Pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini mengindikasikan perubahan sikap yang lebih menjamin kepastian hukum. Keinginan KPK untuk "bersih-bersih" tunggakan perkara agar tidak menumpuk dan menjadi beban berkelanjutan, bisa berdampak positif terhadap kepastian hukum.
Pelaksana Tugas (Plt) Jubir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ali Fikri, mengatakan pihaknya akan menghentikan tunggakan-tunggakan kasus yang masih dalam proses penyelidikan. "Ya ada beberapa perkara, sisa perkara tahun-tahun sebelumnya," katanya di Jakarta, Selasa (28/1).
Pada aturan yang lama, UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK sebenarnya bisa menghentikan kasus yang masih dalam proses penyelidikan. Kini, sesuai UU KPK hasil revisi 2019, lembaga anti rasuah itu bahkan bisa menghentikan kasus yang sudah masuk tahap penyidikan, melalui penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Ada beberapa persyaratan yang ditetapkan UU, namun intinya kewenangan KPK lebih kuat untuk menghentikan penyidikan dan memberikan kepastian hukum.
Bunyi pasal 40 UU KPK hasil revisi adalah, "Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun."
Wajar bila pimpinan KPK menetapkan kebijakan baru untuk melakukan "bersih-bersih" perkara lama. Ketua KPK Firli Bahuri beberapa waktu lalu menegaskan pihaknya akan menghentikan beberapa kasus yang kini sedang ditangani.
Menurut Firli, saat ini masih ada 366 perkara dugaan korupsi yang masih menumpuk dan siap untuk ditindak lanjuti."Tentu bertanya, 366 perkara ini akan diapakan? Pimpinan KPK sudah merumuskan, pertama, melakukan inventarisasi kembali terhadap seluruh perkara dalam kasus penyelidikan," kata Firli dalam rapat dengan pendapat bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/1).
Pada tingkat penyidikan, KPK juga memiliki utang penuntasan perkara. Firli menyebut, ada 113 surat perintah penyidikan yang berasal dari perkara dugaan korupsi sepanjang tahun 2008 hingga 2020. Hingga saat ini, penuntasannya belum selesai."Kalau saya katakan utang, tunggakan. Tunggakan perkara 2008-2020 itu sebanyak 113 yang diterbitkan surat perintah penyidikan."
Langkah Realistis
Kebijakan pimpinan KPK itu realistis karena mereka tidak mengutamakan kuantitas, melainkan kualitas. Buat apa menumpuk perkara seolah KPK produktif dalam pemberantasan korupsi, namun faktanya kemampuan penyelesaiannya sangat rendah. KPK menghadapi berbagai kendala sehingga banyak sekali perkara menumpuk tak terselesaikan.
Sangat mungkin jumlah dan mutu SDM tidak sepadan dengan keinginan untuk meningkatkan jumlah perkara yang ditangani. Padahal kalau KPK selektif dan mau berkoordinasi dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya, sebenarnya pekerjaan mereka lebih ringan dan bisa lebih efektif. Dengan demikian tidak semua kasus dugaan korupsi harus ditangani sendiri oleh KPK.
Kondisi seperti itu jelas tidak bisa diteruskan. Terutama karena tunggakan perkara yang menumpuk juga menimbulkan implikasi yang merugikan banyak pihak. Terutama mereka yang sudah terlanjur menerima stempel "koruptor". Padahal mereka tak kunjung diajukan kepengadilan, atau bahkan sebenarnya perkaranya sangat sumir yang dipaksakan.
Pendekatan yang ditempuh KPK selama ini sangat merugikan masyarakat, terutama mereka yang tersangkut perkara dan disangka melakukan korupsi. Namun sekaligus juga menimbulkan ketidak pastian hukum yang berlarut-larut.
Pendekatan Baru
Pernyataan pimpinan KPK untuk mengurangi tunggakan perkara sesuai kewenangan berdasakan UU, patut didorong agar lebih cepat dantuntas. Dalam kaitan ini, bukan hanya penghentian perkara yang masih dalam penyelidikan, melainkan juga perkara-perkara yang sudah masuk penyidikan namun tidak kunjung ditemukan bukti-bukti kuat untuk mengajukannya kepengadilan.
KPK seyogyanya juga tidak memaksakan diri untuk mengejar seseorang seolah "sudah ditarget" untuk masuk penjara, padahal proses hukum yang sah justru menganulirnya. Contoh kasus yang actual adalah menyangkut perkara mantan Kepala BPPN Sjafruddi Arsyad Temenggung (SAT) yang sudah diputus bebas oleh MahkamahAgung (MA), namun kini digugat KPK melalui Peninjuan Perkara (PK).
Padahal jelas, sesuai ketentuan UU, jaksa penuntut umum tidak memiliki hak untuk mengajukan PK atas keputusan kasasi. Sikap "ngotot" KPK dengan mengajukan PK menunjukkan langkah aneh yang memaksakan diri dan tidak menghormati ketentuan hukum yang berlaku.
Kiranya, arah baru pimpinan KPK untuk berkonsentrasi menangani perkara-perkara yang jelas jejak korupsinya dengan bukti-bukti yang nyata pula, perlu didukung. Tunggakan perkara lama, baik yang masih dalam tahap penyelidikan maupun penyidikan, perlu disaring, diseleksi dan ditimbang-timbang, mana yang bisa diteruskan dan mana perkara yang perlu diambil langkah penghentiannya. Dengan demikian, beban KPK akan lebih ringan, bisa bekerja lebih lincah dan efektif, sekaligus menghembuskan angin segar bagi kepastian hukum di tanah air. (Mas Kumambang)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H