Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

[Nostalgia Ramadan] Ikat Pinggang yang Terlupa

12 Mei 2020   20:41 Diperbarui: 12 Mei 2020   20:36 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki sepuh yang punya rumah besar di pinggir sawah itu sangat dihormati di kampung kami.  Di halaman rumah beliau yang sangat luas terdapat surau tempat kami mengaji.

Konon Mbah Bahrun adalah keturunan ketiga yang mewakafkan ilmu agamanya setelah kakek dan ayahnya di surau itu.  

Kami, ayah kami,  bahkan kakek kami semua belajar baca alqur'an  di surau milik keluarga Mbah Bahrun.  

Mbah Bahrun dulunya adalah seorang guru sekolah dasar.  Setelah pensiun beliau fokus menggarap sawahnya yang sangat luas dibantu oleh anak-anak dan menantunya.

Oleh karena itu mbah hanya Mbah Bahrun yang menjadi Imam sholat rawatib dan sholat tarawih di surau itu.  

Sejak pulang dari haji setahun yang lalu, ada perubahan yang cukup mencolok.  Mbah Bahrun sudah tidak pernah memakai celana panjang.  Melakukan kegiatan apapun selalu memakai kain sarung,  bahkan saat beliau memetik kelapa.

Bahkan kolor pun beliau jarang memakainya,  "sumuk" katanya.

Ke pasar, ke sawah,  ke kelurahan,  kegiatan kampung,  semua dilakukan dengan memakai sarung. Apalagi saat melakukan ibadah sholat lima waktu di surau.

Salah satu kebiasaan Mbah Bahrun adalah mengenakan sabuk berwarna hijau untuk mengikat sarungnya agar bisa mapan membalut pinggangnya.  Sekaligus sebagai kunci agar sarungnya tidak melorot.

Mbah Bahrun bilang,  sabuknya memiliki multi fungsi karena bisa sekalian untuk menyimpan uang,  kartu identitas,  bahkan surat kendaraan. Jadi kalau pergi-pergi tak perlu membawa dompet yang merepotkan karena harus mengeluarkan dan memasukkan kembali.

Suatu hari di bulan ramadan,  setelah azan isya bergema,  jamaah melantunkan puji-pujian dengan membaca sholawat.  Tapi ditunggu hampir 15 menit,  Mbah Bahrun tidak muncul juga.  Salah seorang anak Mbah Bahrun mengisyaratkan agar segera dikumandangkan iqamah agar sholat segera bisa dimulai.  

Tiba-tiba saat selesai iqamah,  sekonyong-konyong mbah Bahrun datang,  dan langsung menempati posisi pengimaman untuk memimpin sholat berjamaah.

Mbah Bahrun bilang,  perutnya mulas dan beliau terlalu lama di toilet sehingga saat iqamah beliau buru-buru.

Kami anak-anak memperhatikan Mbah Bahrun yang tampil tak seperti biasanya.  sarung dikenakannya tidak serapi hari sebelumnya.  Bahkan beliau tidak mengenakan jas,  yang menjadi baju kebesarannya.

Sudahlah kami segera berbaris,  mengikuti bacaan dan gerakan Imam untuk menunaikan sholat  berjamaah.

Mbah Bahrun meskipun giginya sudah ompong semua,  tapi suaranya lembut,  mengalun syahdu di telinga para jamaah.  Sehingga jamaah tak bosan saat mengikuti sholat di belakangnya.  

Surat fatihah usai, dilanjutkan bacaan surat pendek,  lalu rukuk, i'tidal dan sujud dua kali di rekaat pertama.  

Saat bangun dari sujud untuk berdiri di rekaat yang kedua ini,  terjadi insiden kecil,  sarung bagian depan mbah Bahrun terinjak kakinya sendiri,  beliau terlilit sarungnya sendiri dan jatuh terjerembab ke arah depan dengan kain sarung melorot.  

Tentu saja,  semua orang tak bisa menahan diri untuk mengucapkan "subhanallah", dan anak-anak termasuk saya tertawa terbahak-bahak melihat situasi ini,  sementara barisan shaf ibu-ibu di sebelah kiri  terdengar ribut dan bertanya-tanya tentang apa yang  terjadi, mereka tidak dapat melihat  karena terhalang hijab kain gelap yang memisahkan shaf laki-laki dan perempuan.

Akhirnya,  salah seorang anak Mbah Bahrun berinisiatif mengambilkan ikat pinggang dan jas kebesaran mbah Bahrun,  kemudian  sholat berjamaah dilanjutkan kembali.  

Meskipun kejadian ini sudah berlalu selama puluhan tahun,  saya masih tetap mengingatnya dengan baik.  Karena dengan jasa mbah Bahrun saya bisa baca tulis alquran,  memahami ilmu fiqih  dasar,  ilmu tauhid, ilmu tajwid,  juga pengetahuan tentang akhlak.

Saat ini mbah Bahrun sudah tiada,  tapi namanya sebagai guru ngaji tetap melekat erat dalam ingatan kami sampai kapanpun.

Konon surau itu kini sudah tak lagi dibuat tempat mengaji, karena sistem pendidikan sekolah umum yang nyaris menghabiskan waktu anak-anak,  sehingga tak ada kesempatan untuk mengaji.

Samber 2020 Hari 16 

Samber THR)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun