Mohon tunggu...
masrierie
masrierie Mohon Tunggu... Freelancer - sekedar berbagi cerita

menulis dalam ruang dan waktu, - IG@sriita1997 - https://berbagigagasan.blogspot.com, - YouTube @massrieNostalgiaDanLainnya (mas srie)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bandung Tempo Dulu (4) Desak-Desakan Nonton di Bioskop Panti Budaya (Vanda Theater).

15 Januari 2014   15:41 Diperbarui: 13 Mei 2019   08:23 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman Vanda 2015, dulunya ada sebuah Bioskop , namanya Bioskop Vanda , namun sebelumnya bernama Bioskop Panti Budaya

video (slice show foto-foto ) kenangan, nostalgia masa kecil /masa sekolah

Sabtu petang saya melewati belokan jalan Merdeka ke Jalan perintis Kemerdekaan. TAMAN VANDA, tertulis dalam warna merah, terbuat dari besi. In merupakan satu dari beberapa taman tematik yang baru diresmikan oleh walikota baru di Bandung, Bapak Ridwan Kamil.

Warna cerahbunga-bungaan bikin mata betah memandang. Ada rasakehilangan. Dulu sekali, di taman ini berdirimenara dengan jamyang jika tengah malam loncengnya terdengar sampai rumah saya.

Di seberangnya berdiri gedung BI. Tapi sebelumnya , di sana berdiri gedung Bioskop Vanda Theater.

 

Kenangan hadir dalam ingatan saya. Sebelum Vanda Theater, namanya adalah bioskop Panti Budaya. Bioskop yang saya kenal pertama di tahun 1971.

SD swasta tempat sayasekolah letaknya tak jauh dari bioskop Panti Budaya, di jalan Merdeka. Bersama teman-teman sekolah kami menonton film Heintje.Cerita anak lelaki usia 12 tahunan , yang lucu danganteng , dari negeri Belanda.

Tapi di saat-saat lain,kami juga nonton film berbeda. Seperti film yang berhubungan denganagama, atau film Italia, ada juga film tentang Heintje dan Pepe. Seingat saya, di sekolahtak pernah ditarik bayaran tambahan.Seringnya saya dan teman-teman membawa bekal makanan. Pulangnya sampah makanannya kami bawa pulang juga.

 

Bedanya bioskop saat itu dengan masa kini, adalahkursinya. Kalau sekarang bioskop dipetak-petaklebih kecil dalam beberapa ruangan, bioskop Panti Budaya seperti umumnya bioskop tempo dulu, ruangannya sangat besar. Bioskop masa kinidiberi penyekat danperedam suara, namun dulusuara bioskop bisa tembus sampai ke luar gedung.

Kursi bioskop masa kini dipaten sehingga tak bisa digeser, lalu posisinya bertingkat seperti tangga , sehingga penonton paling belakang bisa melihat ke depan. Tapi bioskop jadul, kursinya bisa digeser-geser, dan posisinya merata. Jadi yang nonton di belakang bisa terhalang oleh penonton di depan.

Nonton di bioskop seringsangat pengap rasanya kalau penonton penuh. Seingat saya tidk ada AC, adanya juga kipas angin. Kalau yang duduk di depan badannya tinggi besar,makasaya merasa sedang sial. Biasanya ibu akan mengganjal kursi saya dengan jaket yang dilipat supaya badan lebih tinggi.

Penonton jadul, kalau ada adegan ramai dan happy end, atau kalau lampu bioskop dipadamkan (tanda film akan mulai) akan bertepuk tangan.

Geli dan lucu kalau mengenang nonton bioskop tempo dulu.

Dan kenangan yang palingunik, adalah ketika berdesak-desakan beli karcis di Panti Budaya untuk menonton film Ratapan Anak Tiri. Karcisnyapun sering dinakali oleh tukang catut. Tahu filmnya laris, mereka borong karcisnya, lalu dijual dengan harga lebih mahal.

Sedihnya waktumengantre karcis , kakak saya hilang dalam kerumunan masa. Ibu menangis waktu itu. Ada juga pengunjung yang terjatuh. Untungnya kakak saya cukup cerdik dan berhasil kembaliketemu ibu. Hasilnya kami merasa lega bisa masuk bioskop meski kebagian tempat di belakang, dengan nafas ngos-ngosan bersimbah peluh. Itu tak masalah bagi kami, yang penting bisa menonton akting Faradilla Sandy dan Dewi Rosaria Indah.

Cerita lain, masih bagian dari gedung Panti Budaya, adasejenis bangsal. Bangsal itu digunakan untuk latihan badminton.Sesekali saya dan teman sayasuka mengintip. Tapi di tahun 1970an, bangsal ini digunakan juga untuk latihan tari Viatikara. Seingat saya, Gina Sonya (penyiar TVRI Jakarta) yang waktu itu masih duduk di SMP, juga ikut latihan tari Viatikara di sini.

Kelompok tari yang dirintis oleh Barli Sasmitawinata (alm) , yang lebih dikenal sebagai pelukis. Pengajarnya., saya lupa. Seorang pria, yang masih berstatus sebagai mahasiswa seni rupa ITB, kalau tidak salah dipanggil Mas Yanto.

Tempat ini sarat kenangan, karena selama duduk di SD dan SMP, sekolah kami rutin mengadakan nonton bareng sekolah beberapa kali dalam setahun. Sungguh memori indah tak terlupakan.

BACA JUGA TULISAN NOSTALGIA TEMPO DULU LAINNYA : 

JALAN CIUMBULEUIT BANDUNG tempo dulu baca DI SINI

BABAKAN SILIWANGI DGN GANDOK  tempo dulu DI SINI

JALAN DAGO BAHEULA  baca di DI SINI 

KISAH ANAK ASRAMA PUTRI ITB GELAPNYAWANG JADUL , baca yuk  DI SINI

JALUR JALAN GEDUNG SATE KE JALAN SUMATERA BANDUNG TEMPO DULU baca DI SINI

ARTIS JADUL baca DI SINI

TAMAN LALU LINTAS DAN BINA VOKALIA ADE IRMA baca DI SINI 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun