Mohon tunggu...
denmas noer
denmas noer Mohon Tunggu... Jurnalis - penyambung lidah warga

menulis dan menulis lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tripama dari Dusun Nglenguk

21 Agustus 2016   16:39 Diperbarui: 21 Agustus 2016   16:56 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEBUAH PENGANTAR EDITOR DARI BUKU SANG PRAJURIT ;  Kisah Inspiratif Letkol Marinir K.R.T. Dr. H. Surahman Reksonagoro, S.H., M.H., M.M.

Sumantri bergegas. Tugas telah menanti, ketika lamunannya tentang masa silam hilang. Kini, hari-harinya berisi tanggungjawab, mengemban amanat yang ada di pundaknya. Sebagai prajurit utama, tak ada kalimat istirahat jika negara membutuhkan.

Dari pertapaaan Jatrisrana, putra Begawan Suwandagni ini membawa tekad untuk menjadi ‘orang’. Sang ayah, sudah mengingatkan perjalanannya akan sangat berat. Tapi Sumantri yakin, sebab ia sudah dibekali ilmu wigati: tidak hanya kemauan, tapi juga kekuatan batin yang dilandasi laku prihatin.

Benar. Sumantri harus meniti ujian demi ujian, sampai kemudian menjadi prajurit kerajaan Maespati. Pengabdiannya pada Prabu Harjuna Sasrabawu dijalani dengan keteguhan, rasa tulus, serta kesediannya berkorban apapun yang harus dikorbankan. Maka satu demi satu, Sumantri lulus ujian.

Selesai? Belum. Ia terus belajar menjadi seorang ksatria utama. Dengan begitu, tugasnya juga semakin berat. Dalam sebuah kesempatan, Sang Prabu Sasrabahu menitahkan Sumantri mengikuti sayembara perang untuk mendapatkan Dewi Citrawati dari negeri Magada. Ia menang. Tapi tugas berikutnya semakin berat: memindahkan Taman Sriwedari ke Maespati atas permintaan Citrawati, permaisuri junjungannya.

Begitulah. Satu demi satu, pekerjaan besar pemuda desa ini, diselesaikan dengan baik. Perjuangan, kerja keras, usahanya yang terus-menerus dalam belajar menjadi orang besar, membawanya menemukan puncak pencarian. Ia diangkat menjadi pepatih Maespati bergelar Patih Suwanda. Sebuah gelar kebangsawanan yang amat tinggi bagi anak kampung yang dibesarkan hanya oleh alam.

Akhir hidup Bambang Sumantri ya Patih Suwanda, ditutup dengan kisah kepahlawanan yang amat sakral. Ia mau, bersedia, purun, mengambil alih tugas dan tanggungjawab yang semestinya dipikul Prabu Harjuna Sasrabahu. Tugas perang melawan Prabu Dasamuka yang sejatinya hanya bisa dimusnahkan oleh titisan Wisnu. Sumantri paham benar, ia bukan reinkarnasi Wisnu. Itu artinya mustahil melawan Dasamuka.  Toh tugas, baginya adalah kesemestian. Menjejak tanah tiga kali, Sumantri manjing ajurit.

Itulah Sumantri. Penggalan kisah ringgit purwa, yang selalu saya bayangkan heroik. Lakon wayang Ramayana ini, memberi inspirasi siapa saja yang memiliki cita-cita tinggi. Dalam sastra Jawa, Sumantri, bersama Adipati Karna dan Kumbakarna adalah tripama. Tiga keluhuran yang memberi teladan utama: contoh ksatria yang memahami tugas-tugasnya, meski kematian menjadi risikonya.

Bambang Sumantri (dalam Serat Tripama gubahan KGPAA Mangkunegara IV) menjadi teladan para ksatria karena tiga keutamaannya. Guna, Kaya, Purun. Cukilan Serat Tripama yang popular ditembangkan tertulis;  Yogyanira kang para prajurit, lamun bisa samya anulada, kadya nguni caritane, andelira sang prabu Sasrabahu ing Maespati, aran Patih Suwanda, lelabuhanipun kang ginelung tri prakara: guna kaya purune kang denantepi, nuhani trah utamo.

Sumantri adalah pemuda desa yang mampu merentang karir hingga menduduki posisi pepatih di negeri Maespati dengan sebutan Patih Suwanda. Bekalnya adalah guna, kaya, purun. Yang dimaksud guna adalah memiliki kemampuan menuntaskan semua tugas yang dibebankan. Kaya, mempunyai apa saja yang dibutuhkan untuk mrantasi gawe. Purun dalam bahasa orang biasa sama dengan mau atau bersedia. Sumantri atau Patih Suwanda menutup kisah hidupnya dengan gagah berani ketika bersedia perang tanding dengan Dasamuka (padahal lawan tanding Dasamuka adalah Prabu Harjuna Sasrabahu)  tak hirau risiko kematian.

Mengeditori buku ini, yang terbayang dalam benak saya adalah para tripama. Begitulah. Yang saya bayangkan pada sosok Surahman adalah Sumantri. Pemuda desa yang memiliki kemauan kuat, terutama mengubah jalan hidup, mengabdi pada negara. Tidak perlu trah besar, untuk menjadi orang besar. Dan, seperti Sumantri, Surahman yang senang mendalang saat kelas lima SD, telah membuktikan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun