Mohon tunggu...
masrierie
masrierie Mohon Tunggu... Freelancer - sekedar berbagi cerita

menulis dalam ruang dan waktu, - IG@sriita1997 - https://berbagigagasan.blogspot.com, - YouTube @massrieNostalgiaDanLainnya (mas srie)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[FR] Aku Pulang Menjelajah Kemarau

14 Juli 2015   10:59 Diperbarui: 8 Juni 2021   03:58 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku pulang menjelajah  kemarau.  Menyusuri samarnya senja.  Inna,  anakku,  Bunda ingin melihatmu menyingkap tirai batik  itu. Seperti selalu terekam oleh Bunda,  masa kecilmu,  sorak  riang berlari memelukku. Setiap Bunda baru pulang dari pasar.

Ah, rindunya Bunda akan rumah masa kecil itu. Yang kita tinggalkan jauh di masa silam. Tawamu Nak,  dan kecantikan kulit putihmu itu,  menjadikan Bunda lupa pada keletihan . Kau selalu menjadi bidadari yang menggemaskan.

Bunda lupa  atas sisi suram puluhan tahun kesetiaan Bunda mengabdikan diri kepada kalian. Di rumah yang Bunda selalu rindukan untuk pulang.

Pada setiap jam 2 malam, di rumah itu Bunda belum pernah absen untuk  bangun menerjang kantuk. Jujur, inginnya masih berleha sejenak di atas kasur. Itu tak mungkin, Bunda  mulai  meracik sayuran untuk membuat tumisan atau sayur bening. Dan menggoreng  tempe balut tepung kesukaanmu. Atau  tahu telur bertabur cabai dan daun bawang yang gurih kesukaan Abah. Buat kalian santap sahur.

Jelang berbuka puasa, dapur kita selalu saja  ramai. Karena saat Bunda memasak untuk berbuka, kau juga duduk di lantai main masak-masakan.

Inna, Bunda memendam rindu akan ruang rumah itu.

Rumah dimana Bunda tak pernah absen untukmu, dan untuk Abah. Untuk Aa Andri, Aa Raka,  dan kau. Pernahkah satu hari saja dalam puluhan tahun itu Bunda absen menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam? Coba sebutkan berapa kali Bunda  membiarkan cucian baju bertumpuk?

Inna  buah hatiku,  mulai dari menyikat kamar mandi, membersihkan selokan, menyapu halaman,  menanam bunga dan sayuran, hingga memboncengmu naik motor  saat kau sekolah. Kapan Bunda pernah absen dari semua itu sayang?  

Rumah yang selalu saja riuh sejak matahari belum terbit, menyiapkan sarapanmu. Menyiapkan bekal Abah ke kantor, menyiapkan nasi timbel untuk Aamu ke kampus. Betul sayang, semua pekerjaan yang tak pernah mendapat penghargaan dari kebanyakan orang.

Kalau Abah mengijinkan, tentunya Bunda tetap akan menjadi pengajar di perguruan tinggi. Tapi Abahmu lebih suka Bunda berkutat di dapur, kamar andi, kebun , rumah… dan menyusuri jalan-jalan raya mengantar jemput kalian dengan motor.

Maaf sayang, selalu menceritakan Rumah itu. Karena Bunda enggan mengingat rumah terakhir kita.

Rumah  terakhir kita terlalu dekat dengan rumah Nenekmu, rumah Uak-uakmu, rumah bibi-bibimu. Kakak dan adik Abahmu.

Rumah dimana kau menangis  merangkul kaki Bunda. Kau memaksa Bunda untuk kembali kepada Abahmu.  Lalu Bunda  memurkaimu, sehingga tubuhmu terbanting. Maaf , setelah Abah menceraikan Bunda, ternyata  Bunda menemukan kebahagiaan.

“Bunda, mana belas kasihan Bunda. Abah sedang sakit. Di rumah nenek ia terlantar. Inna tak mungkin harus terus mengurus Abah di rumah nenek. Rumah yang mirip neraka itu… Rumah dimana amarah selalu  meraja lela tak terkendali…. Rumah dimana diktator yang bernama Nenek itu  mengumbar wajah masamnya….Kasihan Abah…..” kau meratap kelu.

Bukan … bukan Bunda tak sayang padamu Nak. Bunda kasihan padamu. Tapi rasa cinta dan kasih sayang Bunda pada Abahmu, sudah pernah menjadi rasa luka mendalam,  ketakutan tak terkira,  derita demi derita. Rodi, kerja paksa, dan tidak ada penghargaan, dari Abah, apalagi dari nenekmu.

Tiga puluh tahun menjadi istri Abah,  pernahkan satu kali saja Abah  memandang Bunda dengan lembut dan mesra? Bunda lebih dianggap sebagai seorang pembantu saja. Abahmu tidak pernah melindungi dan membela Bunda  saat  Nenekmu menindas Bunda. Saat Uak-uak dan Bibi-bibimu menjadikan Bunda pesakitan.

Bunda hidup terseok dalam kemiskinan. Keprihatinan. Dan ternyata selama 30 tahun gaji Abah sebagian besar diberikan kepada Nenek  dan Uak Bibimu. Sementara  tubuh Bunda terus digerogoti penyakit dan keletihan.

Ketika Abahmu pensiun , mendapat  pesangon miliaran, nenekmulah yang menyuruh Abah menceraikan Bunda. Tidak hujan tidak angin. Lalu Abahmu pindah ke rumah ibu kesayangannya. Sampai depositonya ludes. Menjadi miskin dan sakit.

Tapi sungguh ajaib. Tiga puluh tahun tertekan, beberapa bulan semenjak Abah menceraikan…. Tiba-tiba Bunda menemukan kebahagiaan.  Bunda merasa tidak punya lagi kewajiban untuk menjadi ‘pembantu’ bagi  mertua dan para ipar.

Sampai hari yang naas itu tiba. Inna, saat Abahmu sakit,  kau meratap dan memaksa membawa Abah ke rumah  baru kita. Bunda membuat tubuhmu terbanting.

 

Abah marah dan memukul Bunda. Seperti sering ia lakukan dulu demi membela ibunya. Abah selalu dihantui ketakutan dan rasa berdosa jika ia menyayangi istri. Seolah ia tengah mengkhianati ibunya.

Maafkan Inna  sayang, ini malam-malam Ramadhan terakhir. Bunda merindukanmu….  Bunda ingin minta maaf karena kemarahan itu….

Gema takbir  melantun dari langgar.  Kau menangis tersedu sayang. Mengapa saling memaafkan harus menunggu sebuah tragedi dulu terjadi….? 

“Bunda…. Besok hari Raya Iedul Fitri,  tunggu Inna ya Bunda…. Tunggu Aa. Kami rindu menziarahi makammu….  Nanti setelah menjenguk Abah di penjara…., Abah  menyesali perbuatannya… setelah  kau tiada… Nenek  , Uak dan Bibi,  mudah-mudahan mereka juga menyesal… …. ” suaramu pilu terisak.

Lantunan ayat suci Al Qur’an itu  menjadi cahaya kesejukan yang menyelimuti Bunda. Binar kedamaian dari sejuta doamu sayang.

Setidaknya , sesal dan maaf itu akhirnya  terbit juga di hati ayahmu dan keluarga besarnya sayang.  Percayalah, Bunda selalu memaafkan kalian, sepedih apapun  Bunda disakiti.

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (sertakan link akun Fiksiana Community) Fiksiana Community

 

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun