Emosi, Kurang Akal Atau Cepat Lupa
Bagi seorang perempuan jika mendengar dikatakan lebih mengendapkan emosi dari pada akal, mungkin tidak begitu jadi masalah. Bisa jadi memang beberapa perempuan lebih cepat naik emosinya jika merasa tidak senang terhadap sesuatu, atau mungkin juga terganggu dengan sesuatu, misalnya tiba-tiba harga-harga kebutuhan bahan pokok naik.
Emosi memang lebih banyak melibatkan hati dari pada akal. Tetapi jika perempuan yang sering emosi dikatakan kurang akal, untuk mengganti kata tidak menggunakan akal, pasti akan banyak yang tersulut emosi.
Akal lebih cenderung mempengaruhi daya ingat. Nah, jika kurang akal, boleh jadi hampir sama dengan cepat lupa.
Tetapi apakah emosi itu lebih cenderung kurang akal atau cepat lupa, itu bukan suatu hal yang mudah untuk disimpulkan.
Sebagai contoh pada saat saya ingin berangkat ke Jakarta besuk pagi, maka istri saya langsung bereaksi,"apakah ke Jakartanya harus besok pagi!"
Melihat pertanyaan yang muncul seperti ada mengandung unsur emosi, lalu saya katakan kepada istri saya,"tidak harus besok pagi. Hari lain, juga bisa."
"Nah begitu, baru betul," kata istri saya,"kalau berangkat besok pagi, kan harga tiketnya mahal, karena belinya mendadak. Tapi, kalau bisa berangkat hari lain, kan dapat dicari tiket yang harganya murah." Lanjutnya.
"Boleh, nggak masalah." Kata saya.
"Ini dua hari lagi ada tiket yang harganya terpaut 400 ribu dari harga tiket besok." Tiba-tiba Si Sulung Ganteng menyambung pembicaraan.
"Alhamdulillah, bagus itu." Jawab saya penuh semangat.
"Jam berapa berangkatnya?" Tanya istri saya.
"Jam enam pagi." Kata Si Sulung Ganteng.
"Jangan yang itu. Pilih yang agak siangan!" Seru istri saya.
"Memang kenapa kalau berangkat jam 6 pagi?" Kata Si Sulung Ganteng dengan nada heran.
"Tapi, tadi disuruh cari tiket yang harganya murah." Lanjut dia.
"Kalau terlalu pagi dari rumah, kasihan bapakmu. Harus sebelum subuh berangkat dari rumah." Jawab istri saya.
"Kalau agak siang, ya, lebih mahal lagilah harga tiketnya." Kata Si Sulung Ganteng.
"Mahal sedikit nggak apa-apa. Kasihan bapakmu kalau berangkat terlalu pagi!" Seru istri saya, menegaskan.
Sampai di bagian ini, apakah sudah dapat dilihat bahwa seorang perempuan itu cepat lupa?
Tetapi, tunggu dulu, kisah ini belum selesai, sehingga jangan pula cepat-cepat mengambil kesimpulan.
Hampir setiap saat, hampir setiap hari, istri saya bertanya, apakah saya bisa berangkat sendiri. Saya memang sering merasa cepat lelah karena terkena penyakit gula darah dan jantung. Tentu saja, saya menyadari kekhawatiran istri saya, jika saya melakukan perjalanan sendirian.
Memang terbetik juga, dalam hati saya,'berangkat dengan tiket harga mahal tidak boleh. Pilih yang murah, tidak boleh juga. Nah kalau tidak berangkat sendiri, itu bukannya menjadi mahal sekali?'
Lalu saya istigfar. Mungkin emosi istri saya sedang muncul, karena kondisi kesehatan saya yang tidak begitu fit lagi, seperti dulu. Dengan begitu pada saat akalnya bekerja, dia ingin mencari biaya perjalanan yang murah. Tetapi setelah dia ingat kesehatan saya, yang mungkin saja terganggu di perjalanan nanti, maka akalnya kurang bekerja, yang muncul adalah emosi, merasa khawatir saya tidak dapat melakukan perjalanan sendirian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H