Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Akhirnya Putri Saya Sadar Bahwa Ia Perempuan Tulen

29 Januari 2020   08:20 Diperbarui: 29 Januari 2020   08:36 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terus terang saya memang sangat ingin memiliki anak laki-laki. Dan keinginan itu terhenti setelah melihat dan menikmati proses kelahiran putri saya yang ketiga, dan  meninggalkan kesan luar  biasa sampai sekarang.

Proses persalinan istri saya sebenarnya sangat mudah. Tapi masalah justru terjadi  setelah anak sudah berada di luar. Istri  harus dirawat di ruang ICU karena mengalami pendarahan hebat.  

Dan kejadian ini membuat langkah saya untuk menimang bayi laki-laki pupus sudah.

Kami masih beruntung, masih diberi kesempatan hidup. Melihat pererjuangannya  yang  susah payah dan kehilangan banyak darah. Hingga dibutuhkan transfusi 33 kantong darah selama 4 hari di ICU membuat saya harus berfikir dua kali untuk punya anak lagi.

Terlebih istri saya menderita anemia, kekurangan darah.

Dari awal, dokter sepertinya sudah salah perhitungan mengenai hpl (hari perkiraan lahir. Mens terakhir di bulan November 2004, tapi bayi saya lahir bulan september 2005.  Sebelas bulan berarti usia kandungan istri saat melahirkan.

Saat usia kandungan masih berumur 6 bulan kami beberapa kali melakukan USG. Terlihat bayi kembar yang lucu berenang dalam ketuban.

" Laki-laki semua pak", kata dokter seperti meyakinkan saya bahwa istri benar-benar akan melahirkan anak laki-laki.

Saat kandungan berumur 8 bulan, kami kembali mengunjungi dokter untuk melakukan USG, tapi Masya Allah, bayi yang satu tetap utuh dan bergerak, tapi kembaranya hanya terlihat seperti gumpalan daging yang besarnya mirip bayi.

"Bayi bapak sehat, jangan kawatir, dan itu bayi laki-laki pak", kata dokter sambil menepuk punggung saya.

Saya mulai kawatir dengan kondisi istri saya.
Saat bulan ke sembilan kami datang untuk periksa lagi. Dokter mengatakan bahwa hari kelahiran masih 2 bulan lagi.. loh??

Sampai bulan yang ke 11 itu, pagi hari istri sudah merintih kesakitan. Lewat bantuan tetangga kami bawa istri ke bidan terdekat karena situasinya sudah sangat gawat. Istri sudah tidak kuat lagi menahan dorongan dari dalam perutnya.

Sampai di rumah bidan, belum juga bidan selesai bersiap, dan baru meletakkan alas persalinan. Anak saya sudah keluar dengan mudahnya.

"Masya Allah, Alhamdulilah perempuan", kata saya dalam hati.

Bayi segera dibawa oleh asisten bidan untuk dibersihkan, dan saya memperdengarkan azan di telinga kanan, dan iqomah di telinga kiri.

Bayi masuk dalam box perawatan dan istri saya masih terus mengejan.

"Sepertinya satu lagi pak", kata bidan.

Sebuah bongkahan daging sebesar bayi manusia keluar. Bidan langsung membungkusnya dan menyerahkan kepada saya untuk segera dikubur. Sebelum saya beranjak istri saya terus mengaduh, dan dari lobang kelahiran darah terus mengalir kencang. Asisten meletakkan ember 10 liter, penuh darah. Lalu diganti lagi, masih penuh darah.

Kami segera bersiap menuju rumah sakit. Dan saya sudah tidak bisa berfikir bagaimana bayi saya. Yang penting istri harus diselamatkan.

Sampai di Rumah Sakit istri saya sudah tidak sadar. Dokter yang merawat memberikan kejut jantung dan alhamdullillah berhasil.
Kami butuh banyak darah untuk transfusi. Teman-teman yang saya hubungi tak satupun yang bersedia membantu karena golongan darahnya berbeda.

Untung darah saya dan istri golongannya  sama, dan beberapa saudara juga punya darah yang sama.

Dari kami, hanya dapat 7 kantung darah, padahal dibutuhkan segera 33 kantung darah. Teman baik saya di PMI,membantu saya  mendapatkan donor dari banyak orang dan terkumpul 33 kantong darah dengan golongan AB.

Setelah satu hari di UGD istri saya belum bisa pulih, harus dirawat intensif di ICU agar kondisinya segera pulih. Setelah masa kritis berakhir selama 4 hari, istri dipindahkan ke ruang perawatan.

Dokter yang merawat mengatakan bahwa sebenarnya istri saya baik-baik saja. Namun ada kendala saat persalinan. Ari-ari yang kedua, menempel lengket di dinding perut, dan bidan menariknya dengan paksa. Maka terjadilah pendarahan hebat dari luka perut bagian dalam.

"Itu namanya pendarahan partus luar pak", kata dokter menerangkan.

Yah sudahlah, saya tidak mempermasalahkan apapun. Yang penting istri saya sehat dan anak saya juga sehat.

Selama istri saya dirawat bayi masih di rumah bidan. Dan bidan beberapa kali ke rumah sakit untuk menyusukan anak kami.
Bidan yang merawat menyampaikan informasi bahwa berat tubuh anak saya adalah 5,8 kg dengan panjang 49cm. Jadi bayi umur satu Minggu besarnya sama dengan bayi umur 4 bulan.

Dan 3 hari kemudian istri diperbolehkan pulang meskipun keadaannya masih belum pulih benar.

Putri saya tumbuh dengan normal seperti bayi lainnya. Sejak kecil ia tidak doyan bubur instan seperti SUN dan sebagainya. Ia hanya mau makan masakan ibunya. Jadi setelah asi ekslusif selama 6 bulan anak saya mulai makan makanan yang dibuat oleh ibunya. Nasi yang diblender dengan  sayur, kentang, wortel, bayam adalah makanan kesukaannya.

Sejak usia 7 bulan, karena kami muslim, anak-anak kami biasakan untuk memakai jilbab. Tapi anak saya yang satu ini tidak pernah mau. Bahkan rok pun ia tidak mau.
Maunya celana dan kaos.

Saat ia masih berusia 2 tahun pasca disapih dan sudah bisa ngomong, ia meminta mainan anak laki-laki. Seperti robot, senjata mainan, bola, dan semua jenis mainan anak laki-laki.

Pada usia 4 tahun, kakinya sudah lincah memainkan bola. Pagi hari setelah subuh, kami sering melihat putri saya menendang bola ke  arah tembok.Duk.. Duk.. Duk .. hampir setiap hari.

Saat masuk sekolah TK ia kami berikan rok untuk seragamnya. Tapi anak saya menolak. Ia meminta celana dan baju. Dan akhirnya kami mengalah meskipun harus berdebat dengan guru.

Saat pulang sekolah belum juga masuk rumah, kerudung yang ia kenakan ia lempar ke kursi. "Gerah...", katanya.

Bulan ramadhan telah tiba, anak-anak perempuan lain memakai mukena  untuk menjalankan sholat tarawih, tapi putri saya meminta baju Koko dan celana panjang plus peci. Dan berdiri di depan jamaah bersama saya untuk menjadi imam.

Anak laki-laki di perumahan kami biasanya minta dikhitan pada umur 9-10 tahun. Mengetahui teman-temannya sudah dikhitan,  setiap hari ia bertanya pada ibunya,

"Aku kapan bu?" duh .. bagaimana coba, mosok anak perempuan minta disunat?

Menjelang lebaran kedua kakaknya minta baju baru yang kami belikan di sebuah supermarket di Semarang. Mereka meminta rok panjang warna pink. Saat putri kecil saya disodorkan rok cantik warna pink, ia marah. Satu kotak pakaian digulingkan ke lantai sampai mbak SPG nya geleng geleng kepala.

Suatu hari, sehabis main bola dengan teman-temannya, wajahnya penuh lebam.
"Gelut", jawab anak saya santai. Rupanya saat main bola ada yang usil dan putri saya tersinggung. Ia langsung memukul dan dapat balasan. Tapi tidak menangis.

Saat itu ia sudah kelas VI SD, di celana dalamnya ada bercak merah, lalu ia secara sembunyi-sembunyi bertanya pada ibunya.
Dan sejak itu ia mau main keluar lagi bersama teman-teman laki-lakinya.

Putri saya baru benar-benar tersadar kalau ia memang perempuan tulen.

Saat ini putri saya sudah tidak tomboy lagi. Ia sudah berusia 15 tahun. Dan tahun ini akan masuk sekolah jenjang SMU.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun