Hunian kediaman kami, sengaja kami bangun vertikal. Tujuannya untuk menyisakan lahan resapan dan halaman yang lebih luas. Karena memang lahannya terbatas. Saya biarkan tanaman rambat untuk menutupi dinding, dan membiarkan rimbun depan belakang. Pohon besar depan rumah di sisi jalan tak kami tebangi.
Karena rasa prihatin akan darurat oksigen dan udara bersih.
Belajar dari kota saya sendiri. Dengan cara pandang saya yang sederhana ala emak-emak. Â Kebutuhan oksigen di kota yang semakin padat penduduk , serta semua orang berlomba-lomba untuk menciptakan kesejukan dalam mobil, rumah dan kantor, dengan cara menggunakan listrik.
AC, kipas angin...... semua menggunakan listrik. Tapi residu yang dihasilkannya? Jelas AC penyumbang polusi  yang cukup besar. Nah, belum lagi gas-gas beracun yang dihasilkan dari proses pembakaran sampah, mesin kendaraan , mesin pabrik.... Bayangkan juga enerji yang kita habiskan, proses pembuatannya juga mencemari udara, merusak lingkungan. Pohon besar keberadaanya semakin dibutuhkan, tapi malah semakin banyak yang ditebangi.
Pepohonan yang saya pilih  adalah bambu , yang tidak mudah patah menimpa rumah kalau hujan dan angin badai. Pohon sirih juga menyejukkan, dan saya biarkan merambat di tembok.
Sekecil apapun , sumbangsih oksigen yang  dihasilkan  dari rumah kita, atas inisiatif kita , pasti ada manfaatnya. Jika manfaat kecil itu menjadi habit di semua pelosok, maka akan menjadi manfaat besar.Sekecil apapun, sebuah rumah  layaknya ada resapan air.Â
Jika burung-burung leluasa berkembang biak, pasti baik untuk kestabilan ekologi dan rantai makanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H