Sekedar bernostalgia. Jika tengah melintas Jalan Sumatra Bandung, bagian utara (dekat tikungan jalan RE Martadinata / jalanRiau) Bandung, jadi ingat suasana tahun 1970an . Jalan ini termasuk jalan 2 arah yang hidup dan ramai. Pada masa itu termasuk jalan sibuk terutama pada jam-jam pulang dan pergi sekolah. Jalan yang di sepanjang sisinya diteduhi rindang pepohonan. Jalan dimana kala penulis kecil suka memunguti buah kenari. Lain ketika mengumpulkan buah warna biru untuk dirangkai jadi kalung. Atau menatapi Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani yang bisa dilihat dari balik pagar kawat , di seberang kompleks sekolah penulis .Jalan ini sarat dengan kenangan masa kecil .
video kenangan SD SMP tahun 1970an di Bandung
Rute Kenangan, Rute Kesejukan
Penulis tak pernah lupa bagaimana setiap pagi rute becak langganan mengantarkan ke sekolah. Jalurnya , dari rumah, belok ke arah jalan Banda bagian utara, mengarah ke selatan / bawah , lalu belok kanan, masuk dan menyusuri jalan RE Martadinata. Kemudian nantinya ke jalan Sumatra.
Pohon-pohon angsana pada masa itu rajin berbunga. Tahun 2011 pernah juga saya melihat satu pohon bersemi dengan warna kuningnya yang cantik fantastis karena lebat berbunga. Tapi tahun 1970an pemandangan indah ini sangat sering dan ada dimana-mana. Pemandangan indah ini yang sering saya rindukan , dan keindahan pertama semenjak saya melangkah ke luar pekarangan rumah.Namun tahun 1970an di Bandung ini hal biasa dan banyak menghiasi Bandung"
Pemandangan fenomenal lainnya ketika ke luar rumah untuk naik becak. Bahwa setiap pagi adalahnya ratusan siswa siswi berseragam berbondong-bondong jalan kaki, berkelompok, sendiri-sendiri mewarnai badan jalan. Kebanyakan pergerakannya secara massal , dari arah utara ke selatan.
Biasanya dari permukiman (perkampungan) di Cihaurgeulis, Haurpancuh,Haurmekar, jalan Gagak, jalan Tikukur, ,jalan Titiran, Gang Tilil dan perkampungan yang membentang luas di kawasan Sukamantri, Sukaluyu ,Muararajeun, jalan Cikutra, Cibeunying Kolot, Bagusrangin, Surapati, jalan Pahlawan,dll (dulu belum ada jalan Suci/Jln PH Mustafa).
Kebetulan dekat rumah orang tua saya kala itu juga ada sekolah SKKPN (sekarang SMPN 44), lalu ada juga SPGN (sekarang SMAN 20), SMPN7 sekarang masih ada, dan SMPK Bahureksa. Tak heran rombongan pelajar merupakan pemandangan biasa. Kala itup elajar jalan kaki jarak jauh tidaklah aneh,apalagi angkutan kota masih langka. Bahkan menurut cerita teman penulis, saat itu ia suka berjalan kaki dari perumahan KPAD untuk sekolah ke BPI.
Biasanya di pagi hari, becak dikayuh lambat ke arah selatan, yakni perempatan jalan Banda – jalan Riau. Jalan Riau (RE Martadinata) waktu itu terasa sibuk dan ramai, padahal jika dibandingkan dengan kondisi sekarang, relatif sepi. Masih banyak sepeda ontel dan delman lalu lalang. Mobil dan motor termasuk jarang.
Jika lewat perempatan tersebut , saya suka melirik ke arah kiri, berdiri bangunan megah, yang dalam pikiran saya, bagaikan istana Romawi. Sekarang bangunan itu sudah menjadi Heritage Outlet. Dulu bangunannya sempat juga sih agak kumuh. Seingat saya di sana selalu ada lelaki berambut pirang di depannya. Pernah menjadi semacam tempat bis-bis mangkal.
Ada pohon bungur favorit saya di halamannya (sekarang juga masih ada) , kalau sudah bersemi bunga-bunga bungur ungu lebat merekah,mewarnai pucuk-pucuk daun. Mirip bunga sakura saja.

Tepat di perempatan tersebut ,selain ada bangunan Heritage tadi, terdapat Apotek Utari (sekarang sudah menjadi outlet). Apotek ini posisinya di barat daya perempatan. Pemiliknya Tante Sami teman kuliah ibu penulis. Lantas di sudut lain (seberang timur Apotek Utari) ada bangunan serbaguna Pos Dan Giro. Di sampingnya ada kantor pos yang lumayan besar dengan bangunan tuanya.
Perjalanan berlanjut, becak melaju ke arah barat. Sejuk cenderung dingin di pagi hari. Udara bersih segar, pepohonan hijau, dan kabut berbaur semburat candra.
Di kiri kanan jalan melulu hanya rumah-rumah dinas tentara dengan gaya Belandatampak hening. Tak ada toko, café dan tak ada outlet, semua betul-betul hanya rumah tinggal. Malah di tikungan jalan Riau-jalan Halmahera ada rumah tua kurang terurus halamannya, yang dijadikan klinik seorang tabib keturunan Pakistan.
Rasanya rindu sekali pada suasana masa silam.


