Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Wabah Corona dan Kapitalisme

3 April 2020   11:28 Diperbarui: 3 April 2020   11:45 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wabah global virus corona, hampir tak ada satu negara pun yang  bisa menolak kehadirannya. Menjangkau pelosok-pelosok dunia dengan interaksi parsial lalu menyebar tak terkrendali seperti jejaring tak kasat mata. Satu menjadi dua, dua menjadi empat, menjadi sejuta, hingga jutaan manusia seluruh dunia tertular. 

Sebagaimana dilansir kompas.com sampai hari ini Indonesia 1.790 pasien positif virus corona. Sementara itu dari jumlah tersebut, 81 pasien telah dinyatakan sembuh dan 136 pasien meninggal dunia.

Sementara untuk tingkat dunia sudah lebih 1 juta manusia terjangkit. 

Jakarta sudah mulai sepi, para pelaku ekonomi sudah menutup tempat usaha. Para pedagang kecil yang  biasanya mengais rejeki di sepanjang jalanan Jakarta sudah pada balik kampung.

Bahkan sentra pasar tanah abang ditutup kegiatannya sampai batas waktu yang  belum bisa ditentukan. 

Saya pernah  menuliskan di kompasiana, tentang karantina jakarta, menyoal keberanian pemerintah mengisolasi Jakarta, mengingat 70 persen perputaran uang terpusat di Jakarta.  

Saya juga berandai-andai bila Jakarta diisolasi seperti di Wuhan dengan menghentikan semua jalur transportasi publik, kereta api, pesawat,  dan bus. Sehingga roda ekonomi akan berhenti sejenak dan fokus pada penanganan wabah. 

Tapi kewenangan lockdown  ada di pemeriantah pusat, sehingga ada kepentingan tarik ulur yang  menyisakan masalah ekonomi bila jakarta melakukan lockdown secara total. 

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), menjadi pilihan pemerintah untuk mengantisipasi persebaran virus corona, dan berlaku di seluruh wilayah Indonesia. 

Sampai di poin ini serasa ada hal  yang  sangat mengganjal.  Melihat kondisi Wuhan saat awal mula corona mewabah. Semua mata dunia tertuju ke sana. Korban berjatuhan,  tim medis kewalahan,  warga datang ke rumah sakit dalam kondisi sehat. Setelah diperiksa mereka mengantri untuk diisolasi dan dirawat. Beberapa warga datang sehat, tapi selanjutnya tak bisa pulang karena wafat. 

Pemerintah China melockdown  total kota Wuhan, bahkan propinsi Hubei. Sehingga masyarakat Wuhan harus hidup dalam keterbatasan karena semua jalur transportasi telah ditutup. Bahkan mereka yang  berada di wuhan harus berhenti sejenak dari aktifitas. 

Kini yang terjadi di Wuhan juga terjadi di Jakarta. Bahkan hampir di seluruh propinsi Indonesia. 

Jakarta pusat bisnis dan pemerintahan,  sehingga pemerintah gamang dalam menentukan pilihan. Lockdown atau karantina wilayah. 

Kita menyadari bahwa sebuah negara tak akan berjalan tanpa ada pergerakan ekonomi.  

Demi terciptanya situasi yang  kondusif dan terkendali, pengelola negara punya  kewenangan penuh. Menghentikan aktifitas masyarakat agar tak berkerumun dalam satu titik.  

Sekolah,  perkantoran,  mal,  tempat wisata, kafe, taman-taman, semua ditutup demi tegaknya social distancing. Selain imbauan untuk menjaga kesehatan dan rajin cuci tangan. 

Tapi ada hal yang tak bisa dicegah, orang-orang  keluar dari zona merah, sehingga virus makin mewabah, menyebar tanpa kendali. 

Kita juga punya angkatan perang dengan peralatan super canggih. Tapi peruntukkannya bukan untuk itu. Musuh tak kelihatan yang  bisa menghancurkan segalanya,  tapi tak  bisa diketahui posisinya  dimana. 

Seprti ungkapan I can see you,  you can't see me. Sehingga sulit untuk melakukan serangan balasan dan menaklukkaan. 

Memang salah satu cara yang paling efektif adalah lockdown atau karantina total, dengan jaminan penuh dari para penyelenggara negara. Dengan asupan energi  dan sumber daya, memastikan stok pangan tercukupi. Lalu semua kegiatan berhenti  untuk sementara waktu,  sampai  wabah  berlalu. 

Mengadopsi teorama gaya pemberlakukan sistem ekonomi kapitalis gaya Amerika Serikat untuk menggenjot produksi dan konsumsi secara massif dengan mengabaikan kondisi sumber daya alam yang makin menipis. 

Indonesia sebagai negara kapitalis pinggiran pun seakan mengekor kebijakan global yang berfokus pada pemujaan nilai kapitalisme tanpa batas dengan produksi dan konsumsi bukan berdasar kebutuhan akan tetapi mengabaikan nilai  pertumbuhan,  humanisme,  dan sumber daya yang tersedia. 

Menarik apa yang  disampaikan oleh Yuval Noah Harari dalam Homo Deus (2018) bahwa salah satu ancaman terbesar bagi ras manusia saat ini adalah virus-virus baru yang tak diketahui dari mana asalnya.

Saat ini hewan terdesak oleh manusia, mereka berebut tempat dengan manusia. Sehingga alokasi modal alam untuk binatang diambil oleh manusia. Saat itulah semua sistem ekologi saling terhubung,  satu mata rantai dalam siklus hewan yang  terputus memukul balik tanpa ampun kepada manusia

Pandemi  global covid-19 sudah semestinya menjadi titik balik bagi para pemimpin dunia untuk sejenak menanggalakan mitos pertumbuhan sesat atas asas business as usual. 

Sebab munculnya korban  secara global ada  dengan 1 juta kasus di seluruh dunia dengan jumlah kematian sebanyak 46.923. Sebagaimana dilansir oleh kompas.com, bukanlah statistik belaka. 

Mereka adalah korban kerakusan sistem produksi kapitalisme dan konsumerisme secara gila-gilaan di seluruh dunia. 

Ini adalah moment yang  tepat sebagai manusia untuk menyisih sejenak dari sebuah keganasan alam,  agar alam bawah sadar  sebagai ras manusia bisa mengendap. 

Ada kabar tersiar untuk memuluskan percepatan omnibus law,  pemerintah sedang "bisik-bisik mesra" dengan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional

Undang-undang sapu jagat ini diyakini sebagai penopang  sumber  percepatan pertumbuhan ekonomi berbasis industri, dan cara cepat untuk meningkatkan pendapatan negara. 

Pro-utang, pro-modal,  adalah watak regulasi ini yang implikasinya langsung kepada sumber daya alam. Dan jika omnibus law tetap dilaksanakan maka akan terjadi lagi antara ketegangan manusia dengan alam

Watak regulasi ini adalah pro-modal dan pro-utang, yang berimplikasi langsung pada sumber daya alam. Jika omnibus law tetap dilaksanakan, sumber daya alam kembali akan diusik serta ketegangan antara manusia dan alam kembali menguat.

Saat wabah corona, omnibus law berjalan tanpa koreksi, sebab semua mata tertuju pada proses penanggulangan wabah.  Dan ini akan menghancurkan manusia dari struktur kelas rendah dan negara terlemah. 

Ada beberapa hal mendasar  yang  perlu dilakukan setelah pandemi covid-19 tertangani. 

Pertama,  pemerintah harus berani mengabaikan pertumabuhan sebagai basis ekonomi. Praktik degrowth pertumbuhan relatif nol dengan mengoptimalkan sumber daya secara lokal nasional sesuai kebutuhan dalam negeri,  dan surplus sebagai bahan ekspor. Intinya pemerintah
mengimplementasikan ekonomi dengan basis sumber daya berkelanjutan.  

Dan di tingkat praktis pemerintah tidak menetapkan omnibus law sebelum ada kajian akademis multidisiplin yang  memadahi dengan muatan mitigasi berbasis risiko

Kedua,  Indonesia masih punya peluang membangun competitivennes, dibandingkan dengan negara-negara  di seluruh dunia dengan kekayaan sumber alam hayati, di saat negara lain mengalami guncangan karena kehabisan stok bahan. Sehingga tak perlu memaksakan kehendak dengan mendasarkan diri pada industri ekstraktif dan utang

Ketiga,  belajar dari berbagai negara yang  telah sukses melewati krisis seperti China,  Vietnam dan Kuba. Tindakan cepat dilakukan sebelum keresahan sosial terjadi.  Serta mempercayakan penanganan pada sains  menyelesaikan berbagai masalah. Juga berharap Indonesia mampu memperbaiki tata laksana mitigasi risiko masif yang  bisa berjalan secara terlembaga. 

Keempat,  Penghargaan dan citra kepemimpinan bisa diperoleh bila seorang pemimpin mampu  mengantar seluruh bangsa keluar dari krisis. Serta mengajak bangun di atas kekuatan sendiri.  Bukan dengan tabungan negara yang  besar tapi rapuh karena didapat dari utang luar negeri. 

Tapi bila  wabah  corona yang  datang,  tak juga memberi pelajaran,  maka Indonesia saat ini sedang membangun kuburnya sendiri. 

Semoga ulasan ini menjadi renungan untuk kita semua,  sehingga para pemimpin bangsa tak lagi mengambil keputusan yang  salah. 

Sebab inilah saatnya  jargon "dari rakyat  oleh rakyat untuk rakyat" diterapkan.  Karena rakyat  sedang lapar dan butuh bantuan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun