Tahun 1955, Jalan Purnawarman Kota Bandung.
Hening sepanjang jalan di kota ini. Di cekungan yang berselimut kabut , bentangan sawah terhampar membingkai kawasan. Ayunan padi hijau menguning mengisi celah-celah di tengah kota.
Denyut kehidupan tenteram , rumah-rumah peninggalan Belanda. Bangunan-bangunan kental sejarah, pepohonan rindang dengan wewangian tanjung bertebaran di musim angin berembus lembut. Pohon bunga tanjung, aromanya membaur dalam angin.
Karena setiap nafas terhirup jutaan oksigen menyeruak menimbulkan kekuatan. Demikian pula jalan Purnawarnam yang membujur dari utara ke selatan. Menjadi bagian nostalgia indah kota Bandung di masa silam. Suasana tempo dulu yang kekal mengukir sejarah.
Di hotel ini pernah sebuah keluarga asal Palembang menginap. Selain dalam rangka berwisata ke kota Bandung yang menjadi buah bibi seantero negeri, mereka ingin mengunjungi salah satu kerabatnya yang tengah merantau ke Bandung. Seorang pemuda Palembang yang menuntut ilmu . Dan menumpang tinggal di satu bangunan tua.
Bangunan dengan ciri karakter arsitektur Bandung Tempo Dulu. Karya arsitek Belanda. Jalan Purnawarman termasuk bagian dari ‘Kota Tua’ Bandung. Kala itu ada plang tertulis Konsulat Batanghari Sembilan. Selanjutnya berganti jadi Asrama Mahasiswa Sumatera Selatan Bandung.
Pemuda yang dikunjungi kerabatnya itu, di hari tua bertutur tentang kenangan indah di sana. Dikisahkan betapa mandirinya mereka. Berbagi tugas bahu membahu mengurus asrama, kebersihan sampai menyiapkan makanan dilakoni dengan penuh kebersamaan. Sesama penghuni asrama menjadi saudara .
Celoteh mahasiswa berbahasa logat Palembang setiap pagi buta. Mereka berjalan kaki menuju kampus yang tak jauh sari sana. Umumnya kuliah di Technischee Hoogeschool (sekarang ITB). Ada juga yang naik sepeda ontel.
Berjalan kaki atau mengayuh sepeda, tidak ada rasa lelah. Malahan terasa badan kian bugar. Suasana yang sangat mendukung untuk menuntut ilmu . Berbeda dengan kota asal mereka, Palembang yang hawanya lumayan gerah alias bertemperatur tinggi. Udara Bandung memang bikin semangat, kalau belajar konsentrasi berlipat ganda, dan kehijauannya yang damai menenteramkan bikin warganya banyak ide dan kreatifitas.
Di depan bangunan peninggalan Belanda itu tertulis plang,” Asrama Batang Hari Sembilan”. Di seberangnya tak jauh dari sana, ada Hotel bernama Jutimto. Lokasinya berseberangan tak jauh dari rumah makan terkenal di masa silam, Mirasa.
Asrama yang kini sudah tidak ada lagi di kawasan tersebut , menyimpan ribuan lembar sejarah manis. Jika dituliskan semua. Saksi denyut kesibukan mahasiswa Sumsel perantauan yang menghuni kamar-kamar yang memiliki ‘ruh’ ketekunan itu.
Berdasarkan cerita dari penghuni pertama asrama , makan daging ayam adalah barang mahal mewah waktu itu. Karena ia datang dari pelosok kampung di pedalaman Sumsel, ia terpesona oleh pemandangan indah dan hawa sejuk segar Kota Bandung.
Suasana Bandung yang damai sejuk dan hening membuat suasana belajar sangat optimal. Kota yang kaya oksigen dan selalu berkabut di pagi hari ini mendatangkan banyak inspirasi saat menuntut ilmu. Kebersahajaan para mahasiswa perantauan angkatan pertama penghuni asrama Sumsel ini tetap terasa indah karena ikatan ‘persaudaraan’ antara mereka.
Beliau, nara sumber saya ini, semasa hidupnya pernah kedatangan Pak Zaini Muhibat, yang waktu itu petinggi di Pusri Palembang. Mereka berkangen-kangenan serta bincang nostalgia semasa menghuni asrama tersebut.
Konon ketika lebaran mereka kerap terpaksa diam di asrama. Karena ongkos mudik sangat mahal dan lamadi perjalanan. Bahu membahu mereka memasak opor ayam. Dan ketupat. Itu sebab mantan penghuni asrama sangat terampil kalau urusan domestik. Karena terbiasa bebenah rumah dan memasak. Katanya ada gilirannya.
Jangankan ayam, telurnya saja tergolong makanan mahal dan mewah. Karenanya masa-masa tersebut kebanyakan orang memiliki ternak dan kandang ayam di belakang rumahnya.
Yang jelas bisa menikmati cemilan jagung bakar, jagung rebus, ubi goreng, singkong rebus, getuk dan jajanan pasar saja , mereka sudah bersyukur dan ‘bahagia’.
Asrama Sudah Tidak Ada
Saya pribadi tidak punya kenangan khusus kecuali banyak cerita dari sang nara sumber. Sebagai penghuni angkatan pertama wisudawan yang tinggal di sana. Banyak acara HWSS yang berlangsung di asrama tersebut, termasuk bazaar dan rapat pelaksanaan halal bihalan warga.
Meski asrama tersebut sudah tidak lagi berdiri tegak di jalan Purnawarman, kenangan dan sejarah serta jasanya melahirkan para profesional dan generasi penerus bangsa akan selalu tercatat dalam kenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H