Adakalanya Abang Becak langganan kami memilih melintasi jalan Bahureksa saja. Dari jalan Banda atas becak belok kanan. Kalau becak sedang melintasi jalan Bahureksa, harus sedikit hati-hati. Karena banyak siswa SMPK Bahureksa yang ramai di sana. Seragam mereka blus kemeja putih beraksen biru dan roknya biru.
Melewati jalan ini serasa melewati jajaran vila saja. Salah satu rumah yang saya sukai adalah rumah peninggalan bekas villa Belanda bertuliskan Dolce Domum. Ini rumah teman adik penulis bernama Lulu. Yang akhirnya mereka menjual rumahnya lalu pindah ke Setra Sari.
Jika menyusuri jalan kota Bandung , mata tak bosan mengamati rumah tua yang bikin betah dilihat dan saat masuk ke dalamnya, halamannya dipenuhi oleh rumput Jepang yang indah dan rapi. Lalu di tengahnya ada kemboja putih yang kalau bersemi teramat cantik dan harum semerbak.
Bila lewat jalan Bahureksa ke arah barat, nantinya akan ketemu belokan ke kiri yakni jalan Trunojoyo. Di sana ada sekolah SD Santo Yusuf 1. Sebuah sekolah yang satu kompleks dengan SMP SMA TOP (St Aloysius) di jalan Sultan Agung.
Masih terbayang suasana hening khas permukiman di sana. Dulu kalau pulang jalan kaki senang lewat sini karena lumayan sepi jalannya. Terkadang mampir ke rumah teman SMP bernama Siska yang letaknya di Trunojoyo agak utara dengan tikungan Jalan Sultan Agung. Penulis juga suka melewati rumah teman sekolah wanita tapi beda kelas. Tak ada toko, tak ada restoran, yang ada melulu rumah tinggal.
Dari Jalan Trunojoyo ke arah bawah /selatan lalu belok ke kanan ketemu juga jalan Riau/RE Martadinata.
Yang penulis ingat waktu itu di jalan ini sudah ada Rumah Sakit Limiyati, ada pula Hotel Anggrek. Menjelang belok kiri ke jalan Sumatera yang penulis kenang saat itu adalah sejenis bangunan menara mini ada di sana. Atau mirip bunker air minum. Letaknya di lahan kosong. Sekarang sudah menjadi bangunan kantor Bank Permata.
Lalu saat berbelok ke kiri, di sebelah kiri berdiri juga hotel kecil bernama Hotel Soeti. (sekarang Hotel Santika) Di sana ada juga seorang teman sekelas kakak penulis bernama Sisil tinggal. Jika becak melaju ke arah selatan pemandangan di sebelah kanan juga rumah demi rumah.
Pemandangan favorit penulis salah satunya rumah yang terletak di sebelah barat dan menghadap ke timur. Rumah-rumah yang terletak di dalam sejenis kompleks. Hanya sebarannya unik, tidak ada lorong jalan . Seingat penulis ada teman SD penulis putri tentara yang tinggal di sana. Ada gerbangnya , pekarangan luas lalu rumah-rumah peninggalan Belanda memang ada di sana. Ada pohon besar yang meneduhi.
Namun selanjutnya bangunan–bangunan tadi diratakan dengan tanah, berubah menjadi sebuah hotel yakni Pakuan. Lalu berubah lagi menjadi BIP.
Becak melintasi perempatan jalan Aceh Sumatera. Ke arah selatan , di kiri jalan tampak keindahan Taman Lalu Lintas. Yang di awal dekade tahun 1970an sempat rada terlantar dengan rumput tinggi tak terurus. Sementara di kanan jalan (sebelah barat , menghadap timur) adalah jajaran kantor-kantor militer.

Lorong Kenangan dan Jalan Sumatera-Jalan Belitung
Masih terbayang di sepanjang lorong yang sudah ada pedagang jajanan seperti bandros dan comro. Ada juga penjual es lilin .Yang juga ramai diminati siswi adalah tukang mainan dan penjual buku tulis bergambar Koes Ploes.
Di ujung lorong itu pula penulis dan teman suka menunggu ibu guru datang. Kami berebut membawakan tas ibu guru setelah menyalaminya. Biasanya ibu guru membawa tas besar berisi alat peraga pelajaran dan buku-buku ulanganatau buku PR yang habis diperiksa. Jadi lumayan berat. Senang sekali rasanya kalau bisa menolong ibu guru.
Terbayang pula lorong yang biasa penulis lewati setiap pagi dan pulang sekolah, yang gerbangnya bakal tertutup rapat saat lonceng berbunyi. Terbayang pula jam-jam sibuk saat pulang sekolah . Jalan ramai yang dipenuhi oleh siswi (sekolah kami perempuan semua) yang menunggu jemputan mobil atau naik becak langganan. Atau yang berjalan kaki dan naik Honda (sebutan untuk angkot saat itu).
Terkenang pula di atas selokan seberang lorong sekolah (di luar pagar taman Lalu Lintas bagian Barat Daya) ada pedagang kaki lima berjualan bakso dan es sekoteng yang laris manis. Banyak siswa SMA dan SMP berseragam putih, rompi kuning dan merah, rok coklat makan di sana.

Barisan siswi-siswi bertopi baret, dengan rok coklat , kemeja putih, dan rompinya itu yang aduhai. Ada yang pakai rompi hijau, rompi merah tua, rompi rompi oranye, rompi kuning. Kaos kaki putih panjang , dengan sepatu hitam.
Dulu ketika penulis duduk di SD, teman-teman penulis sering ramai membicarakan sebuah stasiun Radio di jalan Sumatra (sekaranng bangunan milik Unpas). Ada stasiun Radio yang menyiarkan siaran anak-anak, tersohor dengan sebutan Bang Bulu. Teman penulis ada yang suka berkunjung ke stasiun radio tersebut.
Jalan Kaki Lintas Gelora Saparua dan Taman Maluku
Namun ada masa-masa dimana perjalanan ke sekolah tidak naik becak, setelah saya duduk di kelas 5 SD dan selanjutnya. Sekolah biasanya berjalan kaki, justru melewati rute berbeda dengan naik becak. Yakni menyusuri kawasan sekitar Gelora Saparua.
Untuk menyingkat jalan , saya memilih menembus Taman Maluku. Kolam yang ada di sana sama sekali tidak seindah foto-foto saat taman berdiri di masa kolonial Belanda dulu. Berbeda dengan foto keluaran Tropen Mmuseum, taman itu tidak memiliki teratai yang merekah merah jambu. Tak ada kolam jernih dengan gemericik air mancur. Tidak juga ada kursi taman yang indah.
Yang ada di taman itu hanyalah kolam dengan air comberan pekat kotor berbau kurang sedap. Lalu gelandangan yang tinggal di sana menjemur baju-baju cuciannya di atas tanaman bunga kacapiring dan di rerumputan yang tak terurus.
Namun yang membuat saya betah melewatinya, adalah rindang pohon dengan kupu-kupu yang berwarna cerah. Lantas pesona lain adalah rumpun bunga kacapiring yang wangi . Lalu juga banyaknya burung parkit warna warni bersarang di sana. Betapapun ada satu dua manusia yang datang ke sana membawa senapan angin menembaki burung. Namun jumlah burung bagus di alam lepas saat itu sangatlah banyak. Jauh berbeda dengan sekarang ini.
Kini setelah puluhan tahun berlalu, saat kembali menyusuri jalan tersebut, kata orang Sunda meni wa'as. Tempat sarat kenangan. Tidak ada lagi keramaian dan gelak tawa ceria seperti dulu. Mungkin saya lewat bukan tepat jam pulang sekolah. Pemandangannya sudah berubah. Kadang rindu, kadang nelangsa , masa lalu yang indah di Bandung seperti kandas dilahap waktu, kebisingan dan kepadatan kota.
Saya melangkah menyusuri jalan Sumatra hari ini , menatap sebuah pelang dengan simbol hijau bergambar 7 bintang, yang maknanya “Saya Mengabdi”. Ini bagian lorong belakang kompleks almamater SD dan SMP saya, bangunan bersejarah yang tak lekang oleh masa. Pohon flamboyan besar di depan kantor militer tempat dulu saya suka menunggu jemputan masih kekar menjulang. Hanya sekarang sudah dipagar.
Dulu di dalam kompleks sekolah ini, kenangan manis terukir indah. Saya ingat sebuah aula yang multi guna. Setiap tahun sekali selalu ada acara Malam Gembira dimana siswi mementaskan kesenian. Tahun 1974 dan 1975 saya pernah main degung bersama teman-teman yang semuanya masih duduk di kelas 4 dan 5 SD. Kami main degung mengiringi tarian ketuk tilu kakak kelas.



Jalan teduh , lengang dan sejuk, dari jalan Banda bagian utara jalan Riau/RE Martadinata, jalan Belitung, jalan Halmahera, jalan Seram, Taman Maluku, jalan Aceh, jalan Sumatra bagian tengah , senantiasa hidup dalam kenangan.
BACA JUGA TULISAN NOSTALGIA TEMPO DULU LAINNYA :
JALAN CIUMBULEUIT BANDUNG tempo dulu baca DI SINI
BABAKAN SILIWANGI DGN GANDOK tempo dulu DI SINI
JALAN DAGO BAHEULA baca di DI SINI
KISAH ANAK ASRAMA PUTRI ITB GELAPNYAWANG JADUL , baca yuk DI SINI
ARTIS JADUL baca DI SINI
TAMAN LALU LINTAS DAN BINA VOKALIA ADE IRMA baca DI SINI
BIOSKOP PANTI BUDAYA / VANDA THEATER TEMPO DULU DI BANDUNG baca DI SINI
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI