Membaca kasus Reynhard Sinaga yang terus menggema di seluruh penjuru bumi. Saya jadi ingat kejadian yang menimpa saya beberapa puluh tahun silam.
Akhir Tahun 1999, saya merantau ke Kalimantan Tengah  demi periuk nasi yang harus tetap mengepul. Beberapa kali saya harus balik ke Jawa, mengobati rasa kangen dengan anak istri dan keluarga, meskipun terkadang sampai rumah membawa uang tak seberapa.
Suatu hari, kepulangan saya ke Kota Kapuas Kalimantan Tengah tidak tepat waktu. Kendaraan air yang hendak menuju lokasi saya bekerja sudah semuanya berangkat. Terkatung-katung saya di pinggir dermaga Kuala Kapuas. Sendiri tak ada yang menemani.Â
Masuk waktu menjelang waktu maghrib saya berkeliling mencari sekedar pengganjal perut, uang di kantong sudah menipis. Saya berharap semoga bertemu dengan seseorang yang saya kenal sekedar bisa menumpang tidur.
Akhirnya dengan rasa yang penuh dengan ketidakpastian, saya duduk saja sambil sesekali menyeruput air mineral yang saya beli di Banjarmasin tadi siang waktu turun dari kapal penyeberangan.
Malam makin larut, aktivitas pelabuhan mulai berubah. Pedagang malam mulai datang. Pedagang makanan, pedagang asongan, bahkan para pedagang obat mulai menggelar dagangan.Â
Di tengah saya mengamati aktivitas para pedagang, seseorang menyentuh saya.
"Bang... mau dapat duit nggak?", katanya menawari.
Saya mengangguk mengiyakan.
"Barang abang taruh di sini saja, aman. Tempat ini biasa digunakan oleh pekerja lepas yang mencari receh di dermaga ini", kata orang ini untuk meyakinkan.
Lalu orang yang saya kenal bernama Rasyid ini mengajak saya, menata beberapa puluh lapak yang biasa mangkal di sekitar dermaga. Dua puluh tiga warung gerobak kami dorong dan kami tempatkan di posisi biasa.
"Bayarnya nanti ya?" katanya memberi harapan.
Biasanya setelah pengunjung sepi, para pedagang yang memanfaatkan jasa Rasyid, meninggalkan lapak begitu saja. Di bagian tertentu -di warung gerobak-  yang telah disepakati, Rasyid mengambil upahnya Rp 5000 tiap warung. Setidaknya Rp. 115.000 tiap malam dari jasa mengantar gerobak. Ukuran yang lumayan untuk waktu itu.
Setelah keramaian malam usai, kami mengembalikan gerobak di posisi semula, dan mengantar kembali esok malam. Begitulah seterusnya.Â
Masjid Besar Kuala Kapuas digembok dari luar, niatan saya untuk bermalam di masjid sambil i'tikaf pun pupus sudah.
Waktu sudah menunjukkan Pukul 12.30. Efek perjalanan dan pekerjaan tambahan benar-benar menguras tenaga saya. Sambil lesehan di pembatas dermaga saya bertanya,Â
"Kita tidur di mana bang?"
Rasyid tersenyum seperti menyembunyikan sesuatu.Â
"Di sana bang, klotok yang ada terpal biru itu tempat kita tidur", jawab Rasyid sembari menuding sebuah perahu yang tertambat di bawah kami.
Saya mengambil barang bawaan di basecamp. Beberapa orang sudah mendengkur dengan  berbagai posisi.Â
Saya segera menaiki perahu yang jaraknya tak terlalu jauh, terdengar suara kecipak air menyentuh dinding perahu. Diselingi suara deretan perahu yang bergoyang dan beradu seperti saling menyapa. Ditemani lampu gantung dengan cahaya temaram. Saya terlelap begitu saja.
Sampai beberapa saat kemudian, saya merasa ada yang menutupi badan saya dengan selimut dan menepuk nyamuk yang singgah di tangan. Samar-samar saya mendengar suara plak beberapa kali, suara tangan yang mengeplak nyamuk.
Lalu seseorang terasa merebahkan diri di samping saya tidur. Beberapa kali ia menyeret selimut agar terbagi rata diantara kami berdua.
Lalu insiden itu terjadi, setengah mengantuk saya merasakan tubuh saya diraba, endusan nafas memburu terdengar dekat di telinga. Saya masih berpura-pura terlelap sambil sesekali menepis tangannya agar menjauh.
Tangannya makin liar, Rasyid mencoba paksa menarik celana yang saya kenakan. Beruntung ikat pinggang yang melingkar di celana panjang saya dalam posisi sangat kuat. Saya masih menanti kelanjutan apa yang akan ia lakukan.
Lalu dengan sigap satu tangan memegang tangan saya, tangan yang lain mencoba membuka ikat pinggang dengan paksa.
Lalu saya berdiri reflek, barang bawaan saya ambil dan.. bug.. bug, dua kali tendangan saya mengarah ke selangkangan. Rasyid meringis kesakitan, saat ia hendak bangun satu tendangan lagi mengarah ke mulutnya.
Darah terpercik. Saya keluar dan lari sekencang-kencangnya. Pokoknya lari saja tanpa tujuan. Dengan jantung yang berdegup kencang dan nafas memburu, saya berusaha lari sejauh mungkin.Â
Dengan masih bergumpal  sejuta rasa kawatir, dari kejauhan saya melihat kelip lampu. Saya terus mendekat. Rupanya kapal dagang sedang bersandar. Beberapa orang terlihat memancing. Saya mendekat dan bertanya,Â
"Kapal ini mau kemana mas?",Â
Ternyata Mereka adalah para pedagang dari Jawa yang berjualan melalui sebuah kapal yang  dirombak seperti toko di dalamnya.
"Mau ke Mantangai mas", jawab salah seorang dari mereka.
Lalu kami mengobrol dengan akrab. Ternyata mereka berasal dari kota yang berdekatan dengan kota Semarang. Yaitu Purwodadi.
Akhirnya saya diijinkan ikut mereka keesokan harinya. Â Tidur di geladak kapal pun tidak masalah. Sampai saya dibangunkan, dan salah seorang dari mereka berkata,Â
"Sudah sampai Mantangai mas".
Saya turun dan tak lupa mengucapkan terima kasih kepada para penolong ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI