KETIKA aku mulai berangkat pada kesengsaraan, bersama itu pula di kampungku berkumandang orkestra nyanyian alam sudah menyelubungi segenap penduduknya. Dan menyapa mereka satu per satu di pintu, jendela dan pagarnya. Setiap nyanyian menginginkan senyuman pada wajah-wajah yang ditujunya, namun ketika itu di jiwaku adalah tangis yang tersentuh oleh nafas-nafas iramanya.
Lalu hujan turun dan merebahkan sepinya di halaman kampungku yang semakin sunyi. Aku menelusuri tepi sungai, berjalan dalam arus suasananya, mengitari kesempatan dan batu-batu membasah.
Aku bertemu dengan bayang-bayangku di telaga, dengan wajah gemetarnya dalam usikan titik-titik air. Ia tersenyum dan kudengar isi dalam jiwanya.
Ia berkata, "Inilah aku, dengan wajahku yang beku, dan tersenyum pada pandangan ragunya, aku terlihat seperti sosok yang memerankan satu tokoh dalam panggung, dan disaksikan oleh para mata yang menusuk kemisterianku."
Sebuah kemisterian layaknya air hujan yang baru menyibak mendung yang pekat, setelah mereka berdialog tentang bumi dan manusia dan tentang tumbuhan serta sungai. Mendung merupakan ungkapan tersembunyi langit yang menyatakan gumpalan-gumpalan jiwanya terbentuk dengan air mata manusia yang mengisi semua lautan. Atau terbentuk dengan uap nafasnya yang mengharapkan kasih sayang.
Aku menemui kemisterianku, dengan jejak yang coba kucari di tepian sungai ini. Aku merasa kalau dahulu pernah berlalu di atasnya, pada arusnya yang membawaku sampai ke hilir dan telah melihat bongkah-bongkah batu adalah jiwaku yang menunggu segala sesuatu menegur sapanya. Apakah itu benar-benar sudah kualami atau hanya singgah dalam imajinasiku saja, tidaklah begitu perlu. Tapi aku merasakan hubungan dengan suasanaku, dan merasa tepian sungai adalah keheningan yang dekat.
Sendiri adalah kesengsaraan, terlebih jika hidup menemani kemisteriannya dan merasa bahwa dirinya tertutup oleh kabut hitam.
Dan kudatangi kesengsaraanku bila kesunyianku benar-benar tiba, dan pinggiran sungai sungguh telah menunjukkan jalan keterhanyutan yang kukehendaki kepada tempat berkumpulnya seluruh mata air makna-makna.
Kuciptakan sengsara dengan menyongsong wajahku yang terlukis di butir-butir air, tiada seseorang yang lain di sana, tiada kehadiran kecuali bayang-bayang sepi yang memisahkanku dengan suara-suara kampungku, yang saling bercerita. Aku memilih sengsara dengan bertanya kepada semua kemisterian yang menggangguku. Dan ketergangguan itu adalah bahasaku dan siapapun manusia akan terganggu oleh ketidaktahuan. Benarkah kesengsaraan adalah satu alam rahasia, yang memaksa diri untuk bergerak, berfikir, dan memahami. Tapi yang pasti, melangkahi batu-batu dalam sepi adalah keterbuangan, bukannya mencari panorama yang mengasyikkan mata; setidaknya begitulah pengertian untuk waktuku.
Dan sejak kutuju kesengsaraan, aku mulai sering berlari-lari dalam mimpi, dalam nafas nurani dan jiwaku tertatih-tatih di pinggiran kampungku dan nyanyian alam itu menusuk ke jantungku. Siapakah yang menyebutku sengsara, barangkali itu ada dalam pandangan yang masih belum jelas. Dan kesengsaraan adalah makna lain dari kesulitan seseorang dalam mempertahankan keberadaannya.
Untuk mempertahankan keberadaanku terpaksa kulewati pinggiran sungai dan melihat wajahku pada airnya. Ingin kupastikan bentukku, dan melihat cahaya dari mata sunyiku. Hanya satu yang terngiang di sanubari, yakni keberadaan namaku yang sudah dipanggil di kampung kami. Dan memastikan ketokohanku yang ragu-ragu dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Di sebuah kesengsaraan, suatu kemisterian hidup sangat menggelisahkan hati. Dan yang kupertanyakan berulang kali kepada wajahku yang terlukis di sungai.
Kutanyakan kepadanya, "Kaukah yang dipanggil di kampung-kampung itu, lantas kau jawab. Siapa nama, pada wajah dan jiwa? Yang punya persepsi pada pengenalan dunia manusia. Benarkah penulisan atasmu pada lembaran kertas-kertas, kartu identitas atau di semua arsip negara ? Itukah perbedaanmu. Dirimu?"
Benarkah aku manusia.
"Dengan perawakan manusia dan nama yang menempel khas. Dalam kenyataan bentuk, itukah yang hakiki?"
" ika mengesampingkan sementara opsi atas nama dan bentuk lain, dalam khasanah jenis segala makhluk bumi yang bertebaran. Maka jawablah aku, atas pertanyaan klasik ini. Pada asumsi bagusnya nama, perawakan, dan keabadiannya. Dan konsekuensi kemanusiaan di baliknya. Adakah nama dan bentuk mengharuskanmu mengerjakan sesuatu? Itukah makna aktivitas?"
Atau, paling tidak, mungkin ada orang yang memberi perhatian istimewa pada nama dan bentukmu, mungkin juga bumi. Adakah?
Wajah itu hanya diam, dan dipermainkan riak air yang menggetarkan senyumannya.
Semua yang kupertanyakan hanyalah kenyataan yang sudah terjadi. Siapapun akan mengetahui jawabannya. Karena kemanusiaan akan mengajari berbagai kefahaman dalam diri, walau kefahaman yang lebih hakiki harusnya masih ada. Pertanyaan seperti itu akan dijawab dengan kalimat yang singkat; karena aku sudah diciptakan oleh KeagunganNya sebagai manusia.
Namun yang sering menghantarkanku dalam kesengsaraan adalah keterciptaanku sebagai manusia sudah mengungkapkan keberadaan masa depan, dan banyaknya kemisteriusan yang kualami dalam jiwaku.
Seperti aku pernah memburu sang misteri dengan pencapaian-pencapaian. Tapi pencapaian itu masih gelap dan samar. Aku masih kehilangan jejak jiwaku yang terus-menerus berangkat membawa nyanyiannya; suatu nyanyian yang menyerupai ratapan kepada esok hari. Aku belum mengenali wajah esok meskipun sudah kutunggu di pintu fajar kedatangannya. Karena apa yang kulihat adalah bias matahari yang membuatku tetap pucat, karena doa-doa yang diminta para jiwa tak tampak bentuk hadirnya. Aku ingin menggugat pagi yang terus datang, akankah ia membawa cendera mata masa depan karena itu sudah di pesan selama berabad-abad di bumi ini. Tapi pada kenyataannya sang pagi mengatakan tunggulah esok, dan esok pula.
Kemarin di kampungku aku melihat seseorang yang mencoba menduga masa depan. Ia sudah pelajari tentang kemisterian dan peramalan, seperti palmystri, astrologi dan numerologi, dan penduduk kampung kami banyak pula yang menanyakan hal ihwalnya. Sungguh setiap orang selalu ingin berdiri di depan cermin masa depan dengan senyum, cantik, dan gagah perkasa, serta akan menghiasi dirinya dengan daya upaya dan kekuatan. Seperti aku juga menemukan imajinasiku pada esok; dan aku melihat kesedihanku di sana. Mengapakah, dan haruskah kesedihan itu akan benar-benar ku temui kelak. Lalu kapankah pintu pagi akan membuka tirai kepahamanku tentang ruang masa depan yang menyiapkan tempat untukku, dan memberi kunci ilmu yang bisa memberi cahaya pada mata dan jiwaku untuk mendambakan akhirku.
Aku merasa sengsara dengan ketakutan terhadap waktu. Meskipun sudah lama kupelajari tentang nyanyian surga di sudut kampungku. Tapi itulah namanya kegelisahan, mencipta keraguan demi keraguan. Karena aku dapat merasakan jiwaku tidak  memastikan esokku seperti nyanyian surga, sedangkan jiwaku pun masih terdekap dalam hampa. Kehampaan itu seperti perasaan yang menerawang jauh tanpa batas. Jiwaku terkadang hidup dengan kemegahan dan mampu membungkus alam dengan satu senyum saja, tapi juga sering menjadi keterasingan yang teramat kecil dan terusir hina. Aku tidak bisa menjadikan namaku terasa pasti, dan lalu menjawab sapa dengan kebimbangan dan sunyi.
Tapi setidaknya aku masih mencoba mencari wajahku, atau senyumku, atau cahaya mataku di bayangan air sungai. Itulah kesengsaraan. Itulah kemisterian hidupku bila masih kukenali nafasku di antara hembusan waktu. Aku pun masih setia mendengar nyanyian alam ketika melewati kampungku, dan mengikuti kemana suaranya pergi membawa beritanya. Ia akan menciptakan senyum pada wajah-wajah kaumku, dan akan menciptakan padaku suara kepada masa depan, meski iramanya kebahagiaan atau kesengsaraan.
masril h. rambe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H