"Mengapa harus aku yg maju, kangmas Kresna?" tanya Yudhistira.
"Apa yg kau lihat itu, hai adikku?" Kresna balik bertanya.
"Aku melihat berjuta-juta mahluk berupa raksasa kerdil sedang menyerang banyak prajurit. Tidak hanya dari pasukan kita saja yg diserang, tapi pasukan Kurawa pun turut diserbunya. Aneh!," jawab Yudistira.
"Itulah kedasyatan Candrabirawa. Prabu Salya dulu mendapatkannya dari Resi Bagaspati, mertuanya, dan mertuanya itu memperolehnya dari wejangan arwah Sukrasana saat dia bertapa.
Hanya manusia yg berjiwa tenanglah yg sanggup menghentikan. Majulah, hadapi kakekmu itu tanpa harus melawan. Turuti apa yg dikehendakinya. Bawalah panahku ini jika beliau memang menghendakinya," kata Krisna.
Yudhistira menerima sebuah panah bermata cahaya dari tangannya, lalu maju ke tengah kecamuk perang yg mengerikan dan aneh itu.
Dada Prabu Salya bergetar ketika Yudhistira maju dihadapannya dalam jarak beberapa puluh meter dalam sikap menyembah sebagai tanda bakti & hormat.
"Mengapa yg maju justru engkau, hai anakku Yudhistira? Aku menginginkan yg melawanku adalah adikmu si Bima yg gagah perkasa atau Arjuna yg pandai dlm hal memanah," kata Salya.
"Aku datang menghadap hanya minta tolong untuk menghentikan penyakit yg kau tebarkan itu, kek. Aku tak tega menyaksikan ribuan orang yg menjadi korban keganasannya. Kalau kau tak mau, segera bunuhlah aku daripada orang yg tak berdosa itu terbunuh. Jika aku mati, maka pihak Pandawa kalah. Itu sudah cukup," jawab Yudhistira.
"Oh, Yudhistira. Tidak semudah itu dalam peperangan ini. Jika kau ingin mati, maka panahlah aku dengan senjata di tanganmu itu, biar aku pun akan memanahmu dg senjataku," kata Prabu Salya.
Maka, dengan setengah hati Yudhistira menyanggupi tantangannya.