Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

100 Hari Kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf, Kita Bisa Apa?

29 Januari 2020   11:38 Diperbarui: 29 Januari 2020   11:52 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar tangkapan layar Kompas.com

Trik dan intrik suksesi kepemimpinan Negeri sudah usai. Yang menghasilkan pemimpin baru pilihan rakyat mayoritas dan sah sesuai konstitusi.

Rakyat hanya akan menyimak, mengikuti arahan, dan menunggu keputusan-keputusan terbaru tentang perbaikan segala bidang pembangunan yang berskala nasional.

Sejak dilantik beberapa bulan yang lalu, lembaga Kepresidenan dibawah kepemimpinan Jokwi-Ma'ruf mulai bekerja menata diri dan bangsa agar bisa bersaing secara sehat dengan negara-negara lain.

Gebarakan-demi gebarakan dilakukan para menteri untuk melakukan perubahan di semua system'. Dan yang paling mencolok adalah gebrakan baru menteri pendidikan Nadiem Makarim seorang bos pemilik Gojek. Dengan Ide "Merdeka Belajar".

Kita juga disuguhi gebrakan-gebrakan menteri yang lain sesuai bidang masing-masing.

Saya tidak menyoroti kinerja mereka. Sebab saya tidak punya kapasitas memadahi untuk menilai apalagi menghakimi mereka menurut pandangan saya yang sempit.

Saya masih ingat pesan Simbah saat kampung kami terpilih kepala desa baru. Ia berhasil  menyingkirkan  sang petahana yang  telah berkuasa memimpin desa hampir 15 tahun. Banyak kemajuan di desa kami meskipun tak tertutup kemungkinan masih banyak celah dan kekurangan. Sebab tak satupun manusia yang bisa tampil sempurna tanpa berbuat kesalahan.

Ada 4 pesan pokok yang Simbah sampaikan pada kami para cucu.

1. Beri kesempatan
Sesuatu tak akan pernah bisa dirasa kalau belum dicoba. Orang-orang baru memang butuh banyak pengalaman sampai ia benar-benar ahli di bidangnya. 

Maka agar mau belajar dari kesalahan yang telah lalu ia harus diberi kesempatan melaksanakan programnya. Dan kita harus sabar menunggu sampai waktu yang direncanakan untuk pelaksanaan program sesuai dengan target.

2. Memberi Kritik dan Masukan
Bila program belum bisa berjalan secara penuh, tak ada salahnya memberikan kritik dan masukan dengan berpedoman pada peraturan yang ada. Mungkin bisa secara normatif lewat jalur resmi, istilahnya secara prosedural. 

Tapi di era digital ini seseorang bisa melakukan kritik terhadap pemerintah dengan cara santun. Sebab kritikan yang dibarengi dengan cara mencela, memaki, membully, apalagi melecehkan akan berhadapan dengan hukum dan terancam pidana berdasarkan UU ITE dan transaksi elektronik.

3. Kontrol dan Evaluasi
Hal ini nampaknya mudah tapi sesungguhnya ini pekerjaan yang lumayan sulit. Karena dalam sebuah proses kepemimpinan pasti ada kepentingan-kepentingan tertentu yang tak kasat mata. Terlebih dalam lingkup besar kepemimpinan negara, ada kepentingan-kepentingan partai yang di atas namakan kepentingan  rakyat.

4. Tidak mudah terprovokasi
Kepentingan yang tumpang tindih dalam suksesi seringkali menimbulkan ekses yang tidak sedap. Munculnya masa pro dan kontra seakan jadi bumbu yang makin membuat suguhan politik menjadi semakin nikmat.

Munculnya kelompok-kelompok pendukung dan penentang seakan memberikan pilihan pada kita "membela apa dan siapa".

Kita secara bebas boleh memilih karena asas negara kita memang demokrasi tapi yang perlu jadi perhatian tetap. Menahan diri jangan sampai tersulut provikasi kemudian melakukan tindakan seperti mengancam, memfitnah, membuat postingan hoaks, yang justru membuat kita akan berhadapan dengan hukum.

100 hari kepemimpinan nasional memang seperti menjadi ukuran keberhasilan awal  sebuah kabinet bekerja.  Mungkin nanti akan ada resufle, atau tindakan lain untuk mengevaluasi pekerjaan para menteri.

Tapi sebagai rakyat biasa yang tak terkait dengan kepentingan politik apapun kita hanya bisa berharap bahwa program berikutnya tetap meletakkan dasar kepentingan rakyat sesungguhnya. Bukan sekedar jargon yang membius rakyat dan membuat kita hidup dalam "sekedar harapan".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun