Mohon tunggu...
masrierie
masrierie Mohon Tunggu... Freelancer - sekedar berbagi cerita

menulis dalam ruang dan waktu, - IG@sriita1997 - https://berbagigagasan.blogspot.com, - YouTube @massrieNostalgiaDanLainnya (mas srie)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hadiah untuk Guru (Bukan) Gratifikasi?

30 Juni 2022   15:02 Diperbarui: 30 Juni 2022   16:14 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puluhan tahun silam, saat  duduk di SD swasta di Kota Bandung , biasanya kalau mengambil rapot sendiri saja . Hanya siswa yang bermasalah  rapotnya harus diambil orang tua. Tidak ada istilah urunan uang ini uang itu  ,untuk beli kado buat guru. Tidak juga orang tua teman-teman mengirim kado usai bagi rapot.

Maka ketika tahun 1997 putra pertama masuk TK, saya tak pernah memberi kado untuk guru. Berdasarkan pengalaman  masa sekolah, tidak ada  kebiasaan itu.

Karena sibuk mengurusi si bungsu yang masih bayi (tanpa nanny dan asisten rumah tangga), saya jarang ke sekolah. Antar jemput si sulung cukup mengandalkan abang becak langganan. Atau kadang putra saya pulang sendiri berjalan kaki.

Baca juga: Mahadewi

Ketika  anak sulung masuk SD pun saya jarang ke sekolah. Karena sudh ada mobil antar jemput langganan. Jadi banyak ketinggalan informasi.

Beberapa kali ambil  rapot saya pernah minta bantuan tetangga, karena anak bayi sedang kurang sehat. Belum ada Ponsel, telepon rumah juga tak semua orang punya. Komunikasi serba terbatas. 

Sampai satu waktu  akhirnya saya datang juga ke sekolah untuk mengambil rapot. Seorang ibu mengendap-endap, berbisik, apakah saya berkenan ikut urunan uang ?Tampak sebuah lembaran kertas berisi catatan nama-nama donatur.

Ternyata ibu-ibu yang lain sudah sejak lama urunan uang untuk hadiah akhir kwartal ibu guru. Menjelang liburan. Memang bukan permintaan guru, tapi orang  tua murid memang berinisiatif sendiri dan  tentunya ikhlas untuk berbagi. Saya kurang tahu persis, apakah hadiahnya dalam bentuk uang atau dibelikan barang.

Jujur karena tak bawa uang , kecuali ongkos yang pas-pasan, maka saya mohon maaf . Saya katakan, untuk acara pembagian rapot berikutnya saja saya ikutan.

Sejumlah orang tua berinisitaif  dengan alasan yang dapat diterima saat itu, gaji guru sekolah negeri sangatlah kecil.

Namun satu pertanyaan,  ketika mencantumkan nama-nama orang tua siswa yang menyumbang, apakah guru bisa tetap objektif kepada siswa?

Singkat cerita , belasan tahun kemudian, seorang teman mengeluhkan  guru anaknya yang pilih kasih memperlakukan siswa. Ada siswa yang kurang disiplin tapi tetap diperlakukan manis. Dan selalu menjadi juara kelas, meski hanya rangking ke 7 atau 10 besar. Padahal sehari-hari prestasinya tidak lebih baik dari siswa yang tidak masuk sepuluh besar.

Penyebabnya, orang tua siswa tersebut rajin menebar saweran  untuk para guru, bahkan untuk perbaikan taman  sekolah.

Kalau sudah seperti ini, sangat mencederai objektifitas guru dalam mengisi rapot. Bisa juga guru menjadi serba salah.

Seorang wali murid juga menganggap hadiah untuk guru adalah gratifikasi. Tapi ia juga tetap memberikan gratifikasi kepada guru, karena  kebanyakan orang tua lainnya memberi. 

Menurut ceritanya, ada keanehan di nilai ulangan anaknya. Setelah diteliti, banyak sekali jawaban benar yang disalahkan. Iseng ia mengamati hasil ulangan sahabat anaknya, justru sebaliknya. Banyak yang salah dibenarkan. Otomatis  nilainya lebih tinggi.

Usut punya usut , ternyata  ada hubungannya dengan  prinsip kuatnya yang tidak pernah mau berbagi dengan guru. Nama anaknya tak pernah tercatat sebagai penyumbang hadiah setiap bagi rapot, dari tahun ke tahun.

Lalu ia menghubungi koordinator  orang tua murid, dan ikut menyumbang. Ternyata nilai ulangan anaknya  menjadi normal. Karena ia menyadari betul bahwa anaknya memang cukup cerdas dan rajin, jawaban ulangan jarang ada yang salah.

Ada yang berpendapat,  sah-sah saja  memberikan hadiah  untuk guru. Jika orang tua murid tidak ada embel-embel udang di balik batu , harapan terselubung. Seperti pesan terselubung..., tolong anak saya nilainya di up dan diperlakukan istimewa.

Pendapat lain, sah-sah saja guru menerima hadiah dari orang tua murid,  jika guru tetap teguh  pada prinsip memperlakukan semua murid dengan objektif tanpa pandang bulu.

