Tanggapan untuk Tessa Marlina.
Menarik sekali apa yang ditulis oleh Tessa Marlina. Tentang Crazy Rich, hedonisme dan flexing, Â "Crazy Rich itu Kaya atau Di-kaya-kan?"
Ijin sekedar menimpali, karena rasa keprihatinan. Flexing, tema menarik yang sedang mengemuka. Fenomena ini dianggap biasa dan lumrah-lumrah saja. Dianggap wajar sebagai bagian gaya hidup. Pembahasannya sangat menarik dan sistematis oleh Rheinald Kasali. (Simak diYou Tube)
Jujur, dunia sekarang  adalah dunianya generasi millenial dan generasi Z. Mereka adalah  generasinya anak-anak saya.
Sebagai orang tua, ketika anak-anak masih kecil. Puluhan tahun silam. Flexing ini sudah mewabah di kalangan ibu-ibu pengantar anak ke sekolah.Â
Ada ibu yang mementingkan penampilan, membeli tas, baju, sepatu branded. Tapi caranya membeli dengan menyicil . Dan penjual yang NB adalah ibu dari siswa juga , percaya-percaya saja. Sampai pada cicilan selanjutnya ibu tersebut tak pernah muncul. Hilang bagai ditelan bumi. Diam-diam anaknya sudah pindah sekolah ke luar kota.
Dulu, medsos belum secanggih sekarang. Internetpun langka. Jadilah  ibu penjual tersebut  merugi. Ketika mendatangi alamat rumahpun, ternyata rumahnya dulu mengontrak, pemilik rumah tak memiliki informasi pindahnya  ke mana.
Ada juga kisah ibu muda yang cantik. Wajahnya bukan type downgrade. Herannya kenapa sering meminjam uang tapi  tak pernah bayar. Tapi soal baju, gaya hidup, tas, sepatu, semua yang mahal dan berkelas. Bergaul di antara ibu-ibu  sosialita. Ternyata rumahnya di kawasan kumuh. Tidak bersuami. Dan rumah itupun mengontrak.
Ada cerita teman dekat saya. Pengalaman pahit ketika  seorang tetangga datang  ke rumah. Tinggal di perumahan yang  kelas menengah ke bawah, teman dekat saya juga bukan orang berada. Hidupnya juga pas pasan. Tapi ketika didatangi tetangga yang  memelas tak punya uang untuk beli beras. Ia memilih memberikan uang, bukan meminjamkan.
"Aku masih bisa beli tahu untuk makan. Uang yang lain untuk ongkos transpor anak naik angkot ke sekolah, tapi tetanggaku ini.... Beras saja tak punya....". Maka menu tahu  goreng, tahu  semur, tahu pepes jadi andalan sepekan. Uangnya untuk bersedekah bagi ibu tetangga. Begitu penuturan temanku.
"Tapi entah kenapa, warung di dekat rumah tutup esoknya. Jadi  karena kehabisan bawang, aku berjalan ke warung yang lumayan jauh dari rumah. Dan tetanggaku itu, berpapasan denganku. Wajahnya terkejut. Ia baru saja membayar belanjaan untuk masak, ada baso sapi, ayam , sosis, dan entah apa lagi. Sementara aku hanya membeli bawang merah. Karena di rumah persediaan tahu sangat banyak di kulkas. Uang belanjaku untuk menolong dia....,beli beras" temanku dengan mata berkaca-kaca.
Cerita selanjutnya menurut temanku ini, sang tetangga ternyata memang culas. Ia pernah minta bantuan tetangga lain, meminjam uang, dan tak pernah dikembalikan. Untuk apa? Untuk membelikan putrinya yang masih kuliah, sepatu branded.
"Anak harus didandani  pakai barang mahal, jangan samai ketahuan anak orang susah. Supaya yang jatuh cintanya juga orang berada.... Kalau sudah jatuh cinta, ketahuan kami miskin tidak masalah. Kalau  tidak menjaga penampilan dan jadi anak gaul, apalagi ketahuan susah, anak orang kaya, bertemanpun nggak maulah...," tetangga temanku itu  pernah curhat pada tetangga lainnya.
Jadi tidak heran, kalau para ibu ini secara tidak sadar, sedang melakukan kaderisasi generasi Flexing, pada anak-anaknya.
Sinetron dan sinema juga kerap mempertontonkan kemewahan, Gaya hidup kelas atas. Namun sayangnya, tidak disertai penuturan, dengan cara apa mereka kaya.
Ini menarik sekali,  sehingga  banyak orang terpengatuh  berorientasi pada hasil. Lupa pada proses.Â
Pembelajaran untuk proses, daya juang, cara kerja dan persaingan yang fair dan jujur, menjadi penting. Tapi jika hanya melihat hasil, kuatirnya tumbuh mencapai tujuan  dengan cara apapun. Bahkan cara yang malah merugikan.Â
Keadaan seperti ini, menguntungkan para pemilik investasi bodong.  Dengan merayu dan  mudah menjebak para korbannya.
Tentang bunga-bunga hadiah saat wisuda. Ternyata sudah terbiasa di antara anak muda sekarang, tukar menukar hadiah bunga wisuda. Jadi tidak gratisan.Â
Bahkan ada yang membeli bunga sendiri ukuran besar, seolah-olah ada yang memberi hadiah, dari si A Â atau si B. Yang penting tampak keren di mata orang. Walau sebetulnya itu bukan hadiah dengan ketulusan, hanya saling tukar menukar prestise saja.
Seperti yang ditulis oleh Mbak Tessa Marlina, Â itulah realita sekarang. Tidak selalu yang tampak kaya itu betul kaya. Tidak selalu juga yang kaya itu prosesnya legal. Â Tak sedikit yang menjadi kaya di atas derita korban-korban yang berjatuhan.
Sah sah saja ketika  tak sedikit orang  menganggap  flexing membawa berkah. Di dunia medsos, follower yang berlimpah, rejeki dari endorse mengalir, mendongkrak popularitas dan masuk kelompok sosialita . Bukan hanya kebanggaan, tapi cuan mengalir.  Hanya saja , bisakah harinurani tetap damai dan tenteram, ketika keuntungan diraup dan ada yang dirugikan? Contoh, endorse kosmetik berbahaya, yang ilegal. Ada korban  dalam hal ini.Â
Mungkin saatnya kita perlu 'engeh'  tentang realita ini. Semakin banyak yang tertipu oleh investasi bodong, dan tawaran-tawaran yang  menggiurkan, tapi menjerumuskan.  Ini jadi PR kita bersama. Mulainya  dari diri sendiri,  keluarga sendiri, lingkungan terdekat.
Terimakasih Nak  Tessa Marlina, sangat menginspirasi ulasannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H