Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengingat Kebaikan

11 Februari 2020   22:16 Diperbarui: 11 Februari 2020   22:46 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini gubuk kami kedatangan tamu istimewa. Mengendarai mobil putih tinggi besar entah apa merknya.

Lalu seorang perempuan sepuh turun, dituntun gadis muda berjas putih.

Sambil terus mengamati ia bertanya, "Niki ndak Pak Nawir?" (Apakah ini pak Nawir?) 

Setelah saya mengangguk perempuan sepuh ini berucap, "Alhamdulillah....,"

Lalu beliau menjabat tangan saya dengan erat dan bertanya, "Tasih kelingan niki mboten? " (masih ingat ini tidak?)

Sambil kepalanya menoleh pada gadis yang menuntunnya.  Sontak gadis ini menyalami dan mencium tangan saya.

Bau harum parfum sangat enak menyentuh hidung saya.

"Saya Riani pak", katanya sambil sambil tersenyum

Kedua tamu ini saya persilahkan duduk di kursi. Dan saya masih bingung siapa mereka dan ada apa datang ke gubuk kami.

Setelah mengobrol menanyakan kabar masing-masing, ibu yang saya kenal dengan Nama Bu Arif ini bercerita, bahwa beliau sekeluarga sekarang sudah pindah ke Jakarta.  

Beliau mengingat saya karena hari ini baru saja nyekar ke makam ayahnya di Banyumanik.  Beliau mengingatkan bahwa saya yang merawat ayahnya saat sakit sampai  meninggal bahkan menuntun almarhum mengucapkan kalimat thoyibah saat naza'.

Saya terus teringat kejadian 19 tahun yang lalu. Seseorang mengetuk pintu rumah kami menjelang subuh. Mengabarkan ada saudara satu perumahan yang sama tapi lain blok hari itu mengalami sakaratul maut. Tidak ada laki-laki di situ.  Maka salah seorang warga berinisiatif memanggil saya.  

Di tengah rasa kantuk yang  berat, saya datang.

Bu Arif, memegang tangan ayahnya sambil komat kamit membaca doa.

Saya masuk ke kamar  ayah bu Arif,  terlihat mulutnya membusa,  beberapa kali diseka busa tetap keluar.

Saya mendekati telinga ayah Bu Arif..
...
Lalu nafasnya terhenti. Ayah bu Arif berpulang dalam keadaan tenang.

Pagi hari saya kembali datang menguruskan segala keperluan. Memandikan mengkafankan,  dan mensholatkan. Bahkana menguruskan pemakaman dan mencarikan ambulance  gratis. Sampai selesai semua acara pemakaman.

Menurut kabar yang  saya dengar suami bu Arif saat itu masih tugas belajar S3 di luar negeri. Makanya saat pemakaman bapak mertuanya, ia tidak tampak.

Bu Arif tidak bisa ikut suaminya karena pekerjaannya sebagai guru tak bisa ditinggalkan.

Mengenai Riani,  saya hanya mampu mengingatnya sebagai gadis kecil usia 8 tahun. Bu Arif sering mengkuncir rambutnya dengan hiasan pita berwarna merah.  

Kesukaannya pada gula-gula membuat gigi Riani menghitam dan banyak yang ompong.

Saat masih berjualan keliling,  saya memang sering berhenti di depan rumah bu Arif. Sebab depan rumah bu Arif adalah lapangan tempat anak-anak berkumpul.

Satu hal lagi yang  bu Arif sampaikan, katanya beliau masih punya hutang pada saya.  

Saat itu saya datang ke sebuah toko mainan di daerah Mrican Semarang. Saya berniat membelikan mainan untuk putri sulung saya yang  saat itu usianya masih 2 tahun.

Riani menangis berguling-guling,  meminta mainan alat dokter-dokteran, bu Arif membujuk agar Riani mau diganti mainan yang  lain yang  harganya lebih murah.  Tapi ia tetap bersikukuh dan tak mau pulang.

Kebetulan saya membawa uang agak lebih, jadi saya mengulurkan beberapa lembar untuk bayar mainan.

Sejak itu saya sudah tidak pernah bertemu dengan bu Arif. Beberapa waktu sebelumya rumah bu Arif sudah berganti penghuni.
Rumah itu dijual sejak suaminya selesai kuliah S3, bu Arif pindah ke Jakarta,  dan konon si Riani kuliah di kedokteran.

"Saya sekarang tinggal dengan anak dan menantu pak Nawir" kata bu Arif.

"Ayah Riani sudah meninggal tahun lalu persis setelah pensiun", tambahnya.

Lalu kami tak banyak ngobrol setelah itu,  bu Arif pamit setelah menyeruput teh yang  disajikan istri saya.

"Bu Nawir.... "

Istri saya tergopoh keluar.

Lalu bu Arif menyerahkan sebuah amplop putih pada istri saya.  Saya tak pernah tahu apa isinya.  

Di mobil ada seorang lelaki muda, tidak turun juga. Saya mengira mungkin ia suaminya Riani,  eh Dokter Riani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun