Detak sepatu tinggi lancip masih bisa lewat menyusup sebagian telinga yang sudah hingar bingar oleh dentuman musik, entah dari aliran apa, tapi enak juga kalau di buat goyang. Gelapnya ruang tamu tak bertuan sudah menjadi tabir pembungkus dari wajah-wajah menggelikan, aku bahkan tak tahu, sedang meringis atau menyeringai mereka, tapi mungkin meringis kesakitan, sakit melawan hantaman tabuh yang bertalu-talu, sakit menahan lapar cinta yang akan semakin menjauh, sakit menghadapi kenyataan, bahwa mereka tidak boleh sakit, apapun.
Hanya detak sepatu yang berkata jujur, tegar atau gontai langkahnya?. Detak sepatu masih bisa menceritakan isi hati mereka, mungkin ancaman sedang menghadang, mungkin harapan masih tersisa di depan, mungkin lapar tak boleh mengganggu, atau bahkan detak sepatu mereka pun dapat katakan kalau mereka sedang meradang sekarat, menahan dahaga yang mestinya mampu mereka lepas dengan satu kali ayunan, pernikahan.
Keke menyalakan batang ke 5 sigaret mild-nya, lantas dilanjutkannya cerita dengan gayanya yang sudah sama sekali baru, sejak beberapa hari terakhir ini, entah kenapa?
Lagu adalah sebuah pilihan, ya hanya lagu, bukan hidup atau kehidupan yang bisa mereka pilih. Mereka sudah kubur hak-hak memilih jalan hidup, mereka pikir di luar sana kebohongan hanya seharga recehan yang sekedar cukup untuk suapi mulut-mulut mereka sendiri, padahal ada mulut munggil yang bisa lebih lahap harus disuapi. Sementara kebohongan di dalam ruang tamu tak bertuan dan gelap ini, mereka dapat merubah dunia menjadi mimpi-mimpi yang lama tertunda. Mereka bahkan dapat ciptakan lukisan mimpi indah orang-orang bego tak bermoral yang diluaran sana hanyalah seorang penjilat.
Luar biasa, bermimpi dan memberi mimpi adalah bait-bait lagu cinta sumbang, yang mereka dendangkan setiap malam bersama kegetiran demi kegetiran serta bayangan lautan luas yang hanya berisi api dan batu-batu karang tajam siap merobek dan mencabik tubuh dan jiwa kosong tanpa makna.
Masih ada beberapa sloki yang memantulkan warna merah dari dalamnya, “Ayah…!! rasanya aku sudah mabuk, kepalaku mulai pening”
“Tuntaskan dulu ceritamu yang tinggal sepenggal”, meski aku sendiri sudah tak tahan untuk menyuruhnya berhenti, masih saja ku tuang sekali lagi untuk Keke
Dengar saja detak-detak sepatu mereka dan dengarkan alunan lagunya. Di situ masih ada cerita yang bisa di kabarkan pada dunia, bahwa mereka ada, beraroma wangi, bergincu tebal dengan tubuh-tubuh mulus yang tak lagi memiliki rasa.
Ceritakan pada dunia, bahwa mereka hanya setitik pijar yang dapat menghanguskan martabat yang kokoh.
“Ceritakan pada dunia, aku adaaaaaaa……. meski aku memilih sembunyi di balik sucinya wajah anakku, Ayah…. aku lelah!!!”, dan kepalanya tersandar di pundakku.
Aku tak peduli, apa semua ini sudah aku maknai, atau mungkin sudah kuputuskan untuk sesuatu?
Ku cium pippi Keke, “Jaga dirimu baik-baik anakku, ini demi anakmu bukan anak siapa-siapa”
Keke tetap terdiam dalam mimpinya, mungkin, atau malah dalam lelahnya?
Dan lagu cinta sumbang dengan detak-detak sepatu di ruang gelap tak bertuan mulai tak terdengar. Hanya desahan nafas lemah dari hati risau, terdengar pilu.
Rupanya melodi Surau sudah mulai memunguti RahmatNYA yang turun sia-sia.
-----
:moko, 27,02,2012
Banyak yang hilang dari kehidupan kita, dan hanya satu yang tertinggal, "Cinta"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H