Sumber air yang jatuh dari ketinggian ratusan meter menyihir para pengunjung yang memadati area tempat air jatuh. Mereka larut dalam hiruk pikuk kegembiraan yang tak terkatakan. Selain hilir mudik  mengambil foto, melepas alas kaki agar langsung menyentuh air, para pengunjung juga tidak segan terjun langsung ke dalam derasnya air terjun dengan pakaian lengkap.
Tua, muda, lelaki perempuan, bahkan anak-anak ikut terlarut, seakan terhipnotis keajaiban alam.
Saya pun melepas baju dan celana. Menggantinya dengan kolor yang sudah saya persiapkan dari ruma di balik sarung yang saya bawa. Sebab di Curug Lawe tidak disediakan tempat untuk berganti pakaian.
Saya masuk di bawah bawah air terjun, bercengkerama dengan kesejukan alam. Menikmati air yang turun dari atas, yang jatuh di kepala, badan dan tangan. Saya rasakan seperti pijatan alam yang secara stimultan merefleksi seluruh urat nadi, dari atas kepala sampai mata kaki.
Bahkan beberapa kali saya menyelam hingga menyentuh dasar. Dasar air terjun berupa pasir lembut yang bersih dan tak mudah keruh. Sesekali saat menyelam saya melihat butiran pasir yang mengembang sejenak, lalu tenggelam lagi menjadi endapan di dasar  kubangan di bawah air terjun.
Suasana makin siang. Rasa dingin menyeruak. Merata di seluruh tubuh. Sebenarnya saya ingin lebih lama lagi bermesraan dengan alam, tapi rombongan kami sudah menunggu untuk melanjutkan perjalanan. Hingga rasa kenikmatan orgasme tanpa penetrasi saat saya bercumbu dengan gemulai hutan perawan Curug Lawe harus segera diakhiri.
Jalan pulang kami tempuh kembali, dengan kesan yang berbeda dari saat berangkat. Jalur kembali yang sudah sedikit kami hafal seperti berbisik, besok ke sini lagi ya mas, nikmati lagi kesegaran air terjun lebih puas lagi.
Simak selengkapnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H