Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Tradisi "Dokok" di Kampung Rejosari Meteseh Kota Semarang

9 Januari 2020   00:49 Diperbarui: 9 Januari 2020   00:50 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana hajatan di rumah pak Tain--dokpri

Pak Nasta'in sekarang boleh tersenyum lega. Anak semata wayangnya telah  ia hantar ke jenjang pernikahan, dengan pesta 2 hari satu malam yang dihadiri ribuan tamu, para  kenalan dan seluruh warga kampung.

Boleh dikata, pak Ta'in tidak mengeluarkan biaya sama sekali. Biaya itu datang dari para tetangga, saudara, dan kenalan yang selama ini disokongnya dengan penuh semangat.

Saat hajatan, pak Ta'in menyembelih seekor sapi yang lumayan besar untuk suguhan tamunya. Itupun didapat dari saudaranya yang saat hendak hajatan dibantunya dengan seekor sapi. 

Sumbangan berupa beras, gula, mie kering, roti, makanan kecil, bahkan rokok, menggunung di rumahnya.

Apa yang didapatnya saat hajatan bukan tanpa sebab. Pak Ta'in sekarang umurnya sudah 48 tahun dengan umur perkawinan 28 tahun. Hampir semua keluarga di kampung Rejosari  itu pernah hajatan. Entah menikahkan anaknya, syukuran bayi, ataupun ngunduh mantu. 

Selama hidup berumah tangga, ia berkontribusi secara aktif menyumbang para tetangga dengan istilah "dokok".

Dokok atau deleh adalah dialek Jawa kasar yang artinya meletakkan atau menitipkan (versi saya). Ada kata "dokokno kono"  artinya letakkan di situ.

Dalam istilah kehidupan sosial masyarakat kampung, dokok adalah menyumbang dalam jumlah besar pada orang yang sedang hajatan dengan maksud agar saat ia mengadakan hajatan, maka sumbangan itu akan dikembalikan sama, atau lebih. Orang-orang bahkan boleh memilih apa yang diinginkan. Misalnya ia boleh meminta barang atau uang.

Orang melakukan dokok tidak terbatas pada sejumlah uang tertentu. Tapi bisa berupa barang. Baik itu beras, hewan ternak, telor, gula, ataupun rokok.

Saat melakukan dokok, orang yang rewang (tetangga yang membantu) akan mencatat nama dan barang dibawa. Itu semua sebagai pedoman seumur hidup saat yang menyumbang akan mengadakan hajatan.

Saat tetangganya mengadakan hajatan, Pak Ta'in  memang tak segan mengeluarkan biaya banyak untuk membantu tetangganya.

Dua karung beras, 20 kg gula pasir, dua bal mie kering, rokok dua slop, adalah barang-barang yang  biasa ia keluarkan. Ditambah uang minimal Rp.500.000 sebagai pelengkap.

Saat ia mempunyai hajat, maka seperti panen raya. Uang dan barang yang ia sumbangkan kepada para tetangga selama puluhan tahun, kembali seperti titipan yang dikembalikan kepada pemiliknya.

Negeri kita memang kaya akan tradisi sosial yang sangat unik. Satu sisi memang sangat membantu. Tapi pada sisi yang lain, dokok itu sangat memberatkan bagi orang yang saat mengembalikan sedang dalam kesulitan keuangan.

Maka untuk mengantisipasi hal semacam ini, warga yang hendak hajatan biasanya woro-woro 1-2 bulan sebelumnya. Agar orang yang dititipi siap dan tidak terbebani.

Bagaimana dengan tradisi di daerah anda ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun