Jadi pejabat (siomay) publik seperti saya ini memang banyak suka dan duka. Asal bisa membawakan diri secara friendly sudah pasti jadi modal utama.Â
Mengenal berbagai kalangan dari pejabat sampai orang biasa, dari praktisi sampai politisi, bahkan anak-anak sampai orang dewasa.
Memang kalau lagi bawa dagangan banyak dan kebetulan pembeli ramai, bisa jadi kebanggaan sendiri, melihat istri menghitung hasil penjualan sampai dahinya berkerut karena nggak selesai-selesai.
Tapi terkadang agak sedih juga kalau kebetulan bawa dagangan tidak ada yang membeli. Bahkan langganan seakan lupa kalau sudah lama tidak menikmati siomay.
Dulu saya memang pedagang keliling. Tik-tok tik-tok bunyi bambu yang dipukul seakan menandai. Lalu di setiap gang, dibtempat yang sama, saya berhenti. Menunggu pelanggan yang tertarik dengan bunyi.
Anak-anak biasanya datang berebut, membawa uang masing-masing entah pemberian orang tua atau sisa bekal sekolah. Mereka membeli dengan suka rela, 2000-5000 rupiah per bungkus.Â
Ada juga anak yang bertanya, "berapa pak satu porsi?"
Saya menjawab, "Sepuluh ribu dik pakai telur satu".
Anak ini bertanya lagi, "kalau satu biji berapa pak? "
Saya pun kembali menjawab, "satu biji seribu dik".
Tak disangka anak ini menyodorkan selembar uang seribuan dan berkata, "saya beli satu biji pak"
Nah lo, begitu suka duka pedagang keliling. Saya memberinya satu porsi penuh sebagai hadiah, dan memasukkan uang seribuan ke dalam plastik.
Saya juga pernah punya pengalaman menarik, saat itu hujan tak terhenti sampai malam hari. Saya masih memukul bambu untuk menandai. Dari sore sampai menjelang jam 9 malam belum ada satupun pembeli.Â
Di pos ronda yang dingin saya melamun. Membayangkan kebutuhan yang belum bisa terpenuhi di esok hari.
Tiba-tiba seseorang memanggil, "pak Nawir sini.. ",
Saya bergegas menghampiri seseorang membukakan pintu dan menyiapkan sepuluh piring untuk diisi.Â
Saya melayani dengan senang hati karena melihat pembeli sedang memiliki tamu banyak, tapi tak punya apa-apa untuk menyuguhi.Â
Selesai makan, tiba-tiba pembeli datang menghampiri, "maaf pak, bayarnya besok ya, saya tak punya uang cash malam ini".
Saya terperanjat antara bingung dan tidak mengerti. Tapi saya juga memaklumi mungkin orang ini memang benar-benar tak punya uang cash untuk membayar.Â
Dan saya pun pulang dengan panci masih terisi penuh.Â
Kejadian bertemu dengan pembeli malam itu seperti terlupakan. Saya hampir lupa kalau ada orang yang masih punya hutang.Â
Beberapa hari kemudian saya teringat akan pembeli yang belum membayar ini.
Tapi saat saya datang situasi rumah sudah berubah. Ternyata orang yang tempo hari membeli dan belum bayar, sudah pindah entah ke mana. Jadi ya sudah, saya ikhlaskan saja.Â
Karena situasi yang tidak memungkinkan lagi untuk berkeliling, saya mulai mencari tempat untuk menetap untuk berjualan daripada harus putar putar balik kanan kalau ada panggilan.Â
Akhirnya sebuah minimarket menjadi tempat persinggahan saya yang terakhir. Di tempat ini saya berserah pada nasib. Laku tidak laku tetap di sini. Hujan banjir panas kekeringan tetap menunggu pelanggan di tempat ini. Hingga para pelanggan datang dan datang lagi karena mengetahui saya sudah tak lagi berjualan keliling.Â
Di tempat inilah saya mendapat banyak inspirasi dan menjadi ratusan artikel yang saya tulis di kompasiana.Â
Saya banyak bertemu dengan orang-orang dengan berbagai karakter. Tua muda kaya miskin. Jomblo atau sudah berkeluarga. Bahkan di dekat lapak saya sering jadi tempat bertemunya para selingkuhan.Â
Sikap dan sifat pembeli juga sering saya amati. Dengan berbagai gaya mereka membeli. Ada yang meminta lebihan. Bahkan ada yang mengikhlaskan kembalian.Â
Kalau orang hutang jangan ditanya, setiap hari ada saja. Bahkan saya sampai lupa siapa yang sudah membayar atau yang belum.Â
Tempat saya juga sering jadi tempat curhat. Banyak pelanggan yang mengeluhkan berbagai persoalan hidup. Dan karena mereka berbicara dengan saya, ya saya tanggapi dengan penuh rasa suka cita.Â
Ada juga yang bercerita tentang keberhasilan anaknya, sekarang sudah jadi PNS dan setelah menikah sudah punya baru, dan sebagainya, dan sebagainya.Â
Tak terasa saya hampir 20 tahun jadi pedagang siomay, di usia perkawinan yang ke 23 tahun.Â
Berarti sejak saya menikah 3 tahun kemudian saya jadi pedagang siomay.Â
Saya tetap bersyukur dan bangga, walau hanya jadi pedagang siomay.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H