Mohon tunggu...
Langit Cahya Adi
Langit Cahya Adi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Technical Assistant

Technical Assistant || Universitas Gadjah Mada (2010-2015) Universite de Bordeaux-Perancis (2016-2018) Osaka Daigaku/Universitas Osaka-Jepang (2019-2022) || Twitter: @LC_Adi07

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saat Depresi Jadi Aliansi: Sisi Lain Alfred Nobel

22 Oktober 2019   10:09 Diperbarui: 22 Oktober 2019   10:34 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan Oktober oleh sebagian masyarakat dunia diingat sebagai bulan saat anugerah Nobel diumumkan. Bulan yang sama dengan bulan kelahiran sang pencetus dan pendiri, Alfred Bernhard Nobel, yang lahir pada 21 Oktober 1833 di ibukota Swedia, Stockholm.

Di Bulan Oktober, telah ditetapkan pula Hari Kesehatan Mental Sedunia oleh World Health Organization (WHO) yakni pada tanggal 10 Oktober. Masyarakat internasional diajak untuk memahami isu kesehatan mental lewat pendidikan guna memiliki kesadaran terhadap hal-hal terkait kesehatan mental untuk selanjutnya melawan stigma terhadap penderita gangguan kesehatan mental.

Apakah kita bisa menarik suatu hubungan antara dua hal di atas? Atau cuma membiarkannya sebagai kebetulan belaka?

Reputasi Alfred sebagai insinyur cum pengusaha dengan keuntungan melimpah dan warisan yang melintasi seabad tak perlu diragukan lagi. Barangkali, dia adalah sosok Elon Musk dari abad ke-19. 

Kita tahu bahwa Hadiah Nobel dirancang dan diberikan dengan berbekal harta Alfred yang begitu melimpah karena paten rancangan dan penemuan dinamit. Belum paten yang lainnya. Dalam hal kemampuan pribadinya, Alfred mampu berbicara dalam enam bahasa Benua Biru: Swedia, Rusia, Perancis, Inggris, Italia, dan Jerman.

Dengan begitu banyaknya keberhasilan, dari mana kreativitas dan inspirasi kerja serta riset Alfred datang?

Dalam hidupnya yang gilang-gemilang, Alfred sesungguhnya memiliki kondisi mental yang gelap dan muram. Dia menggambarkan dirinya sebagai sosok melankolis yang tidak ada nilainya dan hidup seorang diri di dunia. 

Svante Lindqvist, sejarawan Swedia, pada 2001 dalam Annual Meeting of The Royal Swedish Academy of Engineering Science menyatakan bahwa Alfred dapat dikatakan mengalami gangguan depresi pada masa dewasa hingga wafatnya di tahun 1896.

Penyebabnya bukan karena Alfred tidak pernah menikah dan tidak memiliki anak. Sama seperti sebagian besar penderita depresi, Alfred merasakan ketiadaan makna hidup (meaninglessness of existence). 

Mengenai hidup yang melajang, Alfred justru memilih hidup yang demikian dengan kemauannya sendiri walau konon hal itu terkait dengan kisah asmara Alfred yang tidak berakhir bahagia, termasuk pada Bertha von Suttner (penerima Nobel Perdamaian 1905).

Akan tetapi, depresi Alfred tidak melulu bernuansa suram. Jangan-jangan, justru itulah sumber keberhasilan Alfred dan namanya yang lestari dalam Hadiah Nobel. Mengapa?

Dalam hidup yang tiada maknanya, Alfred menemukan suatu pelarian yang membuat kesuraman hatinya dapat lenyap untuk sementara waktu: Kerja keras. Alfred mampu bekerja hingga 15 jam per hari, entah di meja kerja, pabrik, atau untuk menghadiri pertemuan/rapat.

Lewat kerja keras dan ketekunan, himpitan depresi menjadi tempat bagi kreativitas, inspirasi, dan riset disalurkan dan dikembangkan. Semakin dalam Alfred merasakan kekosongan makna, semakin tekun dia bekerja sehingga dia menemukan kegembiraan. 

Bila dia menemukan cacat dalam kerjanya, dia akan makin bersungguh-sungguh mencari solusinya.

Dinamit sendiri adalah penemuan buah ketekunan Alfred yang amat terpuruk setelah  nitrogliserin (senyawa bahan peledak yang amat eksplosif) meledak hingga pabrik Alfred hancur dan adiknya, Emil Oskar Nobel, tewas.

Apa yang bisa kita pelajari dari sepenggal kisah di atas dalam kaitannya dengan kesehatan mental?

Kita harus menyadari bahwa gejala depresi datang dengan bentuk yang amat terselubung dan Alfred sedikit-banyak menyadari bahwa dia merasakan depresi di jiwanya. Ketika seseorang jatuh di dalam pusaran depresi, dia tidak lagi merasakan arti penting apapun di dalam hidupnya. 

Apapun yang dia perbuat tidak lagi bermakna apapun dan dia tidak pantas menerima perhatian apapun. Itulah mengapa amat sulit bagi penderita depresi untuk bercerita kepada orang lain apa yang dirasakannya.

Apalagi di Indonesia, kesadaran akan gangguan mental seperti depresi hanya dianggap angin lalu. Cukup "diobati" dengan banyak beribadah, banyak berdoa dan beramal, dan meningkatkan frekuensi ritus keagamaan.

Saya malah mengenal orang yang secara jujur mengaku dia mengidap depresi dan faktor doktrin agama-lah yang menimbulkannya. Sengaja, tulisan ini tidak menampilkan pandangan keagamaan Alfred agar stigma buruk terhadap depresi di Indonesia tidak memburuk.

Padahal, penyebab depresi sendiri kompleks, bisa karena faktor genetik, lingkungan, atau kejadian traumatis. Akan tetapi, seperti Alfred Nobel, efek dari sekian faktor yang berkelindan tadi sulit diamati dan penderitanya bisa beraktivitas biasa. 

Bisa jadi, seperti Alfred, penderita depresi mampu menghasilkan prestasi cemerlang, mempertahankan gaya hidup terhormat, dan bergaul dengan baik.

Sebagai salah seorang pengidap depresi yang perlahan telah mampu bangkit, saya hendak mengajak saudara-saudari pembaca sekalian untuk sedikit melihat penderita depresi dari suatu perspektif berbeda dari sudut pandang orang dengan kondisi mental yang "normal".

Ketika pengidap depresi tenggelam di dalam pekerjaan atau belajar hingga tak mengenal waktu, itu ialah jalan satu-satunya ia mampu merasakan kegembiraan. Bukan karena depresi itu pulih, melainkan karena depresi itu "terlupakan". 

Di dalam saat-saat tenggelam dalam pekerjaan itu, mereka mampu menemukan apa yang kurang di dalam hidup mereka, entah karir, studi, maupun kehidupan pribadi.

Ibaratnya, kerja keras adalah kawan yang setia. Hanya di saat itulah seorang penderita akan merasakan bahwa hidup ini tidak lagi kosong, hampa, suwung. Tentu ini kedengaran tidak masuk akal, tapi toh nyata juga. 

Di dalam kerja, penderita depresi merasakan bahwa segenap kemampuannya dapat dimaksimalkan dan menjadi produktif. Bila sikap overwork ini dicerca dan dicela, gangguan depresi bisa semakin menghimpit.

Oleh sebab itu, justru mari perhatikan orang-orang terdekat yang sekan-akan hidupnya penuh kerja keras, kerajinan, dan banyak prestasi. Mereka yang nampak menjalani hidup yang "baik-baik" saja bagi kita dan tidak menunjukkan aura muram dari dirinya.

Memang, di satu sisi, kerja keras tersebut membawa kebaikan, namun kebaikan dengan cara yang destruktif. Oleh sebab itu, bila kita mampu menjadi kawan yang setia, yang meyakinkan mereka bahwa mereka baik, layak untuk dicintai, berharga, kita telah menghadirkan makna bagi para penderita depresi sehingga tidak lagi celah kehampaan di dalam hidup mereka. 

Kita mendengarkan tanpa menghakimi. Bahwa kerja keras mereka berharga dan berbuah manis, bukan karena seberapa sukses atau cacat, melainkan kerja keras itu untuk kita yang mengasihi mereka tanpa stigma.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun