MESKI - Negeri ini dihuni oleh masyarakat yang cukup agamis, berbagai penelitian internasional, antara lain dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultantcy (PERC) dan Transparancy International (TI) telah menetapkan, Indonesia termasuk sebagai Negara terkorup di dunia.Â
Dihadang oleh berbagai institusi pengawasan dan gertakan undang-undang maupun badan pengawasan serta acaman pembasmian, seperti, UU RI Nomor 20/2001, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dikenal sebagai lembaga yang agung (supreme audit), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang konon amat "galak", berbagai inspektorat sampai Bawasda, belum lagi DPR/DPRD. Di era tahun 1970-an, sudah ada Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara.Sampai kini ada kementerian khusus yang mengurusi penertiban aparatur Negara (Men-PAN) dan macam-macam badan ataupun lembaga pengawasan lainnya.Â
Meski demikian, korupsi tetap berjalan dengan langkah leha-leha, santai dan aman. Barangkali lantaran korupsi termasuk virus social yang sepantar tuannya dengan profesi pelacur atau portitusi, penyakit ini sulit disembuhkan. Sikap masyarakat yang terlanjur kecipratanpengaruh budaya feodal dan sistem masyarakat kapitalistik yang lebih menghargai kekayaan ketimbang kejujuran ataupun kesederhanaan, membuat gerak korupsi kian subur. Padahal kejujuran dan kesederhanaan merupakan upaya paling praktis untuk tidak berbuat korupsi. Intinya, kembali kepada faktor manusiannya, bukan aturannya. Nyaris tak ada manfaatnya kita membuat berbagai aturan, jika faktor moralitas aparat tidak bisa diandalkan.Â
Pemelotan tindak korupsi sebenarnya telah berlangsung sejak dulu kala. Tahun 1930-an misalnya, telah ditemukan dokumen akutansi The Exchequers of England and Scotland, jauh sebelum Perancis dan Italia mengadakan kegiatan audit dan pengawasan di abad 13 bagi para pejabat publik. Di Indonesia sejak zaman penjajahan sampai pemerintahan Bung Karno juga sudah ada langkah-langkah prefensi secara hukum.Â
Pada awal pemerintahannya, SBY telah mencanangkan Gerakan Aksi Nasional Anti Korupsi bersamaan dengan Hari Anti Korupsi Internasional yang ditetapkan oleh PBB. Tak tanggung -- tanggung, pada tanggal 09 September 2004 muncul Inspres Nomor /2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi sebagai bentuk kongkrit pemerintah dalam memberangus tindak terkutuk itu. Namun seiring perjalanan waktu, rakyat menyaksikan, percepatan yang diharapkan tidaklah kunjung tiba, justru tindak korupsi diberbagai insitusi pemerintahan tambah marak, bak jamur dimusim penghujan.Â
Di kalangan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah lahir Kepmendiknas Nomor : 030/0/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional serta Kepmendiknas No.097/U/2002 tentang Pedoman Pengawasan Pendidikan, Pembinaan Pemuda dan Pembinaan Olahraga. Lalu, disusul dengan Kepmendiknas No.027/P/2005 tentang Pembentukan Tim Aksi Nasional Percepatan Pemberantasan Korupsi di Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional yang diketuai oleh Inspektur Jenderal Depdiknas. Mendiknas sendiri bertindak sebagai penangung jawab.Â
Berbagai modal untuk memberantas korupsi di lingkungan pendidikan sudah amat cukup sebagai modal action. Hasilnya ?, belum maksimal, semua nyaris tak mempan. Berbagai kasus BOS dan DAK muncuk disana-sini. Terlalu banyak pejabat pendidikan diciduk dan dimasukan bui, gara-gara tergoda anggaran yang menggiurkan.Â
Amat tragis, dulu dikeluhkan minimnya anggaran hingga tantangan utama untuk memajukan pendidikan selalu menghadang. Kini anggaran pendidikan sudah dicanangkan mencapai 20 persen dari seluruh RAPBN 2009. Bayangkan, angka setelah revisi saja menyebutkan, besaran anggaran itu mencapai Rp.207,1 triliun. Wow.!Â
Tidak tanggung-tanggung, Ketua KPK Abraham Samad, dalam Dialog Kebangsaan di Istora Senayan, pada tanggal 21 Oktober 2013, yang di hadiri oleh puluhan ribu buruh, secara tegas mengatakan bahwa "Tanpa Korupsi, Negara Bisa Menggaji Setiap Warga Negaranya sebensar Rp.30 juta rupiah/bulan.Â
Dasar dan argument Ketua KPK, adalah sumber daya alam negara kita yang besar hanya dinikmati oleh segelintir orang. Segelintir orang itu adalah penguasa dan pengusaha hitam. Tugas KPK adalah menyelamatkan keuangan negara dari perampokan yang mereka lakukan.Â
Ada tiga sektor strategis yang menjadi prioritas KPK. Pertama, sektor kedaulatan pangan, yang mencakup pertanian, perikanan dan peternakan. Kedua, sumber daya energi. Karena kita kaya dengan sumber daya alam. Dan ketiga, sumber pendapatan negara, dimana, hingga saat ini banyak pajak yang bocor.Â
"Akhir-akhir ini kita dihadapkan oleh permasalahan pangan. Pertanyaan kita selanjutnya adalah, apakah kita memang perlu impor beras? Apakah kita memang perlu impor daging? Apakah kita memang perlu impor bawang..?,"jelas Abraham Samad.Â
Sebenarnya kalau harus jujur, kita tidak perlu mengimpor semua itu. Di sektor pangan, haram kita melakukan liberalisasi. Tetapi kenapa masih ada saja impor terhadap pangan? Karena memang, ternyata impor ini digalakkan. Karena didalamnya ada rente. Mereka cari untung disitu. Ada kartel mafia impor yang menarik keuntungan.Â
Saya perlu tegaskan sekali lagi, dalam sektor pangan haram melakukan liberalisasi. Kita masih akan terus memproteksi petani agar terus berdaya. Tidak boleh melepaskan kedalam pasar bebas.Â
Tentang ketahanan energi. Di Jayapura ada emas. Sulawesi ada nikel. Kemudian kalau kita jalan barat, di Jawa ada minyak dan gas. Di Sumatra kita punya batubara.Â
Negara bisa saja mendulang Rp 15 ribu triliun setiap tahun. Jumlah itu didapat dari royalti 45 blok migas yang telah beroperasi dan beberapa pertambangan ilegal.Â
Dari pemasukan itu lalu dibagi 241 juta jiwa penduduk, maka minimal pendapatan masyarakat Rp 30 juta per bulan.Â
Pemerintah semestinya mampu memaksa perusahaan tambang untuk membayar royalti sebesar 50 persen. Sebagai contoh, dalam setahun, Blok migas Mahakam bisa mendulang Rp 120 triliun, Blok Cepu sebesar Rp 190 triliun, dan Blok Madura senilai Rp 135 triliun.Â
Sektor tambang dan energi adalah satu wilayah yang diindikasi banyak kebocoran dan korupsi. Hampir 50 persen perusahaan tambang yang melakukan eksploitasi dan eksplorasi mineral tak membayar royalti. Saat saya bertanya kepada mereka yang mengemplang pajak, jawabnya sederhana: bahwa sogokan yang mereka berikan kepada pemerintah setempat besarnya jauh lebih besar dari royalti yang mereka setorkan.Â
Para pengusaha hitam lebih memilih membayar ke oknum aparat pemerintah agar dimudahkan dalam mengurus izin usaha pertambangan. Selain itu, pengusaha juga berharap agar lahan penambangan mereka ditambah.Â
Akibat, maraknya korupsi ini adalah alasan mengapa masih banyak orang miskin di Indonesia, kaum buruh, petani dan nelayan hidup dalam derita kemiskinan.Â
Pencipta sistem Network TwentyOne, Jim Dorman, dan pakar kepemimpinan serta motivasi, Ohan C.Maxwell, pernah "menyindir" kita ketika melihat terlalu banyak UU, aturan dan institusi pengawasan/audit. Menurut mereka, berbagai perangkat itu tak lebih hanya bersifat visioner, padahal yang dibutuhkan adalah praktik dari bangunan impian itu.Â
Jadi, terasa percuma saja kita terus -- menerus membangun mimpi, jika pada kenyataannya korupsi tetap subur, Indonesia terus "menjaya" dan mendominasi peringkat tertinggi dalam urusan menggarong uang rakyat.Â
Lebih baik menempuh jalan praktis saja, kembali ke masalah pembangunan manusia seutuhnya, termasuk moralitas. Lebih murah dan praktis..!!.
Oleh : W.Suratman
Penulis Adalah Anggota Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H