Jalan Dago 1960an
Jalan Dago (Ir H Juanda) tahun 1960an. Barisan rumah berkarakter artistik dan art deco. Ciri lain adalah pohon-pohon damar berbaris rapi di tepian jalannya. Bagian tengah lajur dibelah oleh marka jalan dengan tanaman ilalang hias putih. Sekarang marka jalannya sudah dibeton.
Gaya rumah khas jalan Dago tempo dulu memiliki pelataran rumput yang lebih luas dari bangunannya. Tanamannya kebanyakan pohon bunga kamboja, lalu cemara , pinus, tanaman pagar bunga sepatu, stefanot merah muda dan oranye, bugenvil , serta alamanda kuning.
Tahun 1967, saya tinggal di sebuah pavilyun kontrakan sederhana, berada disayap belakang sebuah rumah mewah besar dan berhalaman sangat luas. Karena saat itu usia saya (penulis) masih sangat kecil, ingatan akan rumah tersebut kadang timbul tenggelam.
Bermain dan bergulingan main koprol sering dilakukan oleh kakak penulis. Di lahan luas, kami kerap duduk dan bermain. Sesuatu yang langka untuk anak-anak sekarang. Alam terbuka seperti ini sudah jadi barang langka di Bandung.
Berulang kali rombongan burung mengepakkan sayap di atas kepala saya. Biasanya orang-orang dewasa dan anak yang lebih besar suka bertepuk tangan jika ada rombongan burung melintasi langit di atas kepala.
Udara Bandung saat itu masih amat sejuk, bunga-bunga mawarnya berwarna sangat cerah dan ukurannya besar-besar. Bunga indah yang marak menghiasi banyak pekarangan lainnya adalah gerbera dan bunga kana.
Mungkin karena saya anak perempuan, jadi keranjingan bunga. Main masak-masakan juga memetiki bunga-bunga yang marak di pekarangan luas rumah induk kontrakan orang tua saya.
Di depan pavilyun kontrakan ada kolam ikan yang dipenuhi eceng gondok apung. Saya pernah kecemplung, gara-gara saya ingin menangkapi kecebong. Dari kolam ini, jika malam kedengaran suara katak bersahutan. Berbaur dengan suara burung malam seperti burung hantu, gagak dan mungkin suarakalong.
Di jalan Dago 1960an sering saya lihat petani menuntun kerbau lewat. Atau delman melintas. Manusia lebih banyak berjalan kaki daripada berkendaraan. Ada juga yang pakai sepeda ontel. Sesekali ada juga yang naik skuter (Vespa atau Lambreta) Atau naik sepeda motor bromfit yang digowes seperti sepeda. Sering juga saat saya bermain di tepi jalan, berpapasan dengan Pater dan Pastor Belanda yang manggut-manggut tersenyum ke arah saya, berbaju putih panjang menyusuri jalan dari arah Borromeus.
Rumah Jalan Pintas ke ITB.
Tak jauh dari rumah induk pavilyun kontrakan keluarga kami, di seberangnya, ada sebuah rumah besar. Saat itu ibu penulis kembali melanjutkan kuliah di jurusan Farmasi ITB. Karena sudah punya 4 anak, ibu berbagi tugas dengan ibunya dan pembantu di rumah. Kakak sulung saya ikut nenek, adik bayi dijaga pembantu. Saya dan kakak nomor 2 diajak ke kampus ITB. Biasanya ibu akan mengajak kalau ia sedang praktikum .
Biasanya saya dan kakak bermain di pekarangan yang hijau di kampus tersebut.Tapi lain waktu saya ditinggalkan alias dititip, di rumah teman ibu l dengan sebutan akrab Yuk Emi (Nyonya Abu Kasan) . Tante Emi Abu Kasan ini , kakak dari Bawono Yudo (suami biduanaita legendaris, terkenal tahun 1960- 1970an, Tetty Kadi) . Tante Emi adalah juga ibunda dari model peragawati cantik Kota Bandung tahun 1970 dan 1980an. Dulu ketika kecil, lumayan, sering kami bermain di kediaman beliau, main dengan putrinya bernama Sasa. Sasa (kakak Ria) juga teman sekolah di TK Mustofo.
Di rumah tersebut kami suka dijamu sirop (dulu termasuk minuman mewah) , limun F&N (sekarang = sejenis fanta, atau coca cola) ,makan biskuit dan menonton layar tancap mini. Rasanya spesial banget bisa nonton layar tancap di rumah tersebut, yang letaknya memang tak jauh dari pavilyun kontrakan orang tua saya, yakni di Jalan Dago.
Pak Abu Kasan yang arsitek itu memiliki koleksi film-film bisu Abbot and Castello, dan Woody Wodpecker (kartun) . Filmnya berbentuk gulungan pita , diputar lalu dipancarkan ke arah bentangan layar sederhana. Seperti layar infokus . Kalau mau nonton, jika siang hari,semua gorden ditutup rapat dulu. Kalau malam Lampu dimatikan. Pada masa itu bisa memutar film sendiri di rumah termasuk barang mewah. Apalagi siaran televisi pada masa itu masih langka. Yang namanya nonton kala itu, sesuatu banget.
Rumah Tante Yuk Emi membelakangi kampus ITB. Itu sebabnya kalau ibu akan ke ITB sering menumpang lewat ke kebun belakang rumah Tante Yuk Emi, tinggal menyeberangi selokan saja. Kadang saya dan kakak suka memperhatikan , Sasa putri beliau kelak suka bermain sepeda di pekarangan ITB.
Rumah Kue Enak, Rumah Sakit, Rumah Tennis
Rumah kue enak sebetulnya bukan nama restoran atau cafetaria. Melainkan rumah teman kuliah ibu (kelak menjadi dosen Farmasi ITB, ibu Sri Wulan). Teman ibu ini mahir membuat kue kue lezat, piawai mendekorasi rumah , gemar bercocok tanam sehingga taman rumahnya sangat indaaaaaaah, sekali. Saya senang dengan kreativitas Tante Sri. Saya juga suka dengan kue-kue lezat buatannya sendiri, dan kalau sudah membuat nasi goreng, sangat sempurna dan spesial.
Tak jauh dari tempat ini, ada rumah sakit tempat saya pernah dirawat gara-gara terkena radang usus. Seingat saya ketika kecil, saya dirawat di rumah sakit ini tanpa ditunggu orang tua, karena dilarang. Yang merawat dan mengurus saya hanyalah suster. Kata ibu sepulang dari diopname saya menjadi sehat dan gemuk.
Di Rumah Sakit St Borromeus ini juga saya dilahirkan. Sejak kecil ibu selalu membawa anak-anaknya ke Dokter Moelyono . Rumah dan tempat prakteknya tak jauh dari kediaman kami dan dari rumah sakit tersebut.
Saya suka sedih teringat ketika saya sering sakit panas dan ibu mondar mandir membawa saya ke dokter. Kasihan ibu saya, apalagi saat itu ayah saya tengah berada di Nederland untuk belajar.
Begitu penuh kesannya jalan Dago 124 (pemiliknya Pak Kadir) dalam kenangan saya. Karena di pekarangan rumah induk yang pavilyun belakangnya kami kontrak, kami puas bermain. Termasuk menonton orang-orang bermain tenis di lapangan tenis sebelah rumah besar ini. Pembatasnya hanya berupa kawat saja, bukan tembok. Saya suka menyebutnya rumah tenis.Beberapa kali saya mendapat hadiah bola tenis dari penjaga lapangan.
Susu Segar dan Roti Langganan
Susu kaleng tahun 1960an masih terbilang barang mahal. Tapi susu segar mudah didapat. Setiap pagi seorang pengantar susu bersepeda akan mengantar ke kontrakan kami. Selain itu juga tukang roti tawar dari Braga Permai akan mengantar roti yang harum dan segar.
Jika susu sudah digodok, mendidih, tercium aromanya yang mengundang selera.... . Biasanya pembantu ibu saya akan menambahkan sedikit saja gula pasir, dan saya menyantapnya dengan biskuit marie kiloan yang sudah pecah-pecah, tapi tetap lezat rasanya. Tapi kakak saya lebih suka menyantap roti dengan mencelupkannya ke segelas susu hangat.
Naik Kuda, Taman Ganesha, Taman Kanak-kanak
Hari Minggu, tahun 1960an, terkadang kakak-kakak saya suka merengek ingin naik kuda. Naiknya tak jauh dari kediaman kami, di jalan Ganesha. Terus terang saya sangat takut naik kuda Ganesha, sebaliknya kakak-kakak sayapenggemar naik kuda. Kuda yang disewa biasanya akan berjalan mengitari taman,termasuk menyusuri jalan Gelapnyawang.
Di jalan ini ada penujual es yang enak. Sebenarnya ayah sayapaling tidak suka anak-anaknya jajan. Tapi pernah diam-diam pembantu kami membelikan saya es duren tersebut. Waktu itu ayah sedangke kampus ITB menjumpai sahabat dan teman kuliahnya yang kami panggil dengan sebutan Oom Soeroso, seorang dosen ITB. Terus terang, esnya manis dan lezat sekali. Saya jadi ketagihan. Tapi ayah suka melarang, karena takut mengandung air mentah katanya.
Sepulang ayah dari Nederland, ayah rajin meringankan beban ibu yang kembali melanjutkan kuliah , dengan mengasuh kami. Taman Ganesha sering menjadi tujuan kami saat senggang. Biasanya saya membawa tempat bekal berisi nasi goreng yang saya santap di sana sambil duduk di atas rumput.
Taman Ganesha memiliki kolam dengan air mancur lebih dari satu.Tapi kolam lamanya sudah diurug. Kadang-kadang jika ayah dan ibu saya bersamaan mengajaksaya dan kakakke taman Ganesha, lalu mengunjungibekas asrama di mana ibu dulu pernah tinggal, Asrama Putri ITBGelap Nyawang.
Di sana ada piano tua , lalu ibu iseng bernostalgia main piano. Belakangan ibu bercerita bahwa di masa-masa ibu kuliah Idris Sardi (musisi tempo 1970an, ayah Lukman Sardi) suka datang main piano dan main biola.
Dulu di jalan Dago ini , ada sebuah taman kanak-kanak tempat saya dan kakak bersekolah, namanya TK Moestopo. Terus terang, saya kurang suka bersekolah di TK, entah kenapa rasanya kurang nyaman.
Di jalan Dago tak jarang saya lihat petani menuntun kerbau lewat. Atau delman melintas. Manusia berjalan kaki lebih banyak dari yang naik oplet. Ada juga yang pakai sepeda ontel. Sesekali ada juga yang naik skuter (Vespa atau Lambreta) Atau naik sepeda motor yang digowes seperti sepeda saja. Sering juga saat saya bermain di tepi jalan, berpapasan dengan Pater dan Pastor Belanda yang manggut-manggut tersenyum ke arah saya, berbaju putih panjang menyusuri jalan dari arah Borromeus.
Jalan Semerbak di Malam Hari
Setelah pindah dari jalan Dago, bukan berarti interaksi saya dengan jalan ini berakhir. Tahun 1970an jalan ini menjadi rute jika menuju ke Jalan Ciumbuleuit. Jalan Dago waktu itu masih permukiman tulen.
Tahun 1970an jalan ini sering kami lintasi di malam hari. Biasanya setiap Selasa dan Jumat malam tujuan utama kami adalah Balai Pertemuan Bumi Sangkuriang di Jalan Kiputih , Ciumbuleuit Bandung. Mobil kami tanpa AC, kami buka jendelanya, hingga hawa segar memasuki mobil. Maka terhirup semerbak harum khas jalan Dago, yang kini saya tak pernah menemukannya lagi.
Jalanan sunyi, tapi tidak menakutkan. Bandung tergolong aman saat itu, tidak marak kriminalitas, tidak ada geng motor, tidak ada kemacetan.Belum ada café-café dan pertokoan. Sampai hari ini saya selalu terkesan semerbak malam jalan Dago yang kini sudah jadi kenangan.
Rumah Villa Berdinding Kayu Warna Hitam
Tahun 1970an ibu saya pernah mengajak ke rumah temannya di tikungan Diponegoro-Dago. Rumahnya memang bekas villa Belanda . Modelya ala pegunungan kebun teh dengan tembok berhias papan-papan kayu dengan cat hitam. Halamannya ada yang hamparan rumput dengan bunga-bunga berwarna, dan hamparan carport dari aspal warna kelabu.
Namun kelak tahun 1980an rumah tersebut berubah menjadi rumah busana Safira merangkapstudioRadio Lintas FM, cafetaria, dan kantor sebuah perusahaan ekspor. Selanjutnya berubah menjadi DSE outlet yang memasarkan garment, sekarang sudah berubah jadi pertokoan seluler Ducomsel.
Wisuda di Gedung Bersejarah
Kenangan lain dari tahun 1969 adalah persimpangan antara jalan Dago dengan jalan Dipatiukur, Surapati, Prabudimuntur (bagian Timur) dan Cikapayang (bagian Barat). Tepat di sudut/ujung barat jalan Dipatiukur ada gedung tua bersejarah yang merupakan bagian dari ITB. Di sana ibu penulis pernah diwisuda sebagai apoteker, berbarengan dengan sahabat karib ibu yakni Tante Zul Saeful Sulun dan Tante Yek (Saraswati Suharjo).
Dari persimpangan ini tampak taman Cikapayang . Taman ini memanjang dari barat ke timur, membelah jalan Surapati dan Prabudimuntur. Ada selokan besar yang jernih mengalir airnya. Banyak anak-anak kecil main air bahkan mandi-mandi di selokan ini. Bantarannya dibingkai hamparan rumput hijau dengan pepohonan rindang.Dulu ada tukang cukur yang suka mangkal.
Taman Cikapayang ini menyambung setelah menyeberangi jalan Dago. Tepatnya di jalan Cikapayang. Hingga berujung di dekat jalan Tamansari, pasnya di sebelah utara samping Rektorat ITB. Sekarang taman ini sudah tak ada karena tergusur oleh jalan layang Pasupati.
Jalan –jalan Sore Lintas Dago
Sejak akhir dekade 1970an dunia usaha di jalan Dago mulai menggeliat.Menuju tahun 1980 dan seterusnya bermunculan area jajan dan area kawula muda.
Meski demikian kawasan ini masih sejuk, hening, tenteram. Tidak padat dan tidak macet, tidak juga terlalu ramai. Jangan berpikir Bandung dengan puluhan dan ratusan cafe ... Tempat kongkow dan makan, resto dan cafe, masih termasuk langka kala itu.
Di awal dasawarsa 1970an ada pusat penjualan susu yang ternama di Bandung, yakni Columbia. Susu aroma sirop dan susu segar cair di sini sangat terkenal. Saya sering mendapat susu lezat Columbia di sekolah. Kelak Columbia nantinya menjadi cafetaria yang juga menjual makanan lain dan yoghurt, lalu sebagiannya menjadi tempat terminal bus Kramat Jati. Columbia juga sempat menjadi tempat jajan favorit anak muda.
Tempat makan lain Dago bawah, yang berkembang adalah di Gelael Supermarket 2 , yang memiliki kantin fast food. Sejak adanya Gelael Supermarket (sekarang Superindo) di jalan Merdeka, lalu Gelalel yang ke dua di Jaan Dago ini, , yang anak-anak muda tahun 1980an menjadikan area ini tempat kumpul-kumpul.
Di penghujung dasawarsa tahun 1970an (menjelang 1980) rumah makan fast food seperti Kentucky Fried Chicken dan Ice Cream Swensen juga jadi tempat makan favorit anak muda dan keluarga di Bandung.
Sementara di pinggiran jalannya juga tumbuh jajanan café mobil. Mulanya ada satu dua mobil yang menjual jagung manis bakar dan hotdog serta hamburger jika senja dan malam. Hal tersebut sangat berpengaruh hingga kawasan Dago kian menjadi tempat favorit mangkalnya anak muda.
Sejak akhir dekade 1970an hingga tahun 1980an, di jalan ini memang sudah menjadi area jalan-jalan sore remaja Bandung. Ada yang naik motor ada yang membawa mobil. Namun lebih condong ke penduduk kelas atas kota ini. Dengan celana jins model Rock’n Roll dan t shirtnya, menyusuri jalan dago beriringan.
Generasi remaja 80an yang saat itu tengah gandrung dengan genre musik Indonesia yang tengah bertransisi. Bersamaan dengan menguatnya radio anak muda kelas atas seperti Radio Oz, Radio Ardan. Musik transisional ini seiring munculnya lagu-lagu Kids Brothers (Kala Sang Surya Gilang Gemilang), lagu-lagu Swara Mahardika dan Guruh Soekarno, Lagu-lagu yang ditembangkan oleh Chrisye, lagu-lagu dari film Badai Pasti Berlalu (Chrisye, Berlian Hutauruk), selanjutnya muncul pula Vina Panduwinata.
Bandung memang masih normal jumlah penduduknya, belum sesak padat seperti sekarang. Juga daerah perluasan belum ada, Perumahan Antapani masih areal sawah, demikian pula jalan seputar jalan by pass Soekarno Hatta belum tumbuh dan berkembang seperti sekarang.
Lalu lintas Bandung masih aman dan nyaman. Jumlah angkot tidak berlebihan seperti sekarang ini. Jadi naik motor jalan-jalan sore tidak bikin stress, tenang, seraya menghirup kesegaran aroma Bandung.
Balap GoKart ITB
Tahun 1970an di sekitar jalan Ganesha sering ada tontonan , yakni balap Go Kart. Pernah seorang teman bibi penulis datang dari Jakarta hanya untuk nonton balap Go kart ini. Saat itu penulis masih kecil, dan diajak ke kampus ITB yang disulap jadi area balap. Telinga rasanya sakit mendengar gerungan Go Kart. Tapi bibi dan teman bibi malah menikmatinya, katanya “Sambil Cari Ketengan”. Kalau anak muda sekarang , sambil ngeceng .
Baca juga TULISAN BANDUNG TEMPO DULU dengan foto-foto kenangannya yang lain:
Tentang Asrama Putri ITB Gelapnyawang Bandung di SINI
Tentang kawasan sekitar Gedung Sate sampai jln Sumatera Bandung tahun 1970an di SINI
Tentang Taman Lalu Lintas Jadul baca di SINI
Tentang Bioskop Vanda (sekarang Bank Indonesia) jadul di Bandung baca di SINI
atau mau tau foto foto artis tahun 1950an, saya juga menulisnya di SINI