Babi hitam itu menggeram, Â mengaduh dan menjerit, Â Suaranya kencang memekakan telinga. Tapi warga tidak peduli. Mereka terus memukulinya menggunkan apa saja.
Luka menganga di seluruh tubuh akibat pukulan berbagai benda tumpul, dan tusukan senjata tajam mengakibatkan darah bercampur tanah melekat di tubuh babi.
Limbung, Â lalu tergeletak tak berdaya. Bergegas warga mengikatnya dan memasukkan ke dalam kandang besi.
Hari itu memang naas bagi Ratno.  Setelah beberapa aksi  luput dari pengamatan warga, malam itu jadi aksi pamungkas ritualnya. Ia ketahuan saat  menggosokkan badan ke tembok milik seorang warga.  Tak mampu melarikan diri, lalu berakhir tragis.
Sambil terus merintih menahan sakit,  Ratno mengingat semua yang telah terjadi.  Istrinya  terus menerus mengeluh dengan kondisi hidupnya.  Menikah sudah 7 tahun,  belum punya anak,  tapi ekonomi mereka tak kunjung naik.
Godaan hidup menderanya. Ia merasa tak pernah merasa bahagia seperti teman-temannya. Mereka punya pekerjaan mapan,  mobil, rumah,  perhiasan,  peralatan rumah tangga lengkap, tapi keluarga Ratno nyaris tak punya  apa-apa. Â
Bahkan untuk makan pun, Â terkadang mereka harus ngutang ke warung tetangga.
Pekerjaan Ratno memang serabutan. Â Dari buruh bangunan, Â tukang sampah, Â tukang parkir, sampai jadi tukang ojek. Â
Tapi akhir-akhir ini seperti tak ada seorang pun yang mau mengajaknya bekerja.
Untuk jadi pencopet  atau pencuri,  ia takut.  Mengingat nasib temannya yang bersimbah darah tertembus timah panas polisi.