Istri Pak Hamid adalah wanita aktif. Prigel, kata orang Jawa. Pandai mencari uang dengan cara berdagang makanan kecil. Selama ini ia mencukupi dirinya sendiri disamping uang belanja  pemberian pak Hamid.
Merasa sebagai wanita mandiri dan disepelekan mending ia hidup sendiri.
Anak sulungnya sudah dewasa. Saatnya menikah. Sebagai orang tua pak Hamid sama sekali tidak diajak bermusyawarah. Mantan istrinya yang mengatur semuanya. Dari prosesi akad nikah, undangan, maupun jamuan untuk tamu.
Pak Hamid diberitahu anaknya, hanya lewat SMS. Dan permintaan mantan istrinya akan keperluan keperluan menyambut tamu yang dibebankan kepadanya.
Anaknya hanya mengabari, "datang ya pak, meskipun hanya sebentar, kami hanya ingin bapak bisa foto-foto dengan kami sebagai kenang-kenangan", kata anaknya memohon di kalimat SMS.
Di hari H pernikahan anaknya, Pak Hamid datang sendirian. Tak ada seorangpun yang menyambutnya. Mantan istrinya tak sedikitpun menyapa. Sanak kerabat mantan istrinya pun hanya diam seribu bahasa.
Setelah berfoto sesuai permintaan anaknya, Pak Hamid pulang dengan gontai. Kesedihan mendalam tergambar jelas dari raut mukanya saat ia bercerita.
"Saya tidak keberatan pak, ia (istrinya) meminta semua biaya pernikahan. Wong itu memang untuk anak saya. Saya kerja juga buat siapa", kata pak Hamid memelas.
Matahari makin tinggi. Saya pamit sambil membawa makanan ayam beberapa kilo. Dan beberapa lembar yang saya serahkan ditolaknya.
"Dicoba dulu pak, kalau ayamnya doyan besok ke sini lagi baru membayar", katanya mengakhiri obrolan pagi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H