Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menikah Itu Bukan Terbatas Soal Materi

29 Februari 2020   21:45 Diperbarui: 29 Februari 2020   21:42 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pixabay 

Setiap orang tentu memiliki cerita sendiri-sendiri tentang sejarah bagaimana mereka bisa menikah.

Ada yang  tak sengaja ketemu di kantor, saat kondangan,  ketemu di tempat wisata, bahkan ada juga yang  bertemu hanya di media sosial dan mendapatkan kecocokan hati,  maka menikahlah mereka.

Atau mungkin ada yang  dihodohkan oleh orang tua,  kemudian malah cocok  karena adanya komunikasi rumah tangga dan tetap bertahan sampai sekarang?

Apapun sejarahnya,  bisa menikah adalah sebuah wujud kemenangan atas perlawanan sebuah ketakutan akan datangnya nasib masa depan yang belum tentu.

Orang Yang sudah sukses menikah adalah para pemberani yang  berhasil melangkah pasti berbekal harapan.

Sebab tak semua orang menikah telah siap secara materi.  Bahkan ada yang  berani menikah, sementara belum lulus kuliah atau bahkan belum punya pekerjaan tetap.

Bisa kita bayangkan bagaimana perjuangan mereka yang  seperti ini. Masih mending kalau mereka masih punya dukungan orang tua. Sehingga apapun kesulitan masih bisa dihadapi.  

Kalau yang  sudah siap hidup mandiri, menghadapi kesulitan hidup seperti hidangan sehari-hari.  Punya anak istri,  kuliah,  dan kerja paruh waktu dan berusaha untuk tetap bertahan.

Saya punya teman yang semacam ini,  hidup mandiri sejak menikah dan berhasil menamatkan kuliah.  Istri dan ke empat anaknya tinggal di kontrakan murah.  Derai air mata membanjir karena tak punya apa-apa.  Tapi masya Allah sungguh ajib kawan saya ini,  saat ini ia telah memiliki rumah sendiri bahkan berhasil menyelesaikan program S3-nya Meskipun dalam waktu yang agak terlambat.

Ada juga yang menikah dengan modal nekad dan kebulatan hati.  Sekolah juga tidak,  punya rumah juga tidak,  bahkan untuk bekerja masih direncanakan.  Tapi rejeki memang sangkan paraning dumadi,  tan kena kinira.  Teman saya yang seperti ini sekarang jadi pengusaha bakso dengan 16 cabang dalam satu kota.

Menikah memang membutuhkan keberanian.  Untuk menentukan langkah dalam mengambil keputusan.  Yang terpenting yakin dulu,  soal rejeki sudah ada yang mengatur.

Hari ini banyak yang  menunda waktu menikah.  Menunggu punya rumah dulu,  punya kendaraan dulu,  berkarir dulu,  punya ini itu dulu,  sampai tak terasa bahwa usia sudah di ambang batas maksimal dan belum dapat jodoh juga. Sehingga makin bingung menentukan langkah.  

Lalu mereka  mengkampanyekan gerakan "jomblo happy", biar jomblo asal bahagia.  Kalau menurut  saya ptibadi ini kebahagiaan macam apa yang dicari?

Jangan-jangan virus menjomblo ini niru-niru juga sama adat orang jepang.  Karena takut menghadapi kehidupan mereka takut menikah.  Bahkan rela bekerja 13 jam sehari agar bisa memenuhi kebutuhan.

Tapi hasrat birahi manusia memang tidak bisa dicegah,  sehingga dibuatlah sex toys maupun robot sex sebagai pelampiasan nafsu.  Bahkan orang-orang tua di jepang melampiaskan kasih sayang mereka pada binatang peliharaan karena tak punya cucu.
(Kaskus/7 alasan orang jepang betah menjomblo)

Konon di Jepang angka kelahiran mulai menurun.  Bahkan cenderung masif. Sehingga  saat ada keluarga hamil biayanya akan disubsidi pemerintah bahkan nilainya mencapai 36,7 juta untuk setiap wanita hamil (liputan6)

Bisa dibayangkan bila kondisi ini menimpa warga Indonesia.  Orang-orang sudah terbiasa hidup sendiri.  Hasrat seksual dilampiaskan ke sex toys atau robot sex.

Yang jelas pak Naib akan kehilangan pekerjaan karena tidak ada yang  menikah.  Para wedding organizer juga sepi job karena tak ada hajatan, termasuk pengusaha catering tukang dekor, juga akan yang banyak yang menganggur.  

Lebih parah lagi sekolah-sekolah akan kehilangan murid.  Paud,  TK,  SD,  SMP,  SMA sampai perguruan tinggi mungkin juga akan kosong karena tak ada siswa. Lah bagaimana mau ada siswa kalau warganya sudah tidak mau melahirkan?

Tapi  untunglah masyarakat Indonesia masih peduli dengan kelahiran. Bahkan banyak bayi dibuang karena lahir tak dikehendaki.  Pemerintah juga menggelontorkan program Keluarga Berencana untuk mengendalikan kelahiran.  

Kembali ke soal keberanian menikah.  Sebagai manusia beragama kita tak perlu kawatir  akan rejeki.  Sebab semua sudah diatur sang pencipta.  Dan manusia tinggal menjalaninya.  

Burung-burung di langit keluar dari sarangnya di pagi hari,  dan mereka pulang ke sarang dalam keadaan tembolok sudah penuh makanan,  bahkan siap  untuk disuapkan ke anak-anaknya. Mereka tak pernah kawatir,  bahwa Sang Pencipta akan memberikan rejeki yang menjadi jatahnya.

Dan satu lagi yang  perlu diingat,  orang tua akan melihat kita bukan apa pekerjaan kita,  berapa mobilnya,  tapi...  Berapa anaknya..

Menikah tak hanya urusan rejeki dan harta benda. Tapi lebih dari kedar menaikkan derajat sebagai manusia.  Kesusahan  dalam mengandung 9 bulan 10 hari dan melahirkan dengan susah payah memposisikan wanita mencapai derajat tertinggi  dan layak dipanggil Ibu.

Sementara seorang lelaki yang semangat bekerja siang malam peras keringat membanting tulang untuk kebutuhan keluarga,  menjadikannya pemimpin keluarga dan layak dipanggil Ayah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun