`
"Sebelum mempelajari surga dan malaikat, mbok ya belajar dulu menjadi manusia biasa."
Â
"Orang itu kalau sudah fanatik agama kejamnya bukan main. Kejam atas nama Tuhan, kontradiksi yang aneh sekali, tetapi begitulah manusia."
Â
Mungkin tidak banyak yang pernah membaca kata-kata di atas, yang pernah dituangkan oleh seorang arsitek, cendekiawan, dan sastrawan bernama Y.B. Mangunwijaya atau biasa disapa oleh Romo Mangun, yang wafat 21 tahun silam tanggal 10 Februari. Mungkin juga Romo Mangun cukup dikenal sebagai seorang imam Gereja Katholik yang adalah penulis novel antara lain "Burung-Burung Manyar", "Burung-Burung Rantau", "Rara Mendut", dan "Romo Rahadi".
Namun, apakah sebenarnya Romo Mangun cukup dikenal sebagai seorang pastur saja dan tidak meninggalkan warisan apa-apa bagi kita? Apakah bagi kita dia cukuplah dikenal sebagai seorang intelektual yang berdiam di menara gading yang memberikan perasaan kedigdayaan bagi mereka yang membaca segenap tulisan-tulisannya?
Kita harus ingat terlebih dahulu bagaimana kiprah Romo Mangun di bantaran Kali Code-Yogyakarta. Bagaimana dia mengajukan permohonan ijin kepada pihak Keuskupan Agung Semarang (?) untuk bisa lebih banyak tinggal bersama-sama dengan kaum miskin dan rakyat jelata di "pinggir kali". Argumen dia, "Menjadi seorang pastur paling tidak 80% berurusan dengan wong cilik baik di kota maupun di desa."
Dan kata-kata itu direalisasikannya dengan terjun ke Kali Code di tahun 1981 serta membangun rumah-rumah layak huni bagi rakyat penghuni bantaran  Kali Code yang terancam digusur oleh penguasa. Berbekal latar belakang pendidikan di bidang teknik arsitektur dari RWTH Aachen-Jerman, Romo Mangun membangun rumah-rumah semi-permanen berbahan bambu (gedhk) bagi warga setempat. Bukan rumah bambu yang kelihatan merana, melainkan rumah bambu yang dicat berwarna-warni sehingga warga bantaran Kali Code tak lagi hidup dengan cap kumuh pada diri mereka.
Kiprah Romo Mangun pada kemanusiaan semakin tertonjol tatkala dia mendampingi para korban pembangunan Waduk Kedung Ombo. Romo Mangun membangun pondok-pondok darurat bagi warga yang rumahnya ditenggelamkan akibat proyek waduk tersebut dan dia bertahan bersama masyarakat setempat. Romo Mangun konon sampai dicap melakukan kristenisasi pada warga dan dituduh subversif karena tindakannya itu. Kiprah kemanusiaan Romo Mangun lebih jauh lagi bisa dibaca di artikel "Mangun".
Kepedulian pada rakyat miskin terus dipupuk oleh Y.B. Mangunwijaya hingga dia menggagas sebuah sekolah dasar sebagai wahana bagi rakyat kecil untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Sekolah itu dinamai Sekolah Dasar Mangunan.
Visinya adalah bagaimana pendidikan yang memerdekakan seperti apa yang dialami oleh Adam Malik: "hanya" lulusan sekolah dasar namun bisa menjadi seorang wakil presiden bahkan dapat menjadi pimpinan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bukan pendidikan yang menjejali anak-anak didik dengan berbagai teori yang mengasingkan mereka. Sekolah ini juga menganulir sistem rangking yang membuat pendidikan adalah serba bersaing.
Apakah sekelumit kisah sejarah mini di atas tidak menyinggung soal keagamaan atau secara spesifik, dogma Gereja Katolik? Tepat. Dan itulah poin utamanya.
Apa yang terlihat jelas dari seorang Y.B. Mangunwijaya adalah dia tidak bergerak di tengah penderitaan sesamanya sambil membawa atribut kepastorannya itu. Dia tidak berpartisipasi dalam pengangkatan harkat-martabat orang melarat dan tertindas (oppressed) sambil mencari simpati agar umat Katholik makin banyak. Padahal, sudah jelas dia adalah rohaniwan.
Sebaliknya, latar belakangnya sebagai imam Gereja Katholik justru mendorong sekaligus menuntun bagaimana sebaiknya dia harus bertindak serta memberikan suatu proteksi bagi Romo Mangun dan mereka yang berlindung padanya untuk dapat berjuang menuntut hak-haknya terpenuhi.
Reputasi sebagai agamawan tidak diaplikasikan agar tenggelam dalam debat antar agama untuk menunjukkan agama mana yang lebih "benar" atau yang "sesat", "tidak berkenan di hadapan Tuhan", dan lain serupa. Berstatus sebagai orang beragama dengan beriman pada Tuhan Yang Maha Esa ialah berarti bertanggung jawab untuk mengedepankan sisi humanisme sebagai bagian dari iman pada sosok Ilahi yang diimani sebagai penuh kasih pula.
Iman, belajar dari kiprah Romo Mangun, bukanlah melulu tentang ritus-ritus dan doa di tempat ibadah, melainkan bagaimana kepedulian nurani manusia tersentuh atau malah tertohok saat sesamanya tertindas. Iman adalah orientasi bagaimana gerak manusia diarahkan pada keadilan dan kesetaraan dengan berbekal perasaan kasih dan penuh persaudaraan.
Lalu, bagaimana iman yang dikontekstualisasikan dalam pembelaan terhadap orang miskin itu?
Romo Mangun mencontohkannya dengan sains. Bukan sains yang terangkum dalam buku-buku ilmu pengetahuan alam, melainkan ilmu, ada analisis sosial dan analisis alam (beserta teknologi). Kemampuan intelektual yang terinspirasi dan didasari dari iman humanis merupakan instrumen mewujudkan kemanusiaan itu.
Karena masyarakat Kali Code membutuhkan rumah yang layak huni dan bersifat semi-permanen, Romo Mangun menerapkan apa yang sudah dia pelajari tentang teknologi bangunan dan arsitektur untuk mewujudkan situasi lingkungan jauh dari kesan kumuh di tepian Kali Code. Sama halnya ketika dia mewujudkan sekolah egaliter bagi anak-anak miskin berbekal horizon intelektualnya.
Kini, setelah 21 tahun kepergiannya, apakah umat beragama sudah mampu beriman secara progresif dengan lebih peduli kepada sesamanya sekecil apapun itu?
Masalah yang dihadapi oleh masyarakat kini lebih pelik daripada apa yang dialami oleh masyarakat Indonesia sekian dekade yang lalu. Pemanasan global bukan sekedar ancaman, namun memang sungguh-sungguh terjadi hingga 8 Februari 2020 lalu Kompas.com melaporkan bahwa suhu Benua Antartika berada pada 18,3 derajat Celcius. Kerusakan alam berarti bencana bagi umat manusia dan umat manusia yang ringkih tentu paling sulit bertahan hidup.
Sungguh absurd bila umat beragama hanya bisa berdoa dan berharap keajaiban datang atau muncul tiba-tiba bila tidak ada solidaritas nyata. Fakta kerusakan alam tidak bisa direduksi dengan argumen bahwa kelak di alam baka akan ada surga atau afterlife yang indah dan megah jadi tenang saja dengan situasi alam yang ada.
Hanya saja, jika ada dari kita yang mengaku beragama dan beriman, apakah kita masih terlampau berfokus pada ritus-ritus rutin dan untuk mencari ketenangan saat mati dan malah melupakan kemanusiaan kita?
Atau saat ketika belajar cabang ilmu apapun itu, kita hanya belajar sebagai media penambah gengsi?
Selamat merenung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H