Tak semua orang  tua siswa bisa memberikan hadiah kepada guru saat pembagian rapot.  Banyak dari mereka merasa  minder dan  berkecil hati, jangankan memberi untuk guru, untuk keseharian penghidupan sendiri saja sudah  sulit.

Pendapat lain mengemukakan usul, bagaimana jika hadiah tersebut tak  perlu mencantumkan nama pemberi. Jika memang niat memberi benar-benar  ikhlas . Untuk membantu kesejahteraan guru. Dengan demikian guru tidak dibebani  hutang budi kepada orang tua siswa tertentu.

Pemberian hadiah misalkan saja dikoordinir  sehingga semua kado  dibungkus bersama-sama, tanpa ada titipan nama siswa di dalamnya.

Perlu diakui, jauh di masa silam, guru kerap disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Pengabdiannya mengajar  tidak diimbangi dengan  imbalan yang memadai. Betul k depannya ada perbaikan-perbaikan gaji  guru sejak reformasi. Namun masih banyak guru honorer yang kesejahteraannya terabaikan.

Padahal di pundak para guru jugalah  pendidikan anak-anak kita titipkan. Belajar dari  Malaysia, menjadi guru bukan saja terhormat, namun kesejahteraannya sudah sangat terjamin.  

Lalu apakah hadiah bagi guru  termasuk gratifikasi? Ada yang mengatakan iya, dan mengatakan bukan. Itu bentuk terimakasih tulus orang tua murid.

Di sisi lain, pemberian hadiah kepada guru, akan mencederai pendidikan anti korupsi di dunia pendidikan. Dunia pendidikan berperan penting  bukan hanya dalam mencerdaskan secara intelektual, tapi juga kecerdasan emosional dan spiritual. Keteladanan para pendidik menjadi acuan.

Kalau di dunia pendidikan saja sudah cedera dengan  gratifikasi , apalagi dengan adanya bocoran soal dan kecurangan ujian nasional, terbayang kan. Seperti apa jadinya moral dan mentalitas generasi yang terbentuk untuk masa depan.

Melarang  memberi hadiah kepada guru, selayaknya dibarengi perhatian  kesejahteraan para guru. Perbaikan nasib guru dan keluarganya dapat meredam tradisi  memberi  hadiah kepada guru. Karena guru kan sudah sejahtera.

Tidak semua guru bergembira mendapat hadiah. Kerapkali  juga bingung menolak, serba salah, kuatir orang tua murid  tersinggung jika pemberiannya ditolak.

Kembali ke pendapat, apakah  hadiah saat pembagian rapot masuk gratifikasi?

Tidak selalu, karena niat berterimakasih  tidak mengharap  balasan. Apalagi jika pemberiannya  dilakukanberamai-ramai, dan tanpa  nama pemberi dalam hadiah tersebut. 

Tapi bisa  jadi iya, apabila menimbulkan konflik kepentingan. Apabila guru menjadi tidak fair dan objektif dalam menilai hasil prestasi belajar siswanya, dan bermain-main dengan nilai rapot ujung-ujungnya.  Atau pilih kasih  dalam memperlakukan siswa siswinya. Mengistimewakan siswa  yang  terbanyak memberi gratifikasi. Bahkan siswa pemberi gratifikasi terbanyak  bisa saja diupayakan, menjadi siswa berpestasi.

Berdasarkan UU 20 tahun 20001 jo UU No 31 /1999 tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Gratifkasi adalah pemberian dalam artiluas yang meliputi pemberian uang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dn fasilitas lainnya. 

Gratifikasi atau pemberian hadiah memang awalnya  tidak menimbulkan konflik kepentingan. Namun gratifikasi dapat membawa kepentingan tersamar pemberinya, sehingga tanpa disadari akan menimbulkan kewajiban timbal balik yang bisa mengganggu indepdensi dan objektivitas penyelenggara negara. (sumber: kpk.go.id)

Guru dan sekolah negeri, termasuk dalam kelompok penyelenggara negara. Guru bisa kita analogkan dengan dosen. Jadi serupa , kalau dosen  menerima hadiah dianggap gratifikasi, guru  juga .

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Selasa 23 / 11/ 2021, , menyoroti perlunya aturan yang melarang dosen menerima hadiah dari mahasiswa.

"Karena dosen yang menerima hadiah dari mahasiswa ada kecenderungan untuk tidak adil," menurut Alexander Marwata. "Berperilaku tidak adil itu bagian dari perilaku koruptif"

Menurutnya, Singapura  telah melarang dosen mnerima hadiah dan melabeli tindakan tersebut sebagai bagian dari korupsi. Berharap Indonesia menegeakkan aturan serupa. (Sumber: liputan6.com)

Mengutip berita tahun 2018, WartaKota Tribunnews, saat itu Plt Kepala DinasPendidikan DKI Jakarta, Bowo Irianto, secara tegas mengatakan, bahwa memberi hadiah/ucapan terimakasih/cendera mata kepada guru saat pembagian rapot adalah  gratifikasi.

Siapapun bebas berpendapat. Namun campur tangan pemerintah  sangat dinanti agar semuanya menjadi jelas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun