Mohon tunggu...
Langit Cahya Adi
Langit Cahya Adi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Technical Assistant

Technical Assistant || Universitas Gadjah Mada (2010-2015) Universite de Bordeaux-Perancis (2016-2018) Osaka Daigaku/Universitas Osaka-Jepang (2019-2022) || Twitter: @LC_Adi07

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Siapa yang Sampah: Dosen atau Mahasiswa?

19 Oktober 2019   10:48 Diperbarui: 19 Oktober 2019   10:58 1263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
John B. Goodenough berdiskusi dengan mahasiswa (https://news.uchicago.edu/)

Beberapa hari yang lalu, sempat ada foto draft skripsi seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Jawa Timur yang ditulisi "sampah" oleh dosen pembimbing skripsinya. Foto tersebut menjadi viral dan memancing banyak kontroversi.

Kejadian di atas menimbulkan pro dan kontra dan masyarakat seolah-olah terbelah menjadi dua kubu: Pro-dosen dan pro-mahasiswa. Seperti biasa di Indonesia, sikap "pro" senantiasa dibarengi dengan sikap sinis, kasar, dan memaki pada pihak yang dikritik. Berita itu dapat dibaca di The Conversation Indonesia.

Meski sang dosen sudah memberikan klarifikasi, peristiwa antara dosen dengan mahasiswa terakhir ini sebenarnya adalah proyeksi akan sejumlah hal menyangkut dosen di satu pihak dan mahasiswa di pihak lain. Semua pihak tentu saja tidak kebal kritik.

Sudah bukan hal yang tabu bila membicarakan cara dosen membimbing skripsi mahasiswa. Berulang kali saya mendengar dan mengamati banyak dosen yang sulit ditemui dengan berbagai alasan dan seringkali karena dosen juga menempati jabatan struktural di kampus, entah skala rektorat atau dekanat.

Sedikit-banyak membentuk watak dosen yang bersikap bahwa dialah yang dibutuhkan oleh mahasiswa. Saya pernah menjumpai kakak tingkat yang menanti dosen pembimbingnya dari siang sekitar jam 13.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Padahal, mereka punya janji temu pukul 13.00 WIB. Apakah dosennya akhirnya datang? Tentu saja tidak.

Belum lagi jika membimbing cara penulisan skripsi atau disertasi master dengan cara satu arah. Tiba-tiba saja para dosen mencoret-coret dengan tulisan, "Ganti", "Dipersingkat saja", atau hanya memberi tanda tanya (?) tanpa keterangan apapun. 

Jarang (saya tidak berkata "tidak ada") dosen mengajak diskusi secara teratur guna memetakan masalah yang dialami mahasiswa bimbingan, entah di dalam argumentasinya secara verbal, tulisan, atau kurangnya literatur ilmiah yang relevan.

Mengapa para dosen seakan-akan kurang membuka diri untuk diskusi? Biasanya alasannya sibuk. Bisa jadi sibuk mengurusi perkuliahan, proyek, atau kerja sampingan yang lain. 

Tapi jarang mereka sibuk karena penelitian. Toh jumlah publikasi jurnal ilmiah Indonesia masih berada di bawah negara tetangga di ASEAN seperti Singapura.

Bagaimana dengan mahasiswa sendiri?

Pengalaman saya menjadi asisten praktikum berbeda-beda laboratorium selama berkuliah sarjana strata satu (S-1) cukup menggambarkan keadaan umumnya. 

Di situ saya memiliki banyak kesempatan mencermati dan menilai bagaimana mahasiswa/i, umumnya dari semester II hingga semester VI, menuliskan ide atau argumen dalam laporan praktikum. Beberapa kali juga saya diminta untuk membaca dan, kalau perlu, mengoreksi draftskripsi adik-adik tingkat oleh dosen pembimbing saya dulu.

Harus diakui bahwa banyak dari mereka yang bermasalah dengan tata tulis ilmiah. Sangat sedikit dari mereka yang mampu menuliskan penjelasan atau argumen mengenai data pengamatan/pengukuran secara ringkas namun bernas. Banyak dari mereka yang, maaf saja, terlalu berputar-putar dan tidak efektif. Belum jika mereka tidak dapat membedakan kata depan dan imbuhan.

Misalnya, alih-alih menulis "struktur kristal (crystal structure)", justru ditulis "tatanan molekul penyusun". Atau "kemampuan serapan adsorben terhadap adsorbat" lebih baik ditulis "adsorptivitas adsorben". Mudah kan bila berbahasa ilmiah secara baku?

Kecenderungan umum mahasiswa/i adalah dengan berpanjang-panjang kata maka tulisan mereka akan lebih berbobot dan kelihatan hebat. Padahal, pepatah Latin berujar, "Non multa sed multum". Bukan seberapa banyak, melainkan seberapa berarti, seberapa bermakna.

Jadi, sebaiknya bagaimana sekarang dan selanjutnya?

Alangkah baiknya bila hubungan dosen dan mahasiswa adalah hubungan kemitraan alias partnership. Secara struktural, dosen pembimbing bertanggung jawab untuk mengajar mahasiswa/i-nya untuk dapat menjadi seseorang yang dapat berpikir ilmiah. 

Posisi tersebut sungguh sebaiknya tidak dipakai untuk mempermainkan nasib mahasiswa/i bimbingan. Apalagi untuk merisak dan mempermalukan sambil abai pada kondisi mental mahasiswa/i.

Ketika saya menempuh riset untuk tesis master di Perancis, dosen pembimbing sayalah yang justru meminta diskusi dan tidak ada diskusi bila salah satu dari kami yang sedang berhalangan, mungkin saya sedang melakukan analisis sedangkan dia mengajar di kampus lain atau berdiskusi dengan mahasiswa doktoral. Dan bila dia terlambat, tanpa berbelit-belit dia akan meminta maaf atas keterlambatannya.

Beberapa kali saya malah menerima kiriman literatur yang menunjang tesis master saya. Hal serupa terjadi ketika saya melakukan riset di Jepang saat ini, di mana Sensei atau profesor pembimbing saya menunjukkan buku atau jurnal yang bermanfaat bagi riset saya sebagai bagian dari proyek penelitian Sensei secara keseluruhan.

Untuk kawan-kawan mahasiswa/i, berkaca dari pengalaman saya, alangkah baiknya jika kawan-kawan ini membaca berbagai literatur ilmiah, bukan hanya hand-out materi perkuliahan melainkan juga jurnal dan buku. 

Bukan untuk mengutip mentah-mentah, namun untuk memahami suatu topik secara mendalam. Hemat saya, justru dengan membaca sumber-sumber yang primer itulah kalian dapat mengelaborasi gagasan utama dari lingkup belajar atau perkuliahan kalian.

Dengan demikian, suatu subjek dapat dipahami dengan baik dan kalian dapat menerangkan dengan runtut dan rapi pula. Seperti kata Albert Einstein, "Jika Anda tidak dapat menjelaskan dengan sederhana, Anda berarti tidak dapat memahaminya dengan baik."

Baik dosen dan mahasiswa harus mengerti akan hal ini dan keduanya harus secara aktif untuk mengubah kultur yang telanjur mengental di dalam banyak mahasiswa negeri kita. 

Jika kita tidak hendak mengubah status quo ini, relasi antara mahasiswa dengan dosen pembimbing skripsinya bisa-bisa berubah menjadi relasi negatif atau malah relasi "sampah".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun