Bekerja di Kapal menurut pandangan saya memang sangat menarik. Sebab dengan melihat bukti para tetangga dan kawan-kawan yang bekerja di kapal hidup makmur berkecukupan, memiliki rumah dan mobil bagus, serta simpanan dana yang cukup untuk hidup beberapa bulan di darat.Â
Sebut saja satu orang kawan dekat saya, Zupanggih (42), seorang pengemudi kapal tandu double blower di perusahaan pelayaran di Abu Dhabi.Â
Ia bercerita bahwa gajinya adalah $300/jam saat mengoperasikan kapalnya. Sehari ia bekerja secara full-time selama 8 jam untuk menyandarkan kapal-kapal besar milik berbagai perusahaan yang mengangkut barang maupun orang di Pelabuhan Abudhabi.Â
Dengan penghasilan sebesar ini dan kontrak per 4 bulan bisa dibayangkan berapa penghasilannya. Karena gaji ia terima utuh dan untuk semua keperluan hidupnya telah ditanggung oleh perusahaan tempat ia bekerja.Â
Bahkan seorang nakhoda kapal pesiar bisa memperoleh pemghasilan $10.000/ bulan atau sekitar 100 jutaan. Nakhoda kapal pengeboran minyak bahkan bahkan bisa mendapatkan gaji lebih besar lagi.Â
Itu adalah penghasilan bagi para petinggi yang berkuasa di atas kapal, baik kapal barang maupun kapal angkutan orang. Sedangkan untuk para ABK tentunya gajinya menyesuaikan sesuai dengan jenis ketrampilan dan spesifikasi dan bidang keahlian yang dimiliki.Â
Untuk kapal penangkap ikan dengan bobot lebih 30 GT tentunya gaji yang didapatkan lebih besar dari kapal dengan bobot di bawah itu. Sebab kapal dengan kapasitas besar bisa mengarungi lautan lebih lama dan mendapatkan tangkapan ikan lebih banyak.Â
Tapi risiko bekerja di tengah samudera lebih besar daripada kerja di daratan. Karena yang jelas saat bekerja di kapal nasib seseorang sangat ditentukan oleh kondisi lautan. Bisa jadi kapal tenggelam di tengah lautan luas dan keberadaannya tak terdeteksi sehingga satu kapal beserta seluruh ABK-nya raib ditelan samudera yang teramat luas dan dalam.Â
Gaji ABK kapal ikan tergantung seberapa banyak tangkapan ikan. Dan gaji itu akan diterimanya saat kapal merapat ke pelabuhan.Â
Beberapa saat yang lalu saya pernah bertemu ABK kapal ikan yang sedang bersandar di Pelabuhan Karimunjawa. Kapal dengan bobot 20GT ini memuat 16 ABK termasuk ahli mesin dan nakhoda.Â
Kapal ini berlayar di lautan selama 2 bulan. Dan setiap ABK masing-masing bisa membawa uang antara 2-3 juta perorang setiap dua bulan saat kapal merapat ke dermaga.Â
Saya juga pernah ikut dalam sebuah rombongan kapal penangkap ikan yang beroperasi di lautan luas. Selama 2 bulan di tengah lautan lepas itu rasanya memang sangat luas. Tak ada internet, makan ikan nyaris setiap hari, dan indomie merupakan menu pokok yang tak pernah puas untuk dknikmati.
Saat paling menegangkan adalah saat malam hari menebarkan jaring yang panjangnya ratusan meter, dan dioperasikan menggunakan mesin hidrolik. Ikan-ikan yang berhasil ditangkap dipisahkan langsung besar kecilnya. Beberapa jenis ikan langsung dipotong, dikemas dan dimasukkan ke dalam mesin pendingin.Â
Saat berada dalam pelayaran selama 2 bulan, saya banyak mendengar curhatan para ABK, yang harus menahan rindu dengan keluarga di rumah. Apalagi kalau pas di tengah menemui hujan badai dan gelombang tinggi sementara sessi penangkapan belum selesai. Semua ABK harus berjuang antara hidup dan mati. Bertahan antara hujan badai demi tangkapan ikan yang tak boleh lepas.
Terkadang saat kembali ke darat, para ABK kapal ini membawa hasil sesuai harapan. Tapi terkadang saat pulang hanya membawa sekedar beberapa ratus ribu karena hasil tangkapan yang minim.
Seorang ABK yang tak mau disebutkan namanya menuturkan bahwa ia memiliki pengalaman ikut kapal tangkap ikan milik perusahaan luar negeri. Saat kapal sudah berlayar ke tengah laut, dan waktu berlayar masih lama, ada ABK yang meninggal dunia, sementara di kapal tidak tersedia tempat khusus untuk menyimpan jenazah, apa yang harus dilakukan?Â
Kalau jenazah tetap dibawa sampai masa pelayaran berakhir, sementara tidak ada penyimpanan jenazah yang memadai, maka menyimpan jenazah akan menjadi masalah bagi seluruh kru kapal.
Mungkin kalau koordinat kapal dekat dengan syahbandar setempat, kru kapal bisa meminta tolong kepada otoritas setempat untuk membawa jenazah ke darat dan menyerahkan kepada keluarga jenazah untuk kemudian dikuburkan.Â
Tapi bagaimana bila lokasinya berada di tengah samudera yang teramat luas dan tak terjangkau oleh otoritas setempat?Â
Satu-satunya jalan hanya melarung jenazah ke laut untuk menghindarkan ABK lain dari gangguan bau mayat dan mengantisipasi penyebaran penyakit akibat adanya jenazah seperti video yang viral baru-baru ini.
Sebenarnya sesuai ILO Seafarer's Service Regulations, jenazah ABK boleh dilarung asal meninggalnya sudah lebih 24 jam. Kapten kapal sudah memberitahu pihak perusahaan agar menyampaikan kepada keluarga, dan kapal berada di wilayah pelayaran international, serta pelarungan harus sesuai standar tidak mengambang dengan memberikan pemberat pada jenazah yang dilarung.Â
Apalagi pelarungan sudah sesuai dengan persetujuan keluarga, maka sudah tak ada lagi hambatan untuk melarung jenazah ke laut.Â
Setiap orang yang memilih pekerjaan harus paham akan semua risiko yang akan ditanggung. Baik bekerja di darat, laut maupun udara, semua mengandung konsekuensi yang cukup berat. Seperti ABK yang dilarung ke laut ini.Â
Dan bekerja di kapal yang berlayar di tengah laut, selain ada harapan untuk memperoleh penghasilan tinggi, juga harus kuat menahan kerinduan dengan keluarga dalam waktu lama. Dan risiko terburuk akan pulang tinggal nama.Â
Anda tertarik bekerja sebagai pelaut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H