsden, William. Sejarah Sumatra, diterjemahkan oleh A.S Nasution dan Mahyuddin Mendim. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1999
Sipayung, Hernauli dan Lingga, Andreas. Ragam Hias (Ornamen) Rumah Tradisional Simalungun. Medan: Museum Negeri Propinsi Sumatera Utara. 1994
Sukendar, Haris. Seni Lukis Prasejarah antara Estetika dan Religius, dalam: Kebudayaan No. 10. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996
Wiradnyana, Somba, dan Nani. Fungsi dan Makna Kerbau dalam Tradisi Megalitik di Sebagian Wilayah Indonesia. Makassar: Balai Arkeologi Makassar. 2005
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H