Waktu acara masih kurang satu Minggu. Tenda sudah dipasang, orang-orang yang mendengar saya mau hajatan datang ke rumah meminta undangan. Tapi waktu sudah tidak mengijinkan lagi untuk bikin undangan.
Jadi kami cukupkan undangan 800 itu sambil menunggu keputusan Allah bagimana akan mencukupkan rejeki kami.
Jumlah undangan yang menurut tetangga saya sangat banyak, membuat istri saya kawatir tidak bisa menyuguhi tamu dengan baik. Mengingat kondisi kami yang penuh keterbatasan.
Hingga hari H datang. Ritual akad nikah berjalan dengan lancar, menghantar putri saya  menjadi pasangan suami istri yang sah.
Kekawatiran saya mulai muncul, mengingat tamu yang datang begitu banyak.
Menurut catatan buku tamu, 1000 undangan menulis nama mereka.
Belum lagi undangan Tamu besan yang jumlahnya ribuan. Membuat saya ketar-ketir dan beberapa kali harus mengecek dapur menanyakan apa makanan untuk tamu nasih ada.
Beras 5 Kwintal sudah habis dimasak, daging ayam 500 kg juga sudah habis dimasak. Tamu ribuan datang silih berganti tiada habisnya sampai malam hari.
Tapi saya heran, mengapa masakannya masih ada saja ?
Sampai sekarang pun saya masih belum faham dengan kondisi yang saya alami ketika hajatan.
Undangan pernikahan  memang seringkali menjadi persoalan pelik bagi siapapun baik yang memberi ataupun menerima. Yang memberi undangan harus bersiap menjamu, meskipun yang diundang tidak mengharapkan suguhan.
Dan yang diundang bersiap menyumbang meskipun pada dasarnya yang mengundang tidak berharap disumbang.
Jadi kalau ada yang datang tidak memberikan sumbangan, atau sumbangannya sedikit ya diterima saja. Sebab mengundang itu Sunnah, mendatangi undangan  itu wajib tapi besaran sumbangan tidak ada ketentuan.