Masalah federalisme pun bisa teratasi namun pengkambinghitaman terhadap kaum pendukung federalisme di Indonesia terus berlangsung. Tidak banyak yang menyadari, bahwa kaum federalis disamakan dengan menolak NKRI dan dianggap pengkhianat.
Kaum federalis bukan satu-satunya yang termarginalisasi. Tokoh penting Sulawesi Selatan yang temarginalisasi dlam sejarah adalah Arung Palaka. Dirinya dianggap berkhianat kepada Indonesia, entah Indonesia yang mana? Ini karena persekutuannya dengan VOC melawan Sultan Hasanudian, Raja Gowa yang dizamannya telah menjajah Bone-tanah kelahiran Arung Palaka.
Sejarah Nasional umumnya sulit berkata jujur, dan hanya mengambil sisi praktis semata untuk pemerintah yang hanya ingin kestabilan dan menghindari keadilan sejarah. Dan soal gelar pahlawan yang diberikat Negara pada seorang tokoh, juga predikat pengkhianat pada yang tidak sejalan jelas adalah hal yang sangat politis. Meski Negara bisa stabil oleh politisasi sejarahnya yang tidak jujur dan tidak adil, namun kebohongan akan tercium dan akan bisa merusak citra Negara tersebut, khususnya di kalangan intelektualnya.
Penulisan Sejarah Sulawesi Selatan
Tidak ada yang mengalahkan kebenaran sejarah nasional yang disusun pemerintah. Apalagi untuk Negara macam Indonesia. Wacana buku Sejarah Nasional Indonesia, dijadikan sesuatu yang dibenarkan. Tentunya wacana-wacana itu dimasukan dalam pelajaran sejarah sekolah dari SD hingga SMA.
Jika wacana sejarah ala pemerintah tadi memuat ketidak-adilan sejarah, maka penulisan sejarah alternatif harus dilakukan. Sangat penting menulis sejarah dari sudut pandang berbeda, jika ada sebuah wacana yang secara politis memelintir sebuah fakta sejarah dan berpihak pada sebuah golongan khususnya golongan penguasa. Karenanya penulisan sejarah haruslah beragam dari sudut pandang yang berbeda, yang tentunya berusaha berpihak pada kemanusiaan saja.
Penulisan sejarah ini tentu saja tidak bermaksud membuat masyarakat bingung untuk mengikuti yang mana. Sebenarnya, justru masyarakatlah yang seharusnya menjadi juri yang menilai kebenaran sejarahnya. Selama ini, pemerintah yang begitu dominan dalam menentukan mana wacana sejarah yang dibenarkan dan harus dianut oleh masyarakat. Hingga pembodohan sejarah pun menjadi penyakit akut masyarakat Indonesia. Penting sekali untuk menjadikan masyarakat Indonesia sebagai juri pengadilan sejarah Indonesia yang berhak menilai kebenaran sejarah. Sementara itu tugas sejarawan, yang selama ini dianggap sebagai sumber kebenaran, sebenarnya hanyalah menafsirkan fakta-fakta sejarah yang ada. Sejarawan tidak berhak menjadi orang yang merasa diri dan karyanya paling benar.
Soal penulisan sejarah Sulawesi Selatan, saya melihat ada dua macam penulis. Pertama penulis atau peneliti asing. Mereka bisa berlatarbelakang Sejarah maupun ilmu-ilmu social lain. Jumlah saya pikir cukup banyak. Sebut saja Leonard Andaya, Christian Pelras dan lainnya. Tentunya mereka-mereka ini bukan berdarah Sulawesi Selatan, malainkan dari luar Sulawesi Selatan. Mereka adalah peneliti yang cukup mumpuni di bidangnya masaing-masing dan telah memiliki karya ilmiah penting tentang Sulawesi Selatan.
Kedua, penulis asli Sulawesi Selatan. Mereka tentunya berdarah Sulawesi Selatan, bahkan masih berdomisili di Sulawesi Selatan. Mereka bisa berasal dari etnis Bugis maupun Makassar biasanya. Diantaranya adalah Haji Daeng Mangemba, Ahmad Ubbe dan lain-lain. Sebagian dari mereka adalah akademis yang berpengalaman dalam penelitian. Sebagian lagi, meski bisa jadi tidak memiliki pendidikan tinggi formal, namun mereka adalah orang yang mengerti dan peduli pada sejarah lokal Sulawesi Selatan. Mereka memiliki ikatan emosi yang cukup kuat dengan daerahnya.
Dari beberapa buku tentang Sulawesi Selatan yang saya baca, tulisan-tulisan tentang Sulawesi Selatan sudah cukup banyak. Baik yang ditulis oleh peneliti asing maupun pemerhati lokal yang berdarah asli Sulawesi Selatan. Meski saya lihat cukup banyak ditengah payahnya tradisi menulis di Indonesia, namun beberapa pihak menyatakan kurang. Sebuah hal yang wajar. Tradisi menulis sejarah di Indonesia, yang saya lihat paling menonjol adalah deerah Jawa secara umum, lalu disusul Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan. Di Sumatra Barat, penulisan sejarah kota lebih menonjol. Sementara itu di Sulawesi Selatan adalah sejarah tokoh.
Penulisan sejarah tentang Sulawesi Selatan juga cukup terbantu dengan adanya buku biografi maupun autobiografi tokoh yang berasal Sulawesi Selatan seperti Jenderal M. Yusuf, Bahar Mattalioe, Arung Palaka (yang ditulis Leonard Andaya), dan tokoh-tokoh lain. Keberadaan biografi maupun autobiografi tokoh Sulawesi Selatan yang ada itu tentu sangat membantu penelitian maupun penulisan sejarah di masa mendatang.