Bagi pecinta wayang yang nanti membaca buku ini, barangkali sependapat dengan saya bahwa perjalanan Surahman meniti hari, mirip-mirip dengan perjuangan Sumantri mengubah hari: meninggalkan kampung halaman tanpa bekal, ngenger atau menumpang hidup pada orang lain, menemukan jalan pengabdian, purna tugas dengan gagah berani setelah bersedia menyerahkan jiwa-raga sebagai perwira Marinir.
Agak jarang memang, menemukan tokoh militer yang meniti karir hingga puncak, hanya dengan bekal pangkat paling bawah. Tapi tidak ada yang mustahil, karena seperti Sumantri, Surahman telah membuktikan sendiri bahwa seorang Prada, bisa menjadi perwira. Kuncinya seperti yang dicontohkan Patih Suwanda ialah guna, kaya, purun: memiliki kemauan, kaya semangat berusaha keras, dan gagah berani mengejar pendidikan dengan kemauan tinggi.
Buku ini, semakin menemukan bentuknya sebagai sebuah teladan, karena ditulis dengan gaya yang begitu sederhana oleh Syahnoer. Sebagai wartawan pra senior, Syahnoer tentu saja mampu memilih gaya menulis yang pas untuk memindahkan kisah Surahman, yang haru-biru, sehingga memiliki jiwa ketika dituturkan dalam tulisan. Dan, dengan gaya bahasa yang bersahaja, tulisan ini menjadi terasa nyata, tidak dibuat-buat, tanpa hiperbola.
Maka begitulah. Menjadi editor buku ini, bagi saya serupa membaca ulang kisah Sumantri. Ada perasaan nelangsa, sendu, ikut terlecut, tapi kemudian bangga karena menemukan galihe kangkung bahwa mengabdi pada negara sejatinya tugas siapa saja. Tidak peduli, meski ia berasal dari desa dan orang tak punya. Â Itulah Sumantri. Itulah Surahman.
Jakarta, 17 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H