Wahai para lelaki jangan coba membangun pengkhianatan karena wanita mungkin bisa memaafkan tapi ia tidak mungkin melupakanÂ
Pagi ini makanan ayam saya habis. Dengan masih mengenakan sarung saya menuju rumah seorang sahabat saya di kampung sebelah perumahan.
Rumah besar itu nampak lengang. Tak ada meja kursi atau isi rumah sebagaimana lazimnya tempat tinggal. Pintu terbuka, saya langsung masuk saja menyebut nama pemilik rumah.
Pak Hamid, pemilik rumah rupanya sedang santai di atas kasur lusuh dalam kamarnya. Lalu ia duduk bersama saya lesehan di atas tikar yang sudah sobek sana sini.
Ya sekarang pak Hamid hidup sendiri. Istrinya menggugat cerai 10 tahun yang lalu saat anak-anaknya masih kecil-kecil. Semua barang isi rumah dibawa bersamanya ke rumah orang tuanya. Bahkan tak tersisa apapun.
"Satu sendok pun tak disisakan", kata pak Hamid bercerita.
Kesalahan fatal yang telah dilakukannya memicu perceraian itu.
Saat itu ia masih berjaya sebagai sopir truk dan pedagang kayu. Uang puluhan juta ia pegang setiap hari. Sampai suatu saat godaan datang. Ia berkenalan dengan wanita nakal yang menjadi pelanggannya di sebuah rumah karaoke di kota Semarang.
Terpergok oleh istrinya pak Hamid sedang bermesaraan dengan perempuan di jalan. Istrinya tersulut emosinya. Selain memaki-maki perempuan nakal itu ia juga mengamuk di tengah keramaian orang.
Pak Hamid tak berdaya, ia menyerah pada situasi yang sangat sulit. Sampai di rumah istrinya sudah tak mau disapa. Omongan sedikit sudah bisa menjadi pemicu pertengkaran yang hebat. Sampai akhirnya perceraian itu terjadi. Istrinya memboyong semua peralatan rumah tangga beserta seluruh isi tokonya.
Istri Pak Hamid adalah wanita aktif. Prigel, kata orang Jawa. Pandai mencari uang dengan cara berdagang makanan kecil. Selama ini ia mencukupi dirinya sendiri disamping uang belanja  pemberian pak Hamid.
Merasa sebagai wanita mandiri dan disepelekan mending ia hidup sendiri.
Anak sulungnya sudah dewasa. Saatnya menikah. Sebagai orang tua pak Hamid sama sekali tidak diajak bermusyawarah. Mantan istrinya yang mengatur semuanya. Dari prosesi akad nikah, undangan, maupun jamuan untuk tamu.
Pak Hamid diberitahu anaknya, hanya lewat SMS. Dan permintaan mantan istrinya akan keperluan keperluan menyambut tamu yang dibebankan kepadanya.
Anaknya hanya mengabari, "datang ya pak, meskipun hanya sebentar, kami hanya ingin bapak bisa foto-foto dengan kami sebagai kenang-kenangan", kata anaknya memohon di kalimat SMS.
Di hari H pernikahan anaknya, Pak Hamid datang sendirian. Tak ada seorangpun yang menyambutnya. Mantan istrinya tak sedikitpun menyapa. Sanak kerabat mantan istrinya pun hanya diam seribu bahasa.
Setelah berfoto sesuai permintaan anaknya, Pak Hamid pulang dengan gontai. Kesedihan mendalam tergambar jelas dari raut mukanya saat ia bercerita.
"Saya tidak keberatan pak, ia (istrinya) meminta semua biaya pernikahan. Wong itu memang untuk anak saya. Saya kerja juga buat siapa", kata pak Hamid memelas.
Matahari makin tinggi. Saya pamit sambil membawa makanan ayam beberapa kilo. Dan beberapa lembar yang saya serahkan ditolaknya.
"Dicoba dulu pak, kalau ayamnya doyan besok ke sini lagi baru membayar", katanya mengakhiri obrolan pagi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H