Tiba waktunya akad nikah. Di masjid  sebesar itu hanya hadir beberapa orang saja dari kedua belah fihak. Disaksikan beberapa tetangga yang dipasrahi among tamu.
Tiba giliran resepsi pernikahan. Tak banyak tamu yang menyaksikan saat pengantin memasuki ruangan. Lalu kedua mempelai menuju panggung yang disediakan. Tamu satu persatu mulai berdatangan. Tapi menu prasmanan berupa makanan kekinian seperti tak tersentuh. Banyak teronggok di piring-piring yang ditata rapi.
Tidak ada antrian yang berarti. Tamu datang silih berganti tapi hanya sedikit. Bahkan saya tidak mengenal sebagian besar dari para tamu yang datang. Kebanyakan memang orang luar kota Semarang.
Sampai habis masa sewa, karena beberapa jam lagi ruangan gedung mau dipakai oleh penyewa lain, tidak ada pergerakan tamu yang berarti.
Saya disuruh mengecek buku undangan, tertulis hanya 150 nama yang membubuhkan tanda tangan  dari 700 orang yang diundang.Â
Semua sisa prasmanan dibawa pulang. Kotak sumbangan dibuka. Dan setelah dihitung didapat jumlah Rp.42.000.000.
Tapi pak Budi memang orang baik. Ia tak mempermasalahkan jumlah sumbangan atau orang yang datang.
"Saya memang niat menjamu tamu pak", kata  Budi legawa.Â
"Memang tamu saya sebagian besar dari luar kota, jadi mereka banyak yang berhalangan datang, dan menitipkan sumbangan pada teman yang datang", tambahnya.
Sisa makanan dibagi ke semua tetangga. Bahkan yang tidak datang kondangan pun tetap dikirim makanan.
Para tetangga bergunjing, modal resepsi 250 juta baliknya cuma 42 juta. Kabar itu sampai ke telinga pak Budi.