Sebenarnya perjalanan menaklukkan tanjakan dengan kemiringan 45 derajat tidak akan terasa, jika di selingi obrolan ringan di setiap perjalanan. Tapi sayangnya, saya dan rombongan terpisah agak jauh, membuat saya harus men-selingi-nya dengan take beberapa gambar di sela perjalanan karena tak ada lawan bicara. Bunyi nafas kelelahan, keringat yang cepat kering di terpa angin seakan menjadi candu oleh pemandangan indah dan memesona. Hingga tak sadar Lanscape kamera pun terjatuh entah dimana.
Langit mulai gelap saat kami di tengah perjalanan. Asap dari pembakaran serta kabut dari perkampungan terlihat melayang-layang. Sementara itu puncak Rinjani terlihat samar oleh kabut serta hari yang sudah mulai gelap. Aku dan rombongan mempercepat langkah kaki, walau kemiringan tanjakan sudah semakin ekstrim, 60-70 derajat. Terlihat Rozzy sudah mulai menyalakan Headlamp-nya sementara Juaini yang paling tinggi sekaligus yang paling tua di antara rombongan bertugas membawa senter di belakang kami. Dalam keadaan seperti ini posisi tas kami arahkan ke arah tanjakan, tidak lagi ke arah menurun, agar tidak berbahaya dan beban yang terasa juga tidak terlalu berat.
Â
Pukul 19.30 wita, bintang-bintang sudah mulai terlihat ketika kami selesai mendirikan tenda. Begitupun udara yang semakin dingin seolah menusuk di setiap ujung jari. Lokasi perkemahan berada di sekitar 20 menit dari puncak. Kami harus sabar menunggu hingga esok untuk melihat matahari terbit dari puncak. Untungnya cuaca malam itu sangat cerah, gemintang anggun berkilau menghiasi kepekatan. Dan di bawah dekapan gelap serta dinginnya udara, kami menghabiskan waktu dengan berbagai kegiatan mulai dari membuat api unggun, berkenalan dengan rombongan pendaki yang lain, saling bercanda, bercerita satu sama lain dan tak lupa juga mengabadikan beberapa gambar di bawah kerlipnya bintang. Hingga akhirnya udara yang semakin dingin seolah pertanda bahwa malam sudah semakin larut. Kami putuskan untuk beristirahat di tenda masing-masing.
*****
Matahari pagi di gunung sepertinya selalu menjadi istimewa. Di butuhkan perjuangan keras untuk bisa menikmati hangatnya. Butuh waktu 3 kali 60 menit dari Sembalun menuju lokasi camping. Butuh waktu 20 menit juga dari kemah menuju puncak. Sedari pukul 05.00 wita, aku dan kawan-kawan sudah bergegas menuju puncak, kecuali dua orang sahabat kami yang memilih melanjutkan tidurnya di tenda, Juaini dan seorang kawan yang saya lupa lagi namanya (lagi-lagi lupa nama teman kampung sendiri heee). Dan sepertinya tafsir kebanyakan orang tentang makna mendaki yang sebenarnya memang benar, perjalanan itu sendirilah keindahannya. Ada sensasi ketika melihat matahari muncul di balik Pergasingan. Matahari yang setiap hari bisa kami lihat dari rumah masing-masing, kini terlihat dari puncak, matahari yang indah.Â
Â
Ini adalah pengalaman kedua saya melihat matahari terbit dari puncak. Keindahannya berpadu bersama kabut perlahan terbelah oleh mentari, seakan mengingatkan jika pulau ini tak ada habisnya, berpotensi untuk urusan wisata
Berada di ketinggian ± 1700 mdpl, udara Pergasingan mampu menembus jaket. Matahari pagi memberikan sedikit rasa hangat di tubuh. Gradasi warna langit dari gelap tampak memerah dan pada akhirnya terang menjadi sensasi tersendiri. Dua buah pulau, Gili Sulat dan Gili Lawang di Sambelia terlihat jelas dari tempat kami berdiri sekaligus memanjakan mata kami oleh pemandangan laut dan eksotisme alam. Sementara rumah-rumah dan hamparan sawah berderet rapi bak permadani yang di gelar di lapangan dengan gradasi warna yang berbeda. Entah sudah berapa ratus foto yang kami abadikan. Barangkali, pemandangan inilah yang membuat Pergasingan menjadi buah bibir sampai mancanegara.
Â
Â