Mohon tunggu...
masmul hamdi
masmul hamdi Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Seseorang yang tidak mempunyai masa depan. Tidak mempunyai cita-cita dan tidak mempunyai hidup. Namun oleh karena keindahan kata-katanya, Indonesia mempunyai masa depan, Indonesia mempunyai cita-cita, dan Indonesia menjadi lebih hidup. I love Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sensasi Mendaki Di Bukit Pergasingan Sembalun

6 Desember 2015   14:16 Diperbarui: 6 Desember 2015   15:57 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 Mendaki Gunung Rinjani adalah impian semua orang, tak terkecuali saya sendiri. Nah, mengingat akan lamanya perjalanan oleh medan yang berat serta ekstrem, tentunya tak semua orang bisa melakukannya. Ada pilihan alternative bagi mereka yang ingin menjejakkan kaki di Gunung Rinjani, Bukit Pergasingan. Ya, bukit ini konon di sebut sebagai Gunung Rinjani mini dan sudah setahun belakangan ini menjadi perbincangan di kalangan pendaki.

Tak butuh waktu lama bagi saya dan kawan-kawan menyusun rencana untuk hiking saat cuti pasca lebaran nanti. Adalah Muhammad Solihin sebagai penggagas utama dari ide ini. Seorang kawan sebaya di kampung yang sekaligus menjadi teman seangkatan ketika saya masih berseragam SMA tahun 2007 silam. Sayangnya, Mahasiswa semester 5 Amikom Mataram ini malah tak bisa ikut lantaran masalah kesehatannya yang kurang baik.

Setelah saling menghubungi dan menunggu, rombongan akhirnya berkumpul. Semuanya berjumlah sebelas orang; ada Idham kholid, seorang pemuda yang biasa di panggil Hock dan saat ini masih menyelesaikan study tehniknya di Universitas Mataram, serta Roni Kurniawan yang dua tingkat di bawah umur saya, ada Rozzy juga yang berstatus adik kandungnya dari Roni Kurniawan, Rizky yang baru lulus SMA, Juaini yang masih berstatus single, serta Mus yang masih belasan tahun dan beberapa kawan sekampung yang tidak begitu saya kenal namanya (maklum, di kampung sendiri sudah jarang bergaul karena kesibukan pekerjaan di luar daerah). 

Tanpa menunggu lama, perjalanan pun di mulai dari jalan Ahmad Yani, Selagalas (depan Rumah Sakit Harapan Keluarga) menuju ke Narmada. Dengan kecepatan 80 km/jam menggunakan sepeda motor, membuat kami tak butuh waktu lama untuk sampai di pintu Desa Sembalun Lawang.

Udara yang dingin seolah menyambut kami begitu sampai disini. Kami lalu memutuskan untuk menitip sepeda motor di rumah salah seorang keluarga dari teman kami, Rizky. Dari sana tampak beberapa rombongan pendaki dari berbagai daerah dan negara sedang berlalu lalang melintasi desa yang menghubungkan antara Lombok Timur dan Lombok Utara itu.

Pergasingan, Gunung yang belum lama di kenal ini berada di Desa Sembalun Lawang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur. Untuk menuju gerbangnya, terlebih dahulu kami melewati lapangan bola di desa itu. Dari lapangan, kami menelusuri jalan kampung yang bisa di lewati mobil, hingga akhirnya terhenti di sebuah jembatan. Umumnya para pendaki juga bisa menitipkan kendaraannya di ujung desa itu dengan biaya ± Rp. 15.000/24 jam.

Setelah membayar tiket sebesar Rp.10.000/org dan melengkapi data-data, nama, alamat beserta nomer handphone kepada penanggung jawab setempat, kami langsung di hadapkan dengan tanjakan. Beruntung pemuda-pemuda desa yang tergabung dalam Sembalun Community Development Centre (SCDC) telah membuatkan anak tangga dari semen untuk memudahkan langkah para pendaki. Cukup melelahkan melewati anak tangga itu. Tapi cukup membantu juga jika ingin beristirahat.

 

 

Pendakian ke Pergasingan sejatinya membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam jika mendaki dengan cepat. Namun menurut saya, justru seni dari mendaki itu adalah menikmati setiap perjalanannya. Jadi, saya memutuskan untuk mendaki lebih santai daripada kawan-kawan rombongan. Namun kami tetap menjaga jarak. Bagaimanapun juga, perjalanan mendaki adalah perjalanan melawan ego masing-masing. Harus mau saling tunggu. Semua mempunyai tujuan yang sama. Menikmati setiap perjalanan itu adalah tujuan yang sesungguhnya.

Sebenarnya perjalanan menaklukkan tanjakan dengan kemiringan 45 derajat tidak akan terasa, jika di selingi obrolan ringan di setiap perjalanan. Tapi sayangnya, saya dan rombongan terpisah agak jauh, membuat saya harus men-selingi-nya dengan take beberapa gambar di sela perjalanan karena tak ada lawan bicara. Bunyi nafas kelelahan, keringat yang cepat kering di terpa angin seakan menjadi candu oleh pemandangan indah dan memesona. Hingga tak sadar Lanscape kamera pun terjatuh entah dimana.

Langit mulai gelap saat kami di tengah perjalanan. Asap dari pembakaran serta kabut dari perkampungan terlihat melayang-layang. Sementara itu puncak Rinjani terlihat samar oleh kabut serta hari yang sudah mulai gelap. Aku dan rombongan mempercepat langkah kaki, walau kemiringan tanjakan sudah semakin ekstrim, 60-70 derajat. Terlihat Rozzy sudah mulai menyalakan Headlamp-nya sementara Juaini yang paling tinggi sekaligus yang paling tua di antara rombongan bertugas membawa senter di belakang kami. Dalam keadaan seperti ini posisi tas kami arahkan ke arah tanjakan, tidak lagi ke arah menurun, agar tidak berbahaya dan beban yang terasa juga tidak terlalu berat.

 

 

Pukul 19.30 wita, bintang-bintang sudah mulai terlihat ketika kami selesai mendirikan tenda. Begitupun udara yang semakin dingin seolah menusuk di setiap ujung jari. Lokasi perkemahan berada di sekitar 20 menit dari puncak. Kami harus sabar menunggu hingga esok untuk melihat matahari terbit dari puncak. Untungnya cuaca malam itu sangat cerah, gemintang anggun berkilau menghiasi kepekatan. Dan di bawah dekapan gelap serta dinginnya udara, kami menghabiskan waktu dengan berbagai kegiatan mulai dari membuat api unggun, berkenalan dengan rombongan pendaki yang lain, saling bercanda, bercerita satu sama lain dan tak lupa juga mengabadikan beberapa gambar di bawah kerlipnya bintang. Hingga akhirnya udara yang semakin dingin seolah pertanda bahwa malam sudah semakin larut. Kami putuskan untuk beristirahat di tenda masing-masing.

*****

Matahari pagi di gunung sepertinya selalu menjadi istimewa. Di butuhkan perjuangan keras untuk bisa menikmati hangatnya. Butuh waktu 3 kali 60 menit dari Sembalun menuju lokasi camping. Butuh waktu 20 menit juga dari kemah menuju puncak. Sedari pukul 05.00 wita, aku dan kawan-kawan sudah bergegas menuju puncak, kecuali dua orang sahabat kami yang memilih melanjutkan tidurnya di tenda, Juaini dan seorang kawan yang saya lupa lagi namanya (lagi-lagi lupa nama teman kampung sendiri heee). Dan sepertinya tafsir kebanyakan orang tentang makna mendaki yang sebenarnya memang benar, perjalanan itu sendirilah keindahannya. Ada sensasi ketika melihat matahari muncul di balik Pergasingan. Matahari yang setiap hari bisa kami lihat dari rumah masing-masing, kini terlihat dari puncak, matahari yang indah. 

 

 

Ini adalah pengalaman kedua saya melihat matahari terbit dari puncak. Keindahannya berpadu bersama kabut perlahan terbelah oleh mentari, seakan mengingatkan jika pulau ini tak ada habisnya, berpotensi untuk urusan wisata

Berada di ketinggian ± 1700 mdpl, udara Pergasingan mampu menembus jaket. Matahari pagi memberikan sedikit rasa hangat di tubuh. Gradasi warna langit dari gelap tampak memerah dan pada akhirnya terang menjadi sensasi tersendiri. Dua buah pulau, Gili Sulat dan Gili Lawang di Sambelia terlihat jelas dari tempat kami berdiri sekaligus memanjakan mata kami oleh pemandangan laut dan eksotisme alam. Sementara rumah-rumah dan hamparan sawah berderet rapi bak permadani yang di gelar di lapangan dengan gradasi warna yang berbeda. Entah sudah berapa ratus foto yang kami abadikan. Barangkali, pemandangan inilah yang membuat Pergasingan menjadi buah bibir sampai mancanegara.

 

 

 

Perjalanan pulang dari puncak terasa lebih ringan. Sebab, jalan yang di lalui menurun. Hanya saja kaki terasa bergetar menahan berat badan sendiri. Juga tak hentinya kami berpose, seperti Mus yang berpose merentangkan kertas bertuliskan "I love you bla bla bla...." Sampai beberapa kawan yang berpose dengan alasan mengganti Display Picture (DP) di akun social media mereka. Segala ke-kocak-an, ke-koplak-an menjadi tawa lepas bagi kami tiada hentinya. Semua terekam bersama hangatnya mentari yang sudah mulai terik.

Pendakian itu bukanlah menjadi babak akhir, melainkan babak awal bagi kami, khususnya saya yang berniat mendaki Gunung Rinjani ataupun menepati janji bersama kawan di Bandung dan seorang kawan di Jember, menjejakkan kaki di Puncak Semeru, Malang. Pergasingan adalah sebuah pengalaman yang bisa menambah wawasan, sekaligus menjadi salam penutup untuk hari libur kami, kawan sekampung yang akan melanjutkan rutinitas kami kembali seperti hari-hari sebelumnya.

 

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun