Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Klowor Sang Kopral

15 September 2010   09:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:14 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Maria, matamu tidak pernah membuatku bosan,” kataku. Maria tersenyum lagi. Dia tampak manis ketika tersenyum. “kamu berlebihan lagi kopral,” balasnya. Maria terus tersenyum juga padaku. Dia lalu berdiri dan tiba-tiba dibelakangku. Dia lalu menyentuh pundakku dengan tanggannya. Kedua tangannya lalu bertemu mengelus di dadaku. Jantungku segera berdegub kencang.

“Entah kenapa aku memelukmu?”kata Maria. Aku langsung memegang salah satu tangan kirinya dan berdiri. Kami berdiri berhadapan seperti sepasang penganti baru.

“Kenapa begitu Maria? Aku Inlander, apa itu pantas?” tanyaku. “Hawa tidak pernah melihat Adam sebagai Inlander! Mereka bercinta karena mereka manusia.” kata Maria yang mengutip kitab suci. Aku hanya diam dan biarkan Maria lakukan apa yang dia mau. Dan membalas pelukannya tidak lama setelahnya. Aku merasa bahwa Maria sudah merasa nyaman bergaul denganku selama ini hingga dia tidak ragu untuk memelukku.

“Aku tidak tahu apa itu Inlander!” kata Maria. “Aku hanya ingin memelukmu. Kita semua layak dapat pelukan,” lanjut Maria. Bagaimanapun aku hanya Inlander bodoh tak berpendidikan. Aku hanya bisa baca tulis dan menembak musuh dengan senapan Meuser ku. Maria, kupikir berpendidikan baik. Dia sudah baca banyak buku. Aku jelas tidak sepertinya. Aku cuma serdadu pribumi yang harus tunduk pada komandanku yang Belanda totok.

Bibir Maria lalu mengecup bibirku. Aku hanya diam.

“Kau tampak rendah diri dengan warna kulitmu,” kata Maria yang tampak mengerti dengan sikapku. “Kau hanya manusia, manusia betuh belaian. Seragammu membuktikan kau sering memeluk banyak wanita. Aku yakin kau sudah peluk banyak wanita di tangsi. Aku juga ingin seperti wanita di tangsi yang dapat pelukanmu,” pinta Maria.

Jarum jam dinding di rumah Maria menunjuk ke angksa satu. Maria mencium lagi. Selanjutnya dia pegang tanganku dan lepaskan pelukannya. Dia menarik tanganku dan mengajakku ke berdiri dekat ranjangnya yang kecil. Di depan ranjang, Maria mencium lagi. Lalu, dia lepas kancing bajuku satu persatu dan melepas bajuku. Dia begitu menghormati aaku dan bajuku hingga menaruh bajuku dengan penuh hormat di atas meja kecil yang tidak jauh dari ranjang. Maria menciumku lagi dan aku pun membalas ciuman hangatnya itu. Aku pun mulai berani tunjukan kelaki-lakianku padanya. Aku copoti semua kancing baju Maria yang berada tepat dipunggungnya. Maria tersenyum dan matanya seolah untuk minta lebih.

Leher Maria lalu kuciumi dan dia menikmati dengan memejamkan matanya sambil sesekali manarik nafasnya. Kemeja Maria lalu kulepas juga dengan bantuannya. Hanya korset menempal dan rok saja padanya. Kami lalu saling membantu melepas pakaian kami. Hingga tanpa sehelaipun kain menempel.

Aku tidak bercinta ditempat pengap seperti biasanya, kali ini ditempat yang lebih bagus. Tidak dengan wanita pribumi. Dengan wanita Belanda, sungguh tidak terlintas dalam pikiranku sebelumnya. Lalu terpikir juga olehku, Inlander itu cuma ada dilaur sana. Di ranjang ini tidak ada inlander. Hanya ada Adam dan Hawa diatas ranjang ini.

Kami saling mencium sambil memeluk cukup lama. Kami berguling dan mendesah ditas ranjang. Halus namun erat. Maria lalu merenggangkan kakinya. Dan membiarkan tubuhku semakin masuk. Maria begitu menginginkannya. Lalu aku pun beri apa yang Maria mau. Setelah itu Maria pun mendesah nikmat merasakan benda yang menancap dalam tubuhnya. Dia nampak bahagia dan semakin erat memeluk tubuhku. Aku hanya menciumi lehernya dan terus berusaha semampuku membuatnya nikmat.

Diluar pun gerimis membasahi tanah. Kami tidak peduli lagi. Kami hanya peduli pada kami dalam pelukan tanpa selimut apapun seperti orang jujur. Kami terus berpelukan hingga sore.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun