Matahari tak jelas bentuknya.
Lingkaran putih yang biasanya menyala sedikit redup karena tertutup awan.
Sejauh mata memandang hanya ada hamparan pasir di Padang pinggir pantai Bandengan yang sangat luas.
Perahu, Â entah perahu apa terlihat menjauh dari pantai lalu seiring waktu hilang dari pandangan.
Ya .. hari ini pantai Bandengan yang eksotis menjadi dermaga perjalanan kami. Setelah menempuh hujan dan badai dari Semarang sekitar 5 jam. Dan tersesat di sebuah kampung terasing, akhirnya kami bisa memarkirkan motor di pinggir pantai.
Tak banyak orang, hanya beberapa rombongan keluarga yang sepertinya nyasar atau memang sengaja mampir.
Hari ini memang bukan hari libur, jadi wajar kalau tempat wisata ini sepi pengunjung.
"Ramai kalau liburan dan weekend", kata seorang penjaga tiket di pintu masuk.
Memasuki area pantai Bandengan dihari biasa seperti memasuki kampung tanpa penghuni. Deretan pohon sengon laut seperti barisan penjaga pantai yang terus mengamati gerakan kami.
Nyaris semua warung tertutup rapat. Ada beberapa yang terbuka tapi begitu masuk terdapat ruangan dengan gembok terkunci.
Jalanan sepi, pantai sepi. Apalagi sudah lewat tengah hari. Tinggi air laut menyurut searah bertiupnya angin darat yang membawa para nelayan membuka layar menuju laut lepas.
Alam nan cantik ini memang diciptakan luar biasa oleh Sang Pemilik. Pantai Utara angin darat bertiup ke arah utara, sedangkan pantai selatan angin darat berhembus ke selatan.Seperti mengantar para nelayan menyabung nyawa demi mendapatkan ikan untuk eksisnya sebuah kehidupan.
Di sebelah timur seseorang terlihat melangkah ke arah kami. Makin lama makin dekat. Seorang bule berbikini merah Melawati kami. Maklum mata lelaki, saya sedikit melirik meski agak kawatir teman saya mengawasi .. ternyata  ekor mata teman saya terlihat ikut menikmati  mengikuti langkah si Bule sampai hilang dari pandangan kami.  hihihi. Memakai sepatu gunung berwarna hitam. Hmmm.. baru saya menyadari kalau bule ini adalah pengguna motor pria yang tadi parkir di samping kami.
Gerakan sesuatu di bawah air sedalam mata kaki menarik saya untuk melangkah pergi.
Ikan-ikan kecil berkejaran diantara karang berlumut. Saya mencari wadah pop mie yang berserak di sepanjang panatai. Siput-siput kecil bergerak pelan di atas batu-batu kecil.
Menangkapi mereka  dan memasukkannya dalam wadah.
Saya jadi ingat car free day setiap Minggu pagi, ada penjual mainan yang manggadaikan makhluk  kecil ini. Mereka mengecat rumah siput warna warni, dan memaksa siput lain untuk menempati.
Rumah-rumahan aneka warna menjadi tempat singgah yang palsu bagi para siput mainan. Kalau beruntung mereka bisa melarikan diri dan hidup di got dekat rumah. Atau kalau kurang beruntung diterkam kucing atau mati dan jasadnya dibuang.
Mengamati bentuk siput yang beraneka ragam, membuat saya berfikir keras, bagaimana mereka bisa membuat rumah sebesar itu? Ruangan yang selalu tepat dengan badan mereka dan hanya menyisakan capit yang dilipat saat terlihat.Dan itu semua hanya urusan Sang Pencipta.
Menjelang sore, kami beranjak memacu motor tanpa henti. Hujan mengguyur deras dari Jepara sampai Semarang.
Basah kuyup kami di jalan tak bawa jas hujan lagi.
Tapi ini memang salah satu cara menikmati hidup. Hujan-hujanan di jalanan mumpung masih ada kesempatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H