Seorang teman baru menggelengkan kepala saat bertamu. Seperti hutan ya halaman belakangnya? Kenapa halaman sempit begini rumah kok dihutankan? Halaman sempit di depan rumah juga terlalu rimbun.... ., ulasnya.Â
Saya tergelak, habis penghijauan rumah kok dibilang hutan sih?
Ya sudahlah, saya jadi terinspirasi istilah menghutankan rumah sendiri.Â
Beliau juga  kian  terkejut-kejut saat mendengar suara burung ruak-ruak  (burung ayam-ayaman atau burung wak wak) di belakang rumah. Harusnya piara  burung tuh yang suaranya indah...merdu. Kok pelihara burung ruak-ruak segala? Berisik , komentarnya.
Memang, bukan hanya burung ruak-ruang yang bersarang sejak 2014 di belakang rumah, tapi juga mamalia terbang seperti kalong dan kelelawar. Kalau yang itu  saya  takut. Namun tidak mengganggu ternyata. Burung-burung pipit juga tamu langganan hinggap di rumpun bambu.
Namun jika saya habis bepergian di terik matahari dan melewati lautan udara yang sarat asap dan polusi serta debu....Lalu masuk ke rumah... Langsung terasa sejuk.... segar , karena  dikelilingi pepohonan rimbun, baik yang besar  di pinggir jalan, atau yang merambat di tembok.
Menanam bambu, pepohonan lain , palem walini, daun rambat sirih belanda, membutuhkan waktu 10 tahun untuk menjadi rimbun. Dan kebanyakan orang berkomentar, kalau ini rumah mereka, mereka bakal menebangi semua pohon itu. Tapi saya memiliki sudut pandang yang lain. Memilih tetap 'menghutankan' rumah kami sendiri. Banyak alasan terkait dengan masalah lingkungan hidup.
Bagi saya, keuntungannya lebih besar daripada risikonya. Namun dari sudut pandang orang lain, bisa jadi beda 180 derajat.  Misalkan, teman saya tidak suka burung ruak-ruak karena suaranya yang sember dan sesekali  berisik di larut malam, jika mereka mendengar suara-suara gaduh.
Tapi untuk kami sekeluarga, burung ini lucu sekali. Berasa Back to Nature........ Tidak perlu memberi merek makan, meski  kalau didekati mereka suka kabur.  Memandang mereka  saja serasa terhibur.
Makanan mereka, ulat, cacing , dan ikan impun atau serangga. Di balik tembok benteng belakang rumah, ada selokan yang lumayan besar dan dalam. Di sanalah mereka berenang-renang dengan suara ramai seperti  suara bebek saja,  setiap pagi , siang dan petang.  Jelang magrib mereka kembali ke sarang.
Burung yang semakin langka  karena habisnya areal persawahan ini juga sering dijual di restoran. Kata teman saya, dagingnya enak. Saran teman saya, tangkap saja, goreng.
Burung ruak-ruak termasuk jenis burung rawa/sawah yang lumayan 'bawel'. Rajin berbunyi, meski suaranya tidak merdu. Suara mereka gampang terdengar jika terpancing,  jika ada suara keras. Baik itu suara  knalpot motor yang digerungkan, atau suara sirine mobil. Sering tetangga belakang rumah, menyalakan musik dengan pengeras suara, maka burung  tersebut ikut menyahut..
Perilaku burung ruak-ruak ini bikin kami jatuh sayang. Ada sepasang yang sejak salam tinggal dan pulang ke rumpun bambu.
Pernah beberapa kali bayinya yang lucu dan berwarna hitam terjatuh dari sarang. Suatu kali ada bayinya yang cacat. Ternyata kakinya melipat ke dalam, jadi bayi yang satu ini tidak bisa jalan dan terbang. Apalagi berenang.
Ternyata burung ini bergantian menunggui bayinya di kardus yang saya siapkan, dan yang baru datang  selalu membawa makanan, lalu tadinya mengeloni dan menghangatkan bayinya dengan sayap. Yang satunya mengasuh bayi lainnya yang jatuh ke selokan belakang rumah.
Mereka datang tidak  diundang sejak tahun 2013 an. Bersarang di rumpun bambu. Tepatnya sejak persawahan di area belakang kompleks ditimbun . Rupanya sebagian menyeberang ke lahan lahan kosong samping rumah.
 "Jadi mereka itu  burung liar ya mbak, pagi pergi mencari makan, berenang-renang di selokan, lalu magrib pada pulang?" teman saya bertanya.
 "Tidak selalu pergi pagi pulang petang, siang hari juga mereka bergantian mengerami telurnya. Sesekali saya suka melempar biji beras ,tahu mentah , atau buah pepaya ke halaman. Kasihan pasti  susah cari makan.
Saat mengerami telurnya atau mengurus bayi nya, induknya atau  yang jantannya (bergantian) suka turun ke halaman. Mengorek tanah dan mencari cacing. Kalau ada makanan mereka akan mematuk dengan paruh, membawanya ke sarangnya. Menyuapi bayinya.....," saya menjelaskan.
Rimbun  dedaunan bambu  itu, berkah bagi burung-burung yang kehilangan habitatnya . Namun bagi kami sekeluarga khususnya, ada 'pabrik' oksigen sejak matahari terbit hingga matahari terbenam. Oksigen yang menyegarkan pernafasan kami, terasa teduh ke dalam rumah.
Sementara bahaya polusi di perkotaan sudah menjadi momok menyeramkan bagi kesehatan  fisik dan psikologis. Kekurangan oksigen menjadi akar  segala penyakit .
Minusnya. Serangga Hama, Ulat, dan Ular.Â
Kalau ada hutan kecil di halaman rumah, lumayan harus waspada ular. Di pohon bambu ular sepanjang 2 meter lebih pernah terlelap. Selama satu hari satu malam, ular bertapa.
Celah bawah pintu ditambah selotip yang sewarna dengan pintu. Keset sabut kelapa bisa membantu jika di simpan di depan pintu. Lalu saya tambahkan tali ijuk hitam. Jadi, ularnya tidak masuk rumah. Namun ular yang besar dan tidur di pohon bambu , kami tangkap. Minta bantuan orang yang sudha biasa, lalu ularnya dimasukkan ke dalam karung, dan kami pindahkan ke  sungai besar.
Rumah dan Kesempatan Menghutankannya
Hunian kediaman kami, sengaja kami bangun vertikal. Tujuannya untuk menyisakan lahan resapan dan halaman yang lebih luas. Karena memang lahannya terbatas. Saya biarkan tanaman rambat untuk menutupi dinding, dan membiarkan rimbun depan belakang. Pohon besar depan rumah di sisi jalan tak kami tebangi.
Karena rasa prihatin akan darurat oksigen dan udara bersih.
Belajar dari kota saya sendiri. Dengan cara pandang saya yang sederhana ala emak-emak. Â Kebutuhan oksigen di kota yang semakin padat penduduk , serta semua orang berlomba-lomba untuk menciptakan kesejukan dalam mobil, rumah dan kantor, dengan cara menggunakan listrik.
AC, kipas angin...... semua menggunakan listrik. Tapi residu yang dihasilkannya? Jelas AC penyumbang polusi  yang cukup besar. Nah, belum lagi gas-gas beracun yang dihasilkan dari proses pembakaran sampah, mesin kendaraan , mesin pabrik.... Bayangkan juga enerji yang kita habiskan, proses pembuatannya juga mencemari udara, merusak lingkungan. Pohon besar keberadaanya semakin dibutuhkan, tapi malah semakin banyak yang ditebangi.
Pepohonan yang saya pilih  adalah bambu , yang tidak mudah patah menimpa rumah kalau hujan dan angin badai. Pohon sirih juga menyejukkan, dan saya biarkan merambat di tembok.
Sekecil apapun , sumbangsih oksigen yang  dihasilkan  dari rumah kita, atas inisiatif kita , pasti ada manfaatnya. Jika manfaat kecil itu menjadi habit di semua pelosok, maka akan menjadi manfaat besar.Sekecil apapun, sebuah rumah  layaknya ada resapan air.Â
Jika burung-burung leluasa berkembang biak, pasti baik untuk kestabilan ekologi dan rantai makanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H