Hallo... selamat siang sahabat kompasiana semua ? selamat berjumpa lagi  di blog Kompasiana yang selalu meberi inspirasi baru bagi kita semua.
Siang ini penulis ingin mencoba mengikuti program Blog Competition Mingguan  Kompasiana  yang bertemakan " seandainya aku jadi Kemenag, inilah caraku  lawan konten Negatif  di Media sosial " mudah-mudah yang nanti artikel yang penulis kirimkan di terima  dan bermanfaat, walaupun tidak  menjadi artikel pilihan tim juri Kompasiana.
Sahabat Kompasiana dalam literatur Islam menjelaskan bahwa ketika orang  mendefinisikan  sebuah kabar / berita  adalah, sesuatu yang mungkin benar sekaligus mungkin salah, bahakan untuk membuktikan kabar atau berita tersebut  diperlukan verifikasi kesahihan berita tersebut  melalui jalur para informannya.
Lalu bagaimana dengan berita yang lalu-lalang di media sosial? Apakah semua kabar yang lewat di beranda Facebook, Twitter, atau berita daring, bisa kita pastikan kebenarannya? Lalu kita amini dan diperbolehkan membagikannya kepada orang lain tanpa melakukan proses verifikasi kebenaran isi beritanya? Siapa penulis beritanya? Apa motifnya dan tujuannya apa?
Bagi penulis pertanyaan diatas merupakaan pertanyaan kita semua yang sekarang kita rasakan dampaknya di tengah kecepatan teknologi informasi digital sekarang ini, beberapa pihak menggunakannya untuk melakukan propaganda dan penyesatan. Orang-orang yang sudah memosisikan diri berada di kelompok tertentu (baik politik maupun ormas) akan dengan mudah terpancing bila ada pemberitaan "miring" di kubu "lawan".
Menyikapi  problematika diatas, memang butuh proses penyelesaiannya yang terstruktur yang terakum dalam sebuah kebijakan, dalam hal ini adalah tanggung jawab kementerian  yang membidangi masalah keyakinan dan pembinaan umat beragama di Indonesia yakni Kementerian Agama Republik Indonesia  ( Kemenag RI).
Dalam artikel ini yang mengambil Tema "seandainya aku jadi Kemenag, inilah caraku  lawan konten Negatif  di Media sosial " Maka penulis ingin mencoba menjadi Menteri Agama untuk memberi solusi dengan membuat kebijakan yang vital guna menangkal berita Hoak yang sangat mengganggu stabilitas nasional NKRI, terutama kerukunan umat beragama di Indonesia.
Kebijakan yang akan penulis sajikan dalam artikel ini  seandainya jadi Menteri Agama Republik Indonesia, antara lain :
Kebijakan Untuk  Bermuhasabah  Nasional
Muhasabah artinya mengevaluasi diri,   sudahkah  semua  penduduk  Indonesia memberikan kebaikan kepada bangsa ini, sebuah sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi kemaslahatan yang lain,tidak hanya materi akan tetapi berupa non materi tentang pandangan yang baik kepada Negara kita tercinta, dengan tidak mengatakan kabar, berita yang negative tentang Negara kita sendiri.
Percuma kita mencari sesuap nasi di Negara sendiri, tapi terkadang  juga yang menjelekan Negara kita adalah diri kita yang selalu mengsharekan berita hoak yang sangat mengganggu kesatuan NKRI.
Rutinkan Kegiatan TURBA ( Turun Kebawah )  atau Blusukan  Instansi di bawah Kementerian Agama Republik IndonesiaÂ
Turun kebawah merupakan kegiatan yang dapat memecahkan segala persoalan sosial, terutama dalam memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada warga masyarakat tentang  bahaya berita hoak. Semua pemimpin  akan tahu kondisi reel  keberagaman kepeahaman masyarakat dalam membaca berita dan menganalisa sebuah berita, yang kadang beritanya membuat kebingungan di tengah-tengah masyarakat. Kebingungan dan perbedaan pemahaman perspektif  dalam  sebuah isu tertentu inilah, yang nantinya sebagai pemicu perpecahan dan  perdebatan.
Akan tetapi sebuah isu atau berita tersebut di klarifikasi oleh  pihak yang berwenang  terutama para pemimpin kementerian di tingkat masing-masing, maka akan terjadi sebuah pemahaman bersama, sehingga tidak lagi da perdebatan, dan yang lebih utama adalah masyarakat akan sadar ketika ada berita , masyarakat akan memverifikasi sendiri asal usul berita tersebut apakah benar atau hoaak. Â
Jadikan Kementerian Agama Republik Indonesia Sebagai  Mediator Dalam Setiap Problematika Sosial  Keagamaan Bangsa  Indonesia.
Pengertian Mediasi atau Mediator dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 tidak jauh berbeda dengan esensi mediasi yang dikemukakan oleh para ahli resolusi konflik. Namun, pengertian ini menekankan pada satu aspek penting yang mana mediator proaktif mencari berbagai kemungkinan penyelesaian Permasalahan.
Dalam hal ini Kemenag  harus mampu menemukan alternatif-alternatif  penyelesaian suatu Permaslahan. Ia tidak hanya terikat dan terfokus pada apa yang dimiliki oleh para pihak dalam penyelesaian  Permasalahan  mereka. Â
Kemenag  harus mampu menawarkan solusi lain ketika para pihak tidak lagi memiliki alternative penyelesaian permasalahan , atau para pihak sudah mengalami kesulitan atau bahkan terhenti (deadlock) dalam penyelesaian sengketa mereka.
Di sinilah peran penting Kemenag  sebagai pihak ketiga yang netral dalam membantu penyelesaian  permaslahn . Oleh karenanya, Kemenag  harus memiliki sejumlah lembaga atau Pansus yang di buat kementerian  yang bertugas  memfasilitasi dan membantu  para pihak dalam penyelesaian sengketa permaslahan sosial keagamaan.
Dari  ketiga Program yang di paparkan oleh penulis seandainya jadi Menteri Agama  dalam mengantisipasi  berita hoak di media sosial, tentunya bukan merupakan solusi yang terbaik, melainkan sebuah wacana yang perlu di lihat dan di kaji secara mendalam.
Berita hoak itu ibarat bola salju yang kecil dari ujung bukit, jika bola salju ini semakin besar, maka akan menggelinding ke bawah dan menenggelamkan di bawahnya, artinya kalau berita-berita hoak di media sosial itu di biarkan bebas, dan tidak ada sangsi hokum yang jelas, maka 20 tahun kemudian yang terjadi bangsa ini akan pecah dan saling mengahancurkan satu sama lain, tidak memandang jabatan, golongan suku dan bahkan agama, yang penting bagi mereka adalah mencapai tujuan.
Terakhir, mudah-mudahan artikel ini bermanfaat bagi kita semua. Amin